Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KETAHUAN...
Motor itu berhenti perlahan di sebuah lapangan luas. Dari kejauhan, suara musik sudah terdengar, riuh dengan sorakan penonton. Lampu-lampu panggung berkelap-kelip, membuat suasana malam itu semakin meriah.
Nayara turun lebih dulu, matanya membelalak tak percaya. “Konser musik?” gumamnya.
Jayden mematikan mesin motor dan menurunkan helm. Ia tersenyum lebar melihat ekspresi Nayara yang tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Yap. Aku sengaja membawamu ke sini. Katamu kau jarang keluar menikmati suasana ramai, jadi kupikir malam ini kau harus coba.”
Nayara menggenggam erat cardigan panjangnya, agak kikuk melihat lautan orang yang berdesakan di depan panggung. “Tapi… Jayden, ini ramai sekali. Aku...”
“Hey.” Jayden menatapnya lembut, lalu menepuk pundaknya. “Aku di sini. Kalau kau tak nyaman, kita bisa pergi kapan saja. Tapi cobalah dulu, siapa tahu kau suka.”
Nayara menelan ludahnya, lalu mengangguk pelan. Jayden lantas menarik tangannya, membawanya masuk ke kerumunan. Suara musik semakin keras, dentuman drum dan petikan gitar menggetarkan udara. Lampu sorot menari-nari di langit.
Di tengah hiruk pikuk itu, Nayara merasakan sesuatu yang berbeda. Degup jantungnya mengikuti irama musik, dan tangannya yang digenggam Jayden terasa begitu hangat. Ia mendongak, menatap wajah Jayden yang sedang menikmati suasana, senyumnya tulus, matanya berbinar.
“Aku tak tahu kalau kau suka hal-hal seperti ini,” ujar Nayara, suaranya sedikit berteriak karena tertutup bising musik.
Jayden menoleh padanya, lalu mendekatkan wajahnya agar suaranya terdengar jelas. “Bukan konsernya yang penting, Nayara. Tapi dengan siapa aku datang ke sini.”
Nayara terdiam, tubuhnya memanas, tak tahu harus menanggapi bagaimana. Ia hanya bisa memalingkan wajah, berharap Jayden tak melihat pipinya yang memerah.
Konser terus berlangsung, sorak-sorai penonton menggema. Di tengah keramaian itu, Nayara untuk pertama kalinya merasa… bebas.
Musik semakin menghentak, lampu-lampu berwarna-warni menyorot ke segala arah. Para penonton bersorak sambil melompat-lompat mengikuti irama. Jayden menoleh ke arah Nayara, lalu tersenyum lebar.
“Ayo, Nayara! Jangan hanya berdiri diam, nikmati musiknya!” seru Jayden sambil mulai berjoget mengikuti irama.
Nayara terbelalak, memandang sekitarnya. Semua orang tampak begitu bebas, menari tanpa peduli siapa pun yang melihat. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, ragu.
Jayden mendekat, menggenggam tangannya erat. “Lepaskan saja. Tidak ada yang akan menilai di sini.”
“A-aku tidak bisa joget…” Nayara menggeleng pelan, wajahnya memerah.
“Kalau begitu, ikuti aku,” ucap Jayden mantap. Ia mulai menggoyangkan tubuhnya ringan, tak berlebihan, hanya sekadar mengikuti irama. Tangannya masih menggenggam tangan Nayara, mengajaknya ikut bergerak.
Awalnya Nayara kaku, gerakannya kikuk dan penuh canggung. Tapi melihat Jayden tertawa kecil, ekspresinya begitu riang, Nayara perlahan mulai ikut menggerakkan tubuhnya.
Sorak sorai penonton semakin membakar suasana. Jayden dan Nayara akhirnya ikut larut dalam keramaian itu. Rambut Nayara yang tergerai sedikit berantakan karena angin malam dan hentakan musik, namun senyum tulus merekah di wajahnya.
“Lihat? Tidak buruk, kan?” teriak Jayden di dekat telinganya agar terdengar.
Nayara menoleh padanya, nafasnya sedikit terengah tapi matanya berbinar. “Tidak buruk sama sekali.”
Jayden terkekeh, lalu memutar tubuh Nayara pelan layaknya sedang menari di tengah kerumunan. Gadis itu tertawa lepas, suaranya tenggelam dalam bising musik, namun Jayden merasa itu adalah suara terindah yang ia dengar malam itu.
Di tengah keramaian konser, Nayara masih larut dalam tawa bersama Jayden. Musik, sorak penonton, dan cahaya lampu membuat dunia luar terasa jauh. Ia bahkan tidak menyadari tas kecilnya yang bergetar berkali-kali karena ponsel yang terus berdering.
Sementara itu, di apartemen mereka, Kaelith duduk di ruang tengah dengan ponsel di tangan. Wajahnya tegang, jemarinya berkali-kali menekan nomor Nayara. Nada sambung terdengar, tapi tak kunjung diangkat.
“Angkat teleponmu, Nayara,” geramnya pelan, suara beratnya dipenuhi emosi yang ditahan.
Ketika panggilan kembali terputus, Kaelith mengumpat kasar. Ia melempar ponselnya ke sofa, kemudian berdiri mondar-mandir dengan rahang mengeras.
“Menghilang di malam hari… dengan siapa kau sekarang, hah?” gumamnya tajam.
Urat di pelipisnya menegang, sementara pikirannya penuh dengan bayangan buruk. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah yang mendidih.
“Aku akan buat kau mengaku, Nayara. Kau tidak akan pernah bisa berbohong dariku,” desisnya penuh murka.
Kaelith meraih kunci mobil dari atas meja, rahangnya mengeras. Jam dinding di ruang tengah sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Nayara belum juga pulang.
Dengan langkah lebar penuh amarah, ia keluar dari apartemen, pintu tertutup keras di belakangnya. Sesampainya di parkiran, Kaelith masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Tatapannya menusuk ke jalanan malam Sevilla yang ramai oleh lampu kota. Jemarinya terus mengetuk setir, tubuhnya menegang penuh kesal.
“Ke mana kau, Nayara?” gumamnya pelan dengan nada yang bergetar oleh amarah.
Ia mencoba menebak ke mana Nayara pergi. Café langganan? Toko buku? Atau sekadar berjalan-jalan tanpa izin?
Semakin dipikirkannya, semakin kuat ia menekan pedal gas. Lampu merah, dering telepon yang tak dijawab, dan bayangan Nayara yang dengan santai mengabaikannya membuat dadanya semakin panas.
“Aku akan menemukanmu malam ini juga,” desis Kaelith, matanya menatap jalanan dengan tajam seperti predator yang sedang memburu mangsanya.
Ponsel Kaelith berbunyi, suara notifikasi yang tajam terdengar di dalam mobil. Dengan geram, ia menepikan kendaraan di sisi jalan. Tangannya yang besar meraih ponsel, membuka layar yang penuh dengan panggilan tak terjawab untuk Nayara.
Namun kali ini, bukan dari Nayara. Sebuah pesan baru masuk.
Alis Kaelith langsung berkerut, dan ketika ia membuka lampiran foto di dalam pesan itu dan seketika darahnya mendidih.
Foto-foto Nayara terpampang jelas di layar. Gadis itu tengah tersenyum bersama seorang pria yang tidak ia kenal. Pria itu terlihat memegang tangan Nayara dengan lembut, bahkan ada satu foto saat Nayara menatapnya dengan senyum kecil yang selama ini begitu ia jaga.
Genggaman Kaelith pada ponselnya mengeras hingga jemarinya bergetar. Napasnya memburu, rahangnya mengatup rapat.
“Siapa bajingan itu?” desisnya rendah, penuh bara.
Ia memutar ulang foto-foto itu, dadanya semakin sesak. Nayara, gadis yang ia pasung agar tetap berada di sisinya, kini terlihat bebas tertawa bersama pria asing.
Kaelith memukul setir mobil dengan keras, suara benturan menggelegar memecah keheningan malam.
“Aku tidak akan membiarkan ini,” gumamnya dingin. Matanya menyala penuh amarah, seperti singa yang baru saja menemukan pengkhianatan di wilayahnya.
Dengan segera, ia menyalakan mesin kembali, roda berputar cepat, melaju kencang menembus malam Sevilla.
Tidak terasa, jarum jam sudah menunjuk tepat pukul 12 malam. Lampu-lampu kota Sevilla masih berkilauan, namun perasaan Nayara mulai dicekam panik. Tangannya buru-buru merogoh tas kecilnya, lalu menarik keluar ponselnya.
Begitu layar menyala, matanya langsung membelalak. Puluhan panggilan tak terjawab dari Kaelith memenuhi layar, notifikasi pesan menumpuk dengan nada yang membuat dadanya bergetar hebat.
Nayara menelan ludah, jemarinya gemetar. Dia tahu apa yang menunggunya di rumah nanti.
Jayden yang berdiri di sampingnya, masih memegang botol minuman plastik dari stan dekat panggung, ikut menoleh. Wajahnya menegang ketika melihat ekspresi Nayara yang berubah pucat.
"Ada apa?" tanya Jayden, suaranya tenang, meski penuh rasa ingin tahu.
Nayara buru-buru menutup layar ponselnya, seolah ingin menyembunyikan badai yang sedang menantinya. Ia memaksakan senyum tipis, meski jelas-jelas itu rapuh.
“Tidak… tidak ada apa-apa,” jawabnya pelan, nyaris berbisik.
Jayden mengerutkan alisnya, lalu mencondongkan tubuh sedikit. "Nayara… aku lihat jelas wajahmu. Kau panik. Ada yang salah, kan?"
“Tidak apa, Jayden. Apa kita bisa pulang? Aku baru mendapatkan pesan dari ibuku bahwa aku harus segera pulang,” ucap Nayara, mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan alasan yang terdengar masuk akal.
Jayden menatapnya beberapa detik, seolah berusaha membaca kebenaran dari wajah gadis itu. Namun ketika melihat mata Nayara yang berkilat cemas, ia memilih tidak memaksa.
“Baiklah, kalau begitu kita pulang sekarang,” jawabnya lembut. Ia lalu tersenyum kecil untuk menenangkan Nayara, sebelum berjalan ke arah motornya.
Nayara menarik napas panjang, mencoba meredam degup jantungnya yang terasa begitu keras. Ia tahu kebohongan kecil ini hanya akan memberinya sedikit waktu, sebelum badai besar bernama Kaelith benar-benar menunggunya di apartemen.
Nayara memasang helmnya, lalu bersiap naik ke motor Jayden. Tepat saat itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan baru masuk.
"Aku pergi ke Cádiz malam ini dan mungkin esok baru kembali." — isi pesan dari Kaelith.
Mata Nayara berbinar seketika. Senyum tipis yang tulus terbit di wajahnya. Akhirnya… ada jeda untuk bernapas. Begitu pikirnya.
Ia tidak tahu, di balik kalimat singkat itu, Kaelith tengah memainkan manipulasi halusnya. Pesan itu hanya jebakan, sebuah umpan untuk melihat sejauh mana Nayara berani melangkah ketika merasa dirinya terbebas.
Kaelith, yang sebenarnya masih berada di Sevilla, menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Mari kita lihat, sayang… apa yang kau lakukan ketika kau pikir aku jauh darimu.
Akhirnya mereka tiba di persimpangan jalan, Jayden menerima helm itu, menatap wajah Nayara yang terlihat begitu teduh di bawah lampu jalan. Ada keraguan di mata gadis itu, namun senyum kecil tetap ia paksakan.
“Terima kasih, Jayden, atas malam yang indah ini,” ucap Nayara lirih, seolah takut ada yang mendengar.
Jayden mengangguk pelan. “Kalau saja aku bisa mengantarmu sampai depan pintu, aku pasti melakukannya. Tapi aku tahu… kau punya alasanmu.” Suaranya mengandung pengertian, namun juga sedikit kecewa.
Nayara menunduk, jari-jarinya memainkan ujung cardigan panjangnya. “Aku… hanya tidak ingin ada yang salah paham. Aku berhutang banyak padamu hari ini.”
Jayden tersenyum, meski matanya menatap lekat seolah ingin menyimpan wajah gadis itu lebih lama. “Kalau begitu, simpan satu hal untukku yaitu berjanji bahwa ini bukan terakhir kalinya kita bertemu.”
Nayara mendongak, hatinya bergetar, tapi ia hanya bisa mengangguk singkat. “Aku janji.”
Jayden menyalakan motornya kembali, lalu melaju pelan, meninggalkan Nayara yang kini berdiri sendiri di bawah temaram lampu jalan, menyembunyikan debar hatinya yang bercampur takut dan bahagia.
Dengan langkah hati-hati, Nayara menuju apartemennya, berusaha menenangkan diri, masih yakin Kaelith sedang jauh di Cádiz tanpa tahu bahwa pria itu sebenarnya menunggu, memperhatikan, dengan sabar dan dingin.
Nayara membuka pintu apartemen dengan hati-hati. Gelap gulita menyambutnya, hanya suara langkahnya yang terdengar menggema di ruangan. Gadis itu menghela napas lega, keyakinannya semakin kuat bahwa Kaelith benar-benar pergi ke Cádiz malam ini seperti pesan yang ia terima.
“Syukurlah…” bisiknya, sembari menutup pintu perlahan. Ia meletakkan tasnya di sofa, lalu berjalan ke arah kamarnya.
Namun begitu Nayara menyalakan lampu kecil di ruang tengah, matanya seketika membelalak.
Di kursi sudut, siluet tubuh seseorang tampak jelas dalam kegelapan Kaelith. Duduk bersandar dengan tatapan tajam menusuk, seolah sejak tadi sudah menunggunya.
“Selamat malam, Baby,” ucapnya rendah, suaranya serak namun penuh ancaman. “Senang sekali akhirnya kau pulang…”
Jantung Nayara serasa terhenti, seluruh darahnya membeku. Ponselnya teringat di genggamannya pesan Kaelith tentang Cádiz, kini jelas terbukti hanyalah manipulasi.
Nayara berdiri terpaku di tempatnya, tubuhnya bergetar hebat. Tatapan Kaelith begitu menusuk, tajam dan dingin seperti pedang yang siap menebas lehernya kapan saja.
“K-Kaelith…” suaranya pecah, nyaris tak terdengar.
Pria itu tidak segera berdiri, hanya mencondongkan tubuhnya ke depan dengan siku bertumpu di lutut, memperhatikan Nayara seperti predator yang mengamati mangsa. Senyumnya tipis, tapi matanya penuh murka.
Detik demi detik terasa panjang. Jantung Nayara berdetak tak beraturan, perutnya melilit, dan dalam ketakutan yang memuncak itu ia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Cairan hangat merembes di balik gaun yang ia kenakan, menetes ke lantai tanpa bisa ia cegah.
Nayara terisak panik, kedua tangannya menutup wajah, “Aku… aku tidak sengaja…”
Suara itu justru membuat Kaelith perlahan bangkit dari kursinya. Langkah kakinya terdengar berat, namun teratur mendekati Nayara.
“Jadi kau bahkan takut sampai seperti itu…” bisiknya dingin. “Apa yang kau sembunyikan dariku, hm?”
“Aku tidak menyembunyikan apa pun, Kaelith…” ucap Nayara terbata.
Kaelith menatapnya lama, rahangnya mengeras. Ia melangkah mendekat hingga Nayara terpojok.
“Tidak menyembunyikan apa pun?” ulangnya pelan. Tangannya terulur, mencengkeram dagu Nayara agar menatap lurus padanya.
“Kalau kau berbohong padaku sekali lagi… aku pastikan kau akan menyesal.”
Air mata Nayara jatuh. “Aku… aku tidak berbohong.”
Senyum tipis melintas di wajah Kaelith. “Kita lihat saja nanti.”
Kaelith tiba-tiba menarik pergelangan tangan Nayara dengan kasar. Gadis itu terhuyung, hampir terjatuh, sebelum tubuhnya diseret menuju kamar mandi.
“Kaelith lepas… tolong!” seru Nayara panik.
Pria itu tidak menggubris, wajahnya dingin penuh murka. Begitu sampai, ia menyalakan shower hingga air deras mengguyur tubuh Nayara beserta gaunnya yang langsung basah menempel.
Dengan kasar Kaelith menggosok bahu dan lengan Nayara, seakan ingin menghapus sesuatu yang kotor darinya. “Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir aku bodoh, hah?” suaranya parau menahan amarah.
“Kaelith, sakit… kau menyakitiku!” tangis Nayara pecah, tubuhnya menggigil bukan hanya karena air dingin, tapi juga karena ketakutan.
Kaelith berhenti sejenak, menatap wajah Nayara yang berurai air mata bercampur air shower. Genggamannya masih kuat, namun dalam tatapan matanya ada gejolak lain antara cemburu, benci, dan ketakutan kehilangan.
Kaelith tidak mengendurkan cengkeramannya sedikit pun. Air terus mengguyur tubuh Nayara yang semakin gemetar.
“Aku tidak peduli kau menangis atau memohon, Nayara,” desis Kaelith tajam di telinganya. “Aku tidak akan berhenti sampai aku yakin tidak ada satu pun jejak pria lain tersisa padamu.”
Tangannya kembali menggosok kasar lengan Nayara, bahkan membuat kulit putih gadis itu memerah. Nayara berusaha menepis, tapi tubuhnya lemah tak berdaya melawan tenaga Kaelith yang jauh lebih kuat.
“Kaelith… aku mohon… aku tidak melakukan apa-apa,” tangisnya pecah, suaranya parau terbawa derasnya air.
Namun pria itu tetap bergeming, rahangnya mengeras. “Jangan bohong lagi padaku, Nayara. Sekali lagi kau mencoba menyembunyikan sesuatu… aku tidak segan mengurungmu selamanya.”
Shower terus menyirami mereka berdua, menciptakan suasana yang tegang dan menyesakkan.
Nayara menatap Kaelith dengan mata sembab, air mata bercampur dengan air shower yang mengucur deras. Suaranya pecah, namun jelas menusuk dada pria itu.
“Aku membencimu, Kaelith… sungguh.”
Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena dingin air yang terus mengguyur, tapi juga karena perasaan terhimpit dan tersakiti.
Kaelith terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap antara marah, terluka, dan tidak rela. Kedua tangannya yang semula mencengkeram Nayara dengan keras perlahan mereda, tapi tatapan tajamnya tetap menancap pada gadis itu.
“Kau tidak mengerti…” ucapnya dengan suara rendah, penuh tekanan. “Aku tidak bisa melepaskanmu, Nayara. Benci aku sepuasmu, tapi kau tetap milikku.”
Udara kamar mandi semakin berat, seakan kata-kata itu menutup ruang untuk Nayara bernapas lebih lega.
Keesokan paginya, Nayara terbangun dengan kepala berat. Cahaya matahari sudah menembus celah tirai, namun pintu kamarnya tak bisa digerakkan meski ia sudah mencoba berkali-kali. Terkunci.
Ia menatap sekeliling, mencari-cari ponselnya di bawah bantal, di meja rias, bahkan di lantai. Kosong. Semalam ponsel itu masih bersamanya sebelum Kaelith menariknya ke kamar mandi. Hatinya mengeras, yakin bahwa benda itu kini ada di tangan Kaelith.
Waktu berjalan lambat. Perutnya perih menahan lapar, sementara rasa cemas menggerogoti dadanya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap pintu yang tak kunjung terbuka. Dari luar hanya sesekali terdengar suara langkah Kaelith seperti bayangan yang sengaja memberi tahu kalau ia ada di sana, tapi tidak berniat mengizinkan Nayara keluar.
Menjelang sore, rasa frustasi membuat Nayara mendekap lututnya erat. “Kaelith…” bisiknya dengan suara parau, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri daripada memanggil orang itu.
Sejak subuh, Kaelith duduk di ruang tengah dengan wajah dingin, matanya sesekali melirik ke arah pintu kamar Nayara yang terkunci rapat. Ponsel Nayara ada di tangannya, layar itu berkali-kali ia buka, seolah ingin memastikan kebenaran yang baru saja ia temukan.
Nama seorang pria terpampang jelas di daftar kontak Jayden. Jari Kaelith mengetuk layar, membuka galeri. Seketika napasnya memburu. Ada beberapa foto Nayara di sana, tersenyum dengan bebas di samping pria itu. Sebagian diambil di toko buku, sebagian lain di sebuah lapangan yang ramai, Nayara terlihat begitu bahagia… jauh berbeda dengan wajahnya saat bersama dirinya.
Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di sisi ponsel hingga hampir meremukkannya. “Jadi ini alasanmu selalu ingin keluar, Nayara?” gumamnya dengan suara rendah penuh amarah.
Tatapan Kaelith bergeser ke pintu kamar. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, senyum yang sama sekali tidak menyiratkan kelembutan. Ia bangkit perlahan, menenteng ponsel itu, melangkah menuju kamar Nayara.
Langkah Kaelith berhenti tepat di depan pintu kamar. Dengan kasar ia memutar kenop, lalu mendorong pintu itu terbuka.
Di dalam, Nayara duduk di tepi ranjang dengan wajah letih dan kusut. Ia langsung menegang ketika melihat Kaelith masuk dengan ponselnya di tangan.
“Good Morning Baby…” suara Kaelith berat, hampir menyerupai geraman.
Mata Nayara membesar. Ia langsung tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. “Apa… apa yang kau lakukan dengan ponselku?” tanyanya gugup, suaranya bergetar.
Kaelith menutup pintu dengan hentakan keras, kemudian melangkah mendekat. Ia memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan foto Nayara bersama Jayden di lapangan malam itu.
“Jadi… ini yang kau lakukan di belakangku?” ucap Kaelith dingin, tatapannya menusuk dalam.
Nayara berusaha menggeleng, air matanya menetes. “Bukan seperti itu, Kaelith… aku hanya...”
“Diam!” bentak Kaelith, membuat gadis itu terperanjat. Ia melempar ponsel itu ke ranjang hingga jatuh di samping Nayara. Kedua tangannya kini menggenggam bahu Nayara dengan kasar, menekannya agar tidak bisa bergerak.
“Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak bisa tahu kalau kau mencoba bermain-main dengan pria lain di belakangku?!” suaranya menggelegar di kamar yang sunyi.
Nayara terisak, tubuhnya gemetar di bawah cengkeraman Kaelith. “Aku… aku hanya ingin sedikit kebebasan…” bisiknya lirih.
Kata-kata itu justru membuat Kaelith semakin murka. Rahangnya mengeras, tatapannya membara. “Kau milikku, Nayara. Dan tidak ada satu pun yang bisa merebutmu dariku.”
Kaelith mendorong tubuh Nayara hingga terjatuh ke ranjang. Gadis itu terisak keras, kedua tangannya berusaha menutup wajahnya, tapi Kaelith meraih pergelangan tangannya dan menekannya ke atas kepala, membuat Nayara tak bisa bergerak.
“Lihat aku!” bentaknya, suaranya bergetar penuh amarah.
Nayara menggeleng, air mata terus jatuh dari matanya. “Tolong… jangan seperti ini, Kaelith…”
Tangan Kaelith yang lain menelusuri rahang Nayara, mencengkeramnya dengan kuat hingga gadis itu terpaksa menatap matanya. “Kau tahu apa yang paling ku benci? Pengkhianatan. Dan malam itu… kau memilih orang lain. Bukan aku.”
Nayara menangis lebih keras, tubuhnya bergetar hebat. “Aku tidak mengkhianatimu…” suaranya nyaris tak terdengar.
Kaelith terkekeh sinis, lalu menepiskan rambut Nayara dengan kasar. “Jangan berbohong. Foto-foto itu cukup menjadi bukti. Kau tersenyum untuknya… tapi tidak untukku. Kau tahu rasanya melihat itu? Seakan kau menikam dadaku.”
Nayara menggertakkan giginya, meski ketakutan ia mencoba melawan dengan suara yang pecah. “Aku… aku tidak pernah memilihmu, Kaelith! Sejak awal, aku terjebak karena video itu. Kau mengancamku, membuatku terikat padamu. Kau pikir itu hubungan? Itu paksaan! Jadi jangan bicara seolah aku berutang setia padamu!”
Mata Kaelith menyipit, rahangnya menegang. “Video itu? Jadi sekarang kau menyalahkanku?”
“Ya! Karena tanpa itu, aku tidak akan di sini bersamamu. Kau tidak berhak mengatur siapa yang dekat denganku, karena sejak awal tidak pernah ada cinta di antara kita!” teriak Nayara, suaranya pecah penuh emosi.
Kaelith terdiam sesaat, tatapan matanya semakin gelap. Kemudian ia menunduk, bibirnya hampir menempel di telinga Nayara. Bisikannya dingin, penuh ancaman.
“Aku bisa membuatmu lumpuh sekarang juga, dan kau tak akan pernah lagi berjalan bersama pria lain. Atau… aku bisa pergi ke gubuk kecil tempat wanita tua itu tinggal, dan pastikan ia tak pernah bernapas lagi.”
Tubuh Nayara menegang seketika, wajahnya pucat pasi. “Jangan… jangan sakiti ibu ku…” isaknya.
Kaelith tersenyum miring, puas dengan ketakutan Nayara. Ia melepaskan cengkeramannya perlahan, tapi tangannya masih menahan dagu gadis itu.
“Ingat, Nayara… kau hanya hidup karena aku mengizinkannya. Video itu, aku, dan ancaman ini… semuanya adalah tali yang menjeratmu. Jangan pernah mencoba keluar dari jalanku, atau aku akan menghancurkan dunia kecilmu.”
Setelah itu, ia kembali mendorong Nayara ke ranjang, lalu berbalik meninggalkan kamar, pintu berderit keras saat dibanting.
Nayara terisak di tempatnya, tubuhnya masih gemetar hebat, rasa takut bercampur dengan luka batin yang makin dalam.