NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:465
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah Insiden

Menjelang sore, Cantika baru kembali ke rumah sakit. Langkahnya agak tergesa, wajahnya sedikit lelah namun lega ketika akhirnya tiba di ruang rawat sang ibu.

Di dalam, terlihat dokter Arkana bersama seorang perawat yang tengah mencopot jarum infus dari tangan Bu Hasna.

“Selamat yah Bu, sudah boleh pulang. Jangan lupa dijaga baik-baik kesehatannya,” ucap dokter Arkana ramah.

Bu Hasna tersenyum hangat. “Terima kasih banyak, dok. Saya pasti akan lebih berhati-hati.”

Cantika mendekat, senyumnya merekah melihat ibunya sudah tampak lebih ceria.

“Maaf, Cantika baru datang, Bu,” katanya pelan.

“Tidak apa-apa, Nak. Kamu pasti sibuk seharian beres-beres rumah, kan?” sahut Bu Hasna penuh pengertian.

Cantika mengangguk ringan. “Iya, Bu. Untungnya semua sudah beres. Kalau begitu, kita pulang sekarang, yuk.”

Belum sempat ia merapikan barang-barang ibunya, dokter Arkana tiba-tiba bertanya, “Kamu pulang naik apa, Tik?”

“Emm... kayaknya naik angkot, dok,” jawab Cantika jujur, agak ragu.

Dokter Arkana mengerutkan kening, lalu tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau pulang bareng saya saja? Kebetulan saya juga mau pulang.”

Cantika tertegun sejenak. “Tapi, rumah kita beda arah, dok...”

“Tidak apa-apa,” potong Arkana cepat. “Lagian, saya kasihan sama Bu Hasna kalau harus naik angkot dalam kondisi baru sembuh begini. Yuk, cepat siap-siap. Saya tunggu di parkiran.”

Tanpa memberi kesempatan Cantika menolak, dokter Arkana sudah melangkah keluar ruangan dengan mantap.

Beberapa menit kemudian, Cantika sudah menuntun ibunya keluar dari ruang rawat. Dokter Arkana terlihat menunggu di dekat mobilnya, masih mengenakan jas putih yang kini ia selempangkan di lengan.

“Pelan-pelan saja, Bu,” ucap Arkana sembari cepat-cepat menghampiri, lalu dengan sigap membuka pintu mobil untuk Bu Hasna.

“Terima kasih, Dok,” Bu Hasna tersenyum kecil sambil masuk ke kursi penumpang.

Cantika ikut masuk ke bangku belakang. Ada sedikit kikuk yang ia rasakan, tapi juga kelegaan karena tak perlu lagi memikirkan angkot sore itu.

Mobil melaju perlahan keluar dari area rumah sakit. Musik lembut terdengar samar dari radio, mengisi keheningan.

“Jadi... pindah rumahnya di mana sekarang?” tanya Arkana sekadar membuka percakapan.

“Di daerah Suka Mulya, dok. Rumah sederhana, tapi cukup buat kami berdua,” jawab Cantika sambil menunduk, merasa agak canggung.

Arkana melirik sekilas lewat kaca spion, lalu tersenyum. “Yang penting nyaman, Tik. Rumah itu bukan soal besar kecilnya, tapi siapa yang menempatinya.”

Ucapan itu membuat Cantika terdiam sejenak. Ada rasa hangat yang merambat di dadanya. Bu Hasna yang mendengar, hanya tersenyum tipis sambil melirik putrinya.

“Kalau butuh bantuan apa-apa, jangan sungkan bilang ke saya. Saya ini kan bukan cuma dokter, tapi juga... teman kalian.”

Cantika mengangkat wajah, menatap ke arah punggung Arkana. Ada ketulusan dalam nada suaranya.

“Iya, Dok. Terima kasih banyak.”

Perjalanan pulang sore itu terasa singkat. Bukan hanya karena jalanan lengang, tapi juga karena obrolan sederhana yang tanpa sadar membuat hati Cantika sedikit lebih ringan.

Mobil akhirnya berhenti dengan selamat di depan rumah baru Cantika. Bangunan sederhana itu memang tidak besar, namun tampak rapi dan nyaman dipandang.

“Dok, terima kasih banyak sudah mengantar saya dan Ibu pulang,” ucap Cantika tulus.

“Sama-sama, Tik. ” balas Arkana ramah.

Cantika mengangguk, lalu bergegas keluar untuk membantu ibunya. Namun dokter Arkana tidak tinggal diam. Ia ikut turun, bahkan langsung menuntun Bu Hasna dengan telaten, seolah sedang mendampingi ibunya sendiri. Gerakannya lembut, penuh perhatian, membuat Cantika tak kuasa menahan senyum tipis.

“Dok, biar saya saja. Dokter pasti capek setelah seharian bekerja,” ujar Cantika sambil menyusul langkahnya.

Arkana menoleh singkat, matanya teduh. “Tidak kok, Tik. Saya senang bisa membantu Bu Hasna.”

Mereka pun masuk ke dalam rumah. Meski tampak kosong tanpa lemari, kursi, atau sofa, bagian dalam rumah itu terlihat bersih dan wangi. Dinding polos dan ruangan lengang seolah memberi kesan baru yang masih menunggu untuk diisi.

“Ibu jadi merepotkan ya, Dok,” ucap Bu Hasna dengan nada tak enak hati.

Arkana tersenyum, menoleh dengan lembut. “Ah, tidak ada yang merepotkan, Bu. Ibu kan pasien saya. Sudah seharusnya saya membantu.”

Bu Hasna menghela napas lega begitu duduk di atas tikar yang sudah digelar Cantika.

“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di rumah baru. Maaf ya, Dok, kalau keadaan rumah masih kosong begini.”

Arkana tersenyum sambil menatap sekeliling. “Tidak perlu minta maaf, Bu. Justru saya senang melihat rumah ini. Bersih, wangi, dan terasa hangat. Percayalah, rumah itu tidak diukur dari perabotannya, tapi dari orang-orang yang tinggal di dalamnya.”

Cantika ikut duduk di samping ibunya, diam-diam hatinya tersentuh dengan kata-kata itu. Ia melirik Arkana, ada rasa kagum yang sulit disembunyikan.

“Kalau begitu, saya pamit dulu,” ucap Arkana kemudian, sembari berdiri. “Ingat, Bu, jangan lupa minum obat sesuai jadwal. Dan Cantika…” Ia menatap Cantika sekilas, senyumnya meneduhkan. “…kalau ada kesulitan apa pun, jangan ragu hubungi saya, ya.”

Cantika mengangguk, suaranya nyaris pelan. “Iya, Dok. Terima kasih banyak untuk semuanya.”

Arkana mengangguk sekali, lalu melangkah ke luar rumah. Suara mobilnya perlahan menjauh, meninggalkan keheningan.

Bu Hasna menoleh ke arah putrinya, senyum kecil mengembang di wajahnya. “Anak itu baik sekali, Tik. Jarang ada dokter sepeduli itu sama pasiennya.”

“Iyah, Bu… dokter Arkana memang sangat baik,” ucap Cantika sambil tersenyum tipis.

Setelah memastikan ibunya berbaring nyaman di kamar kecil yang baru saja mereka tempati, Cantika segera menuju kamar mandi. Air dingin membasuh tubuhnya yang terasa lengket dan lelah setelah seharian penuh mengurus pindahan. Selesai membersihkan diri, ia cepat-cepat berganti pakaian. Malam ini ia masih harus bekerja.

Cantika kembali ke kamar ibunya, membetulkan selimut yang sedikit tersingkap. “Ibu baik-baik di rumah ya. Cantika harus kerja dulu. Pulangnya sekitar jam satu malam.”

Bu Hasna menghela napas, menatap wajah putrinya dengan cemas. “Nak… memangnya kamu nggak bisa libur dulu? Ibu tahu kamu pasti capek, butuh istirahat.”

Cantika tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Ibu nggak usah khawatir. Cantika nggak capek kok, lagian kerjaannya juga santai.” Ucapan itu terasa ringan, padahal dalam hati ia sadar ia sedang berbohong agar ibunya tidak semakin khawatir.

“Pokoknya Ibu harus doain Cantika terus, ya. Biar setiap harinya Cantika bisa dapat uang dan kita bisa hidup lebih baik.”

Bu Hasna mengangguk pelan, namun ada bayangan kesedihan yang jelas di wajahnya. Ia tahu betul anaknya terlalu keras memaksakan diri. Namun ia juga paham, semua yang dilakukan Cantika hanyalah demi dirinya.

Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Bu Hasna hanya bisa berbisik, “Ibu selalu doakan kamu, Nak… selalu.”

Cantika tersenyum, berusaha menutupi debar sedih di dadanya, lalu pamit keluar rumah dengan langkah cepat.

**

Lampu kelap-kelip di klub malam berwarna ungu, biru, dan merah seolah menyambut kedatangan Cantika. Malam ini ia datang seorang diri; Jesika, teman satu timnya, sedang mendapat jadwal booking di luar kota selama seminggu.

Tanpa banyak basa-basi, Cantika melangkah cepat menuju ruang ganti. Ia menanggalkan pakaian lusuhnya dan berganti dengan gaun pendek sepaha berwarna lilac yang langsung menempel pas di tubuh rampingnya. Sentuhan make up tipis melengkapi penampilannya, membuat wajahnya terlihat segar meski hatinya masih dibalut rasa gugup.

“Aduh, cantiknya mami malam ini udah siap, nih. Cepat turun ke bawah, ya. Hari ini kamu nggak ada tamu penting, jadi mainnya sama tamu biasa saja. Uangnya sih nggak segede yang di ruang VIP, tapi lumayanlah,” ujar Mami Viola sambil menatap puas.

Cantika mengangguk sopan. “Iya, Mi. Aku ke bawah dulu.”

Tangga berkarpet merah ia turuni perlahan. Begitu sampai di lantai bawah, dunia gemerlap itu langsung menyambutnya. Musik menghentak keras, lampu sorot berkelebat, dan ruangan penuh dengan para pengunjung yang sudah larut dalam kesenangan.

Beberapa LC tampak berjoget mesra bersama para pria hidung belang, ada pula yang duduk berdekatan sambil tertawa genit, bahkan beberapa terlihat melangkah menuju sudut remang-remang dengan tamunya.

Cantika menelan ludah. Sudah tiga malam ia bekerja di tempat ini, namun setiap kali memasuki ruangan itu, rasa tegangnya selalu muncul kembali. Gaun lilac di tubuhnya terasa seperti pakaian yang memaksanya menjadi orang lain, seseorang yang ia sendiri belum sepenuhnya kenal.

Seorang pria berkemeja putih dengan dasi yang sudah longgar melambaikan tangan begitu melihat Cantika berdiri canggung di dekat bar. Aroma alkohol tercium kuat darinya.

“Hei… yang baru ya? Sini dong, jangan malu-malu,” ucapnya setengah berteriak karena suara musik terlalu keras.

Cantika menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia memaksakan senyum kecil lalu berjalan mendekat. Kursi di sebelah pria itu sudah kosong, seolah memang disiapkan untuknya.

Begitu ia duduk, tangan pria itu langsung ingin meraih pinggangnya. Refleks Cantika menegakkan badan, membuat gerakan itu sedikit terhalang. Untung saja, LC lain yang duduk di seberang meja cepat-cepat ikut menengahi.

“Mas, pelan-pelan dong. Cantika masih baru, jangan nakutin dia,” katanya sambil tertawa manja, mencoba mencairkan suasana.

Pria itu terkekeh, meneguk minumannya lagi. “Ah, gitu toh… yaudah, ayo kita cheers dulu. Biar lebih akrab.”

Gelas kaca berisi minuman berwarna keemasan disodorkan ke arah Cantika. Tangannya sempat ragu untuk menerima, tapi tatapan tajam Mami Viola dari kejauhan membuatnya tidak punya pilihan. Ia pun mengangkat gelas itu, menempelkan bibirnya perlahan, lalu meneguk sedikit saja.

“Bagus! Hahaha… ternyata berani juga,” seru pria itu puas. Musik semakin menggema, lampu-lampu berputar di atas kepala.

Cantika tersenyum kaku, mencoba menutupi gemetar di tangannya.

Cantika berusaha tersenyum sambil menahan rasa canggung. Ia hanya duduk, sesekali mengangguk atau tertawa kecil mengikuti lelucon garing tamu yang sudah mulai mabuk itu. Sesekali pria itu berusaha merangkulnya, tapi Cantika pandai mengelak dengan alasan menuangkan minum.

Baru saja suasana mulai sedikit lebih cair, tiba-tiba suara teriakan lantang memecah dentuman musik.

“PEREMPUAN MURAH!!!”

Semua kepala langsung menoleh. Dari arah pintu masuk, seorang wanita setengah baya dengan gaun elegan melangkah cepat, wajahnya merah padam.

Cantika spontan terdiam. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokan saat wanita itu langsung mengarah ke meja mereka.

“INI YANG NAMANYA KERJA SANTAI? Ganggu suami orang di tempat begini?!” suaranya menggema, membuat beberapa pengunjung ikut menahan napas.

Pria yang duduk di samping Cantika kaget, buru-buru berdiri. “Sayang, tunggu dulu—”

Namun wanita itu tak peduli. Dengan kasar ia menepis gelas di depan Cantika hingga jatuh pecah berantakan. “Kamu nggak punya malu, hah?! Cari uang dengan cara begini? Ngerusak rumah tangga orang?!”

Cantika membeku di kursinya, tubuhnya bergetar. Ia ingin menjelaskan, tapi suara tercekat di tenggorokan. Matanya memanas menahan tangis.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!