Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin yang mengkhianati
Rosella berdiri di depan pintu, tangannya sudah bersiap meraih gagang kayu yang dingin. Ia membuat ancang-ancang untuk segera pergi, untuk mengakhiri ketegangan yang sejak tadi menjerat dadanya. Namun kenyataan justru semakin mengepungnya—karena lelaki yang seharusnya tidak pernah menginjakkan kaki di kamar sempit seorang pelayan, kini duduk dengan tenang di ranjang kecil miliknya, seolah ruangan itu adalah milik sang duke sendiri.
Tatapan matanya yang dingin sama sekali tidak cocok dengan tempat sederhana itu. Mata birunya beralih pada seekor gagak hitam yang bertengger di atas meja, bulu-bulunya masih agak lembap oleh hujan. Jemarinya terulur pelan, dan suara yang dalam itu terdengar, “Tenebris.”
Burung gagak itu segera mengepak, lalu hinggap di tangannya. Orion mengusap pelan bulu hitam yang berkilau dalam cahaya redup lilin, seakan binatang itu lebih pantas menerima kelembutan daripada manusia.
Sementara itu, dada Rosella naik turun cepat. Ia mati-matian menahan emosi, ingin sekali melawan, tapi sadar betul bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Pilihannya sederhana, yaitu pergi. Tanpa menoleh, ia mencoba meraih handle pintu.
Namun suara itu menahan langkahnya. Tenang, datar, tetapi cukup untuk membuat seluruh tubuhnya kaku.
“Apakah aku sudah mengizinkanmu pergi?”
Rosella menghentikan gerakan tangannya, lalu berbalik perlahan. Matanya menatap lurus ke arah sang Duke, penuh tekad walau tubuhnya gemetar.
“Maaf, Tuan Duke. Jika ada pelayan lain yang melihatmu di sini, nama Duke sendiri akan ternodai hanya karena keberadaan seorang pelayan rendahan seperti saya.”
Orion menanggapi dengan senyum miring. Senyum yang bukan sekadar mengejek, tapi juga seolah menikmati keresahan lawannya. Senyum yang membuat amarah Rosella mendidih, sekaligus membuat bulu kuduknya meremang.
“Ternyata kau cukup sadar diri juga ….” Suaranya nyaris terdengar seperti bisikan, namun setiap katanya menusuk.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, jemarinya masih mengelus Tenebris. “Tetapi sepertinya gelar pelayan tidak bisa menutupi kenyataan bahwa kau adalah gadis yang benar-benar berbahaya, Rosella.”
Rosella memicingkan mata, heran sekaligus waspada. Kata-kata itu terasa asing sekaligus menyingkap sesuatu yang tidak ia pahami sepenuhnya. “Maaf, Tuan Duke, jika tidak ada keperluan lain … silakan keluar.” Suaranya terdengar tegas, meski hatinya berkecamuk.
“Kau mengusirku?” Orion bertanya, nada bicaranya datar, tapi sorot matanya mengeras. Lalu sebuah tawa dingin lolos dari bibirnya. Singkat, namun cukup untuk membuat sekujur tubuh Rosella merinding.
“Ini adalah wilayah kekuasaanku,” lanjutnya, kini berdiri, sosoknya meninggi dan memenuhi ruangan yang kecil itu. “Ke mana pun aku pergi, sama sekali tidak memerlukan izin darimu.”
Langkahnya mulai mendekat. Perlahan, namun mantap. Rosella spontan mundur, tiap langkahnya diikuti langkah sang Duke.
Bayangan masa lalu berkelebat—saat para jenderal bawahan Orion mendekatinya dengan tatapan serupa, menjeratnya dengan jarak yang semakin menipis. Tubuhnya menegang, mulutnya ingin berteriak tidak, tapi lidahnya seakan membeku.
“Rosella ….” Suara Orion terdengar rendah, nyaris bergema di telinganya.
“Aku pernah memperingatkanmu satu hal. Tapi sepertinya kau sama sekali tidak mengingatnya, ya?” Tatapannya menusuk, membuat kepala Rosella terasa nyeri. Ia meraih pelipisnya, menahan sakit yang datang tiba-tiba, seolah tatapan itu sendiri adalah belenggu.
Apakah nasibku akan sama lagi? pikirnya. Seperti sebelumnya … hanya saja kini dengan monster yang berbeda?
“Tuan Duke … mohon untuk menjaga sikapmu!” seru Rosella dengan suara bergetar, tubuhnya mundur semakin jauh hingga akhirnya terhenti oleh dinding.
Dalam sekejap, Orion mengurungnya. Kedua tangannya menempel pada dinding, mengunci tubuh Rosella di antara dinginnya batu dan panasnya jarak yang terlalu dekat. Sorot mata biru itu menelannya bulat-bulat.
“Kau takut padaku?” tanyanya datar, meski di ujung bibirnya masih tergores senyum tipis.
Rosella terdiam, hanya mampu menahan napas.
“Lucu sekali.” Jemari Orion mengangkat dagu Rosella dengan paksa, membuat wajah gadis itu mendongak. “Tapi sepertinya wajah polosmu tidak seperti dirimu yang diam-diam merencanakan sesuatu.”
Tatapan Rosella membesar, seolah hendak menyangkal, tapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.
“Aku tidak peduli apa yang sedang kau rencanakan bersama Evelyn,” lanjut Orion tajam, suara beratnya seakan menindih seluruh udara di kamar itu. “Tapi aku cukup memperingatkanmu sekali saja—jika kau berani melakukan sesuatu yang mungkin merugikanku, maka aku tidak akan segan untuk memperlakukanmu lebih dari ini.”
Tubuh Rosella bergetar hebat. Ia mencoba menahan bulir bening yang menggenang di matanya, tapi sia-sia. Air mata itu jatuh juga, menetes di punggung tangan Orion yang masih menahan dagunya.
Dan justru saat itulah, Orion kembali tersenyum. Namun bukan senyum dingin seperti sebelumnya—melainkan senyum samar yang seolah sedang mengagumi sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Perlahan, ibu jarinya bergerak, mengusap bibir Rosella dengan tekanan halus namun intens. Sentuhan itu membuat seluruh tubuh gadis itu menegang, antara ingin mengusir dan terjebak dalam ketakutan.
“Benar-benar … sesuatu yang sangat menarik,” gumam Orion pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tatapannya tidak lepas dari wajah Rosella—wajah yang kini memerah, basah oleh air mata, dan dipenuhi kebencian yang sama sekali tidak ia sembunyikan.
Orion menunduk sedikit, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulit Rosella. “Kau membuatku ingin tahu … seberapa jauh kau berani melawan.”
Rosella hanya bisa menatapnya dengan campuran amarah dan putus asa. Namun dalam sorot matanya, terselip janji yang tak bisa dihapus, bahwa seberapapun kuatnya cengkeraman sang Duke, ia tidak akan selamanya tunduk.
Orion memutar tubuh Rosella dengan satu gerakan halus namun penuh kuasa, hingga posisi mereka berubah—ia kini berdiri tepat di belakang gadis itu. Nafasnya terasa hangat, jatuh di sisi wajah Rosella yang pucat. Sebuah cermin kecil yang terpasang di dinding batu memantulkan bayangan keduanya dengan jelas. Rosella terperangkap di antara bayangan dirinya yang tampak begitu rapuh, dan sosok pria tinggi yang menempel erat di belakangnya seperti bayangan gelap yang tak bisa diusir.
“Lihatlah, Rosella,” suara Orion rendah, berat, namun tidak meninggi—justru tenang dengan nada yang lebih menusuk daripada teriakan. Tatapannya tajam dari pantulan cermin, menelusuri mata gadis itu yang masih basah karena tangis. “Apakah kau sama sekali tidak lelah jika terus menerus menangis seperti ini?”
Tangan besarnya bergerak perlahan, nyaris seperti belaian, tetapi sarat dengan kendali yang menekan. Dari punggungnya, menyapu naik ke bahu, lalu merapat di sepanjang leher. Jarak di antara mereka hampir tidak ada—hanya sehelai napas yang memisahkan. Rosella bisa merasakan setiap detik tubuhnya disentuh, seakan ruang geraknya dikurung, hingga ia lupa bagaimana caranya menarik napas dengan tenang.
Orion menunduk sedikit, suaranya turun menjadi bisikan yang langsung menyentuh telinga gadis itu. “Menurutmu … apakah aku bisa menjadi gila jika terus menerus melihatmu dengan kondisi seperti ini?”
Tatapan Rosella gemetar, matanya tak mampu berpaling dari cermin. Ia melihat dengan jelas bagaimana tangan Orion yang dingin namun kokoh meraba lehernya—mengeras, lalu berhenti, mencengkeram dengan lembut namun kuat, seakan mengingatkannya bahwa ia bisa menghancurkan kapan pun ia mau. Rasa ngeri merambat, namun lebih menakutkan lagi adalah fakta bahwa Rosella tak bisa melarikan diri bahkan dari pantulan dirinya sendiri.
“Mungkin,” lanjut Orion, suaranya seperti serpihan baja yang beradu. “Jika kau menaati setiap ucapanku tanpa membantah … aku bisa memberimu sedikit kelonggaran.”
Rosella meringis, tubuhnya bergetar di dalam genggaman. Kata-kata itu terdengar seperti janji sekaligus ancaman. Ia tahu, apapun artinya ‘kelonggaran’ dalam mulut pria itu, tak pernah benar-benar berarti kebebasan.
Tanpa peringatan, Orion menunduk lebih dekat. Rahangnya menempel pada sisi wajah Rosella, lalu ia membuka mulutnya dan mengg*git telinga gadis itu dengan tajam. Rosella terpekik lirih, rasa sakit berbaur dengan perasaan terhina, membuat air matanya kembali jatuh. Saat ia melihat pantulan dirinya di cermin—leher yang tercengkeram, telinga yang memerah dengan bekas gigitan—ia hampir tak mengenali sosok itu sebagai dirinya sendiri.
Orion tidak bergeming. Ia justru berbisik, nyaris menelan tangis Rosella. “Ini … adalah tanda, bahwa kau tidak bisa lepas dariku dengan mudah.”
Kata-kata itu bukan sekadar ancaman. Suaranya datar, pasti, dan dingin, membuat Rosella sadar bahwa yang dihadapinya bukan hanya seorang pria, melainkan penguasa yang menuliskan takdir orang lain tanpa bisa diganggu gugat.
Ketakutan menelusup hingga ke sumsum tulang gadis itu. Cermin di hadapannya seakan menjadi saksi yang kejam—memperlihatkan betapa dirinya benar-benar terperangkap di dalam bayangan sang Duke, tanpa jalan keluar.
.
.
.
Bersambung
masak gitu aja ga ngerti 😁