NovelToon NovelToon
七界神君– Dewa Penguasa Tujuh Dunia

七界神君– Dewa Penguasa Tujuh Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan / Perperangan
Popularitas:21.3k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

Tujuh dunia kuno berdiri di atas fondasi Dao, dipenuhi para kultivator, dewa, iblis, dan hewan spiritual yang saling berebut supremasi. Di puncak kekacauan itu, sebuah takdir lahir—pewaris Dao Es Surgawi yang diyakini mampu menaklukkan malapetaka dan bahkan membekukan surga.

Xuanyan, pemuda yang tampak tenang, menyimpan garis darah misterius yang membuat seluruh klan agung dan sekte tertua menaruh mata padanya. Ia adalah pewaris sejati Dao Es Surgawi—sebuah kekuatan yang tidak hanya membekukan segala sesuatu, tetapi juga mampu menundukkan malapetaka surgawi yang bahkan ditakuti para dewa.

Namun, jalan menuju puncak bukan sekadar kekuatan. Tujuh dunia menyimpan rahasia, persekongkolan, dan perang tak berkesudahan. Untuk menjadi Penguasa 7 Dunia, Xuanyan harus menguasai Dao-nya, menantang para penguasa lama, dan menghadapi malapetaka yang bisa menghancurkan keberadaan seluruh dunia.

Apakah Dao Es Surgawi benar-benar anugerah… atau justru kutukan yang menuntunnya pada kehancuran?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Xuanyan berjalan tanpa suara, langkahnya mantap meski dadanya bergejolak hebat.

Di pelukannya, tubuh Meiyun yang lemah tertutup rapat jubah hitam miliknya, seakan ia berusaha melindungi harga diri perempuan itu dari tatapan dunia.

Rambut panjang Meiyun yang kusut menutupi wajahnya. Meski samar, Xuanyan masih bisa melihat pipi pucat dan bibirnya yang bergetar halus seiring nafas.

Senior…

Dalam hatinya, Xuanyan menggertakkan gigi.

Semua ini salahku.

Ia terus melangkah melewati jalanan kota yang masih semarak oleh festival. Tidak seorang pun warga sadar akan apa yang baru saja terjadi di lorong gelap tadi. Kembang api yang meledak di langit, tawa anak-anak, dan musik riuh… terasa seperti ejekan kejam terhadap hatinya yang penuh luka.

Tiba di Asosiasi

Begitu Xuanyan melangkah masuk melewati gerbang asosiasi, beberapa bawahan Meiyun yang masih terjaga segera menghampiri.

“Ketua!? KETUA!” salah seorang langsung berteriak panik begitu melihat sosok yang ada di pelukan Xuanyan.

Semua orang seketika menegang. Wajah mereka pucat, keringat dingin mengalir deras di pelipis.

“Apa yang terjadi!? Apa yang kau lakukan pada ketua kami!?”

Xuanyan menatap mereka. Tatapannya dingin, suara yang keluar lirih tapi penuh tekanan.

“Siapkan kamar. Panggil tabib.”

Hanya itu.

Namun cukup untuk membuat semua bawahan Meiyun merinding.

Suara bocah berusia 12 tahun itu tidak terdengar seperti suara anak-anak. Ada wibawa, ada dingin yang menusuk, ada amarah yang ditahan mati-matian.

“Cepat.”

Mereka seketika bergerak, tidak berani membantah.

Di Kamar

Sesampainya di kamar khusus, Xuanyan dengan hati-hati membaringkan Meiyun di atas ranjang. Ia menyingkap jubahnya, memastikan tubuh Meiyun tertutup rapi oleh selimut.

Ia lalu duduk di sisi ranjang, jarinya menempel di pergelangan tangan Meiyun. Aliran Qi perlahan masuk, memeriksa nadinya.

Beberapa saat kemudian, ia menghela napas lega.

“Syukurlah… tidak ada luka fatal. Hanya gangguan aliran Qi dan syok mental.”

Tapi meski begitu, hatinya justru semakin sakit.

Ia menatap wajah pucat Meiyun dengan mata bergetar.

“Maafkan aku… aku terlalu ceroboh. Kupikir rencanaku sudah matang. Ternyata dia lebih pintar… lebih licik. Aku terlalu lemah.”

Kenangan pertempuran singkat di lorong itu kembali muncul. Bekas benturan Qi, retakan dinding, hawa iblis samar yang masih menusuk. Semuanya menegaskan satu hal—ia benar-benar kalah dalam permainan kali ini.

Pintu kamar terbuka. Seorang tabib senior segera masuk dengan peralatan.

“Cepat menyingkir, biar aku yang memeriksa.”

Xuanyan mengangguk dan mundur, memberi ruang.

Tabib mulai mengobati, menyalurkan Qi murni untuk menenangkan aliran energi Meiyun. Xuanyan berdiri diam di dekat pintu, kedua tangannya terkepal kuat.

Tak lama kemudian, seorang perempuan muda dengan wajah penuh amarah masuk. Dialah asisten pribadi Meiyun.

Begitu melihat Xuanyan berdiri di sana, ia langsung melangkah cepat dan—breng!—menyambar kerah Xuanyan.

“APA YANG KAU LAKUKAN PADA KETUA KAMI, BAJINGAN!?” suaranya meledak. “Sudah kuduga kau ini hanya membawa sial! Dari awal aku tidak percaya padamu! Tidak peduli kau katanya murid sekte terkenal—DENGAN KULTIVASIMU YANG SAMPAH, KAU BISA APA HAH!?”

Xuanyan diam, menatap mata asisten itu dengan tenang meski napasnya berat.

“Kau membuat ketua kami jadi seperti ini! Lebih baik kau pulang saja, jangan sok jadi pahlawan di sini! DASAR SAMPAH!”

Suasana kamar mendadak mencekam. Para anggota lain yang ikut hadir tercekat, tidak berani menengahi.

Xuanyan perlahan mengangkat tangannya, lalu menyingkirkan genggaman di kerahnya. Tidak kasar, tidak marah. Ia hanya… melepaskan.

“Siapa namamu?” tanyanya datar.

Asisten itu tertegun, tapi tetap menjawab dengan suara ketus. “Li Qian.”

Xuanyan menundukkan kepala sedikit. “Li Qian, itu memang salahku. Aku tidak akan mengelak.”

Li Qian terdiam. Tatapannya masih penuh kebencian, tapi lidahnya kelu.

Xuanyan melanjutkan, suaranya lirih namun jelas.

“Soal kau yang menyebutku sampah…” ia tersenyum getir, kenangan masa lalu seketika menyeruak. Kenangan diejek, dihina, diinjak harga dirinya saat ia masih dianggap tak berguna.

“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Aku memang sampah.”

Setelah itu, Xuanyan berbalik dan berjalan pergi.

Semua orang terdiam. Aura tubuhnya dingin, tapi bukan dingin yang membekukan… melainkan dingin yang penuh luka dan kesepian.

Li Qian menggertakkan giginya. Ada rasa bersalah menekan dadanya, tapi egonya menolak untuk mengakuinya.

Salah satu anggota menoleh padanya dan berbisik, “Kau terlalu berlebihan. Aku tahu kau khawatir pada ketua, begitu juga kami. Tapi ini bukan sepenuhnya salah anak itu. Jangan lupa, lawan kita adalah kultivator Nascent Soul.”

Li Qian membeku. Kata-kata itu menghantam hatinya.

Tak lama, tabib keluar dari kamar.

“Ketua kalian baik-baik saja. Tidak ada luka fatal. Ia hanya butuh istirahat panjang untuk menenangkan jiwa dan meredam gangguan Qi.”

Semua anggota bersorak lega. Li Qian pun masuk ke kamar dengan wajah penuh rasa bersalah, duduk di samping ranjang Meiyun dan menggenggam tangannya erat.

Di luar, Xuanyan berdiri menatap langit.

Kembang api masih mekar di angkasa. Warna-warni indah, seolah merayakan kebahagiaan warga.

Namun bagi Xuanyan, itu semua seperti duri.

Kenapa mereka bisa tertawa, sementara aku hanya membawa kehancuran bagi orang yang mempercayaiku?

Tangannya terkepal kuat, tubuhnya bergetar.

Apakah aku terlalu naif? Terlalu heroik, hingga akhirnya jadi munafik?

Angin malam terasa dingin, tapi jauh lebih dingin hati Xuanyan yang dipenuhi rasa bersalah.

Pagi Hari

Cahaya mentari pagi menembus jendela, membelai lembut ranjang di mana Meiyun berbaring.

Ia perlahan membuka mata. Pandangannya kosong, kepalanya berat. Saat kesadarannya kembali, hatinya dicekam rasa malu dan perih yang dalam.

Ia mencoba duduk perlahan, selimut menutupi tubuhnya.

Pintu kamar terbuka. Xuanyan masuk dengan langkah hati-hati.

“Senior…” panggilnya lirih.

Meiyun menatap sekilas, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Ia memeluk erat selimut, menutup tubuhnya seakan hendak menghapus semua rasa malu.

Xuanyan menunduk. “Aku minta maaf. Semua ini salahku. Aku—”

“Keluar.”

Xuanyan tertegun. “Senior…?”

“Keluar sekarang!” suara Meiyun bergetar, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak ingin kau melihatku… seperti ini.”

Xuanyan mencoba menenangkan, tapi sebelum ia sempat bicara, Meiyun menutup wajah dengan selimut.

“Keluar!”

Xuanyan menggenggam erat tangannya sendiri, hatinya berdenyut sakit. Perlahan ia melangkah mundur, menutup pintu tanpa suara.

Di dalam kamar, Meiyun akhirnya tak kuasa menahan air mata. Ia menangis lirih, bahunya bergetar.

Aku… sudah hancur.

Di luar kamar, Xuanyan berdiri termenung. Tatapannya kosong, wajahnya pucat.

Senior…

Ia memejamkan mata.

Bagaimana aku bisa menebus semua ini?

Suasana asosiasi masih tegang ketika tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa. Seorang anggota muda menerobos masuk ke aula dengan wajah pucat pasi, nafas terengah-engah.

“BERITA BURUK! Ada korban lagi…!” teriaknya.

Semua mata langsung menoleh. Xuanyan yang masih berdiri termenung di depan kamar Meiyun sontak terkejut.

“Korban… Yan Mo lagi!?” suaranya rendah, namun aura dingin menyelip keluar.

Anggota itu mengangguk cepat, wajahnya gemetar. “I-ya… seorang gadis perawan… mayatnya baru ditemukan! Dia… sudah kering….”

Dari balik pintu kamar, Li Qian dan Meiyun yang masih berbaring mendengar jelas. Keheningan seketika menyelimuti ruangan.

Xuanyan melangkah maju, menatap tajam anggota itu.

“Di mana korbannya sekarang?”

“Di… di pinggir kota, dekat jalan menuju pelabuhan… orang-orang sudah berkerumun di sana.”

Tanpa menunggu lebih lama, Xuanyan segera bergegas keluar. Langkahnya cepat, wajahnya dingin.

Di dalam kamar, Meiyun bisa merasakan pergerakan Qi Xuanyan yang menjauh. Ia menggenggam selimut erat, napasnya bergetar.

Li Qian menoleh padanya, wajahnya suram. “Ketua… apa yang harus kita lakukan? Jika Yan Mo berkeliaran bebas seperti ini… tidak akan ada yang aman lagi.”

Meiyun tidak menjawab. Hanya air mata yang menggenang, matanya kosong menatap langit-langit.

Pinggir Kota

Ketika Xuanyan tiba di pinggir kota, suasana sudah penuh sesak oleh warga yang berkerumun. Teriakan, isak tangis, dan bisikan-bisikan ketakutan bercampur menjadi satu.

“Maaf, permisi!” Xuanyan menerobos kerumunan, tubuh mungilnya lincah melesat ke tengah.

Dan di sanalah ia terdiam.

Seorang pria paruh baya, tubuhnya gemetar, memeluk erat mayat seorang gadis muda. Tubuh gadis itu kering kerontang, kulitnya pucat mengeriput, pakaiannya compang-camping, bahkan nyaris tak menutupi tubuh.

Pria itu menangis meraung, suaranya serak.

“Putriku… PUTRIKU! Mengapa nasibmu harus seperti ini… kau satu-satunya keluargaku… kenapa… kenapa kau meninggalkanku!”

Suara tangisan itu menusuk jantung semua orang. Bahkan mereka yang hanya menonton ikut meneteskan air mata.

Xuanyan berdiri kaku, kedua tangannya bergetar.

Tidak… jangan bilang….

Matanya menyapu tubuh gadis itu. Dan ia melihatnya—sebuah gelang rajutan sederhana melingkar di pergelangan tangan mayat itu.

Waktu seakan berhenti.

Gelang itu… sama persis dengan gelang yang diberikan seorang gadis padanya semalam.

“Tidak mungkin…” bisiknya pelan.

Ia teringat jelas. Senyum hangat gadis itu, tawa riangnya ketika berkata:

“Suatu hari aku akan menjelajahi dunia! Aku ingin setiap orang bisa merasakan kehangatan mie pedasku, sama seperti yang kurasakan dari ayahku. Senior, kalau nanti kau lewat kedai kecilku lagi, aku akan buatkan semangkuk paling spesial untukmu!”

Suara itu masih terngiang, seakan baru beberapa saat lalu terdengar. Namun kini, gadis itu terbaring tak bernyawa, wajahnya yang dulu penuh cahaya digantikan kengerian abadi.

Ruo.

Xuanyan menutup mata erat, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya menggenggam gelang rajutan lain yang masih ada di kantongnya—pemberian Ruo malam itu.

Senyum terakhir gadis itu seketika menancap ke dalam hatinya, berubah menjadi luka yang tak terhapuskan.

“Dia… dia kan putri pemilik kedai mie pedas?” bisik seorang warga.

“Iya… si Ruo. Gadis baik… setiap hari membagikan semangkuk mie gratis untuk anak-anak yatim. Bagaimana bisa… bagaimana bisa dia berakhir seperti ini?”

“Festival semalam… ternyata menjadi pengalaman terakhirnya…”

Bisikan-bisikan itu menambah sesak dada Xuanyan.

Ayah Ruo meraung, suaranya serak bagai robek.

“Anakku! Kau satu-satunya milikku! Kenapa bukan aku saja yang mati! Kenapaaa!”

Xuanyan tak bisa berkata-kata.

Dan saat itulah, dari balik kerumunan, matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya.

Mo Yun.

Pria itu berdiri di kejauhan, di antara bayangan pohon dan cahaya fajar samar. Senyum tipis menghiasi wajahnya, senyum yang penuh ejekan dan kepuasan.

Tatapan mereka bertemu.

Xuanyan merasakan hawa dingin menelusup ke tulang belakang.

Mo Yun hanya mengangkat sedikit dagunya, seolah berkata:

Lihatlah… inilah hasil kelemahanmu.

Kemudian ia berbalik perlahan, berjalan pergi tanpa terburu-buru, seolah yakin tidak ada seorang pun yang mampu menghentikannya.

Darah Xuanyan mendidih. Ia mengepalkan tinjunya begitu kuat hingga buku jarinya memutih.

Mo Yun…!

Ia menatap mayat Ruo sekali lagi, lalu ke ayah yang menangisinya. Luka itu terlalu dalam, terlalu tajam.

Perlahan, Xuanyan melangkah keluar dari kerumunan.

Langkah kecil, tapi penuh dengan hawa membunuh.

Tatapannya terkunci pada punggung Mo Yun yang di kejauhan.

1
Nanik S
💪💪💪💪
Depressed: Ayo mampir kak, kali aja suka tema kultivator gitu
total 1 replies
Nanik S
Xuanyan Bagus... jadilah dirimu sendiri
Nanik S
Lanjut
Nanik S
Xuanyan... Raihlah puncak tertinggi dan #elamatkan Xueran
iwakali
pertarungan panjang bbrp chapter. musuh mati ditangan orang lain
Depressed: Ayo mampir kak, kali aja suka tema kultivator gitu. sugan
total 1 replies
Christian Matthew Pratama
mc bnyakan bacot...itu itu aja dr td bahasanya
Christian Matthew Pratama
mc ooon blm kuat tp sok hebat
Nanik S
Lanjut terus
Nanik S
Xuanyan.... lanjut.. jangan pernah berhenti dan bisa menolong Xueran dan mengambilnya
Nanik S
Xueran kenapa tidak muncul
Nanik S
Dimana Xueran
Nanik S
Xuanyan.... bisakah menarik perhatian dari salah satu Putri suci
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Semua sudah datang lalu kemana Yueran
Nanik S
Jadilah pemenang dalam Putra Suci dan jangan Yueran menderita
Nanik S
Lanjutkan Yor
Nanik S
Xuanyan dasar konyol
Christian Matthew Pratama
pake banget ya
Orie..
ok lanjut..jgn trlalu naif,humor aja .,
Depressed: Ayo mampir kak, kali aja suka tema kultivator gitu
total 1 replies
Nanik S
Lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!