Kisah seorang gadis bernama Kanaya, yang baru mengetahui jika dirinya bukanlah anak kandung di keluarga nya saat umurnya yang ke- 13 tahun, kehadiran Aria-- sang anak kandung telah memporak-porandakan segalanya yang ia anggap rumah. Bisakah ia mendapatkan kebahagiaannya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jeju Oranye, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUK- 34 : Aria merasa sangat malu
"Ya sudah, tunggu sebentar ya, kakak gak akan lama. Cuma mau siap- siap sebentar, " kata Areksa, matanya hanya tertuju pada Kanaya tanpa mau repot- repot menoleh pada orang-orang yang tengah menatapnya keheranan.
Masih di liputi kepelikan membuat Kanaya hanya mengangguk saja.
Dan benar, selang beberapa menit saja Areksa sudah kembali dengan setelan santai dan memakai sepatu kets berlogo merk terkenal.
Kanaya juga sudah selesai memakai sepatu nya. Dia segera berdiri saat Areksa memanggilnya.
"Ayo."
Tanpa menoleh lagi, Areksa melangkah keluar diikuti Kanaya.
Sementara Aria mengepalkan tangannya dengan wajah mengeras, hanya bisa menatap kepergian mereka dengan hati yang dongkol.
Di luar, suasana terasa dingin, karena hujan yang sempat membasahi bumi semalam. Mereka mulai berlari, langkah kaki mereka berpadu seirama, mengelilingi komplek perumahan yang masih lenggang.
Keheningan menyelimuti keduanya. Kehangatan matahari pagi mulai terasa, tapi tidak dengan suasana di antara mereka. Rasanya masih tetap canggung, seperti kemarin. Tiga tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk bisa akrab kembali dalam sekejap.
Setelah beberapa saat, Kanaya memberanikan diri. Ia melambat membuat Areksa ikut berhenti.
"Kak Reksa, " panggil Kanaya, suaranya pelan. "Benar kakak akan pergi ke Amsterdam, lusa? "
Areksa menatapnya, tak ada tanda- tanda pria itu akan menjawab, dia justru mengangkat alisnya. "Biasanya kalo kita hanya berdua dan ada di luar kamu selalu manggil 'abang' dan bukan 'kakak' ? " protes laki-laki itu dengan suaranya yang sedikit merajuk.
Kanaya menghela nafas, astaga! kakak nya ini bisa ngambek juga ternyata.
"Baiklah, abang. Bisa jawab pertanyaan tadi? "
Areksa menghela napas. Ia tahu pertanyaan ini akan datang. Ia menunjuk bangku taman di dekat mereka. "Kita duduk yuk di sana? "
Kanaya mengangguk. Mereka berdua duduk. Hening kembali merayap, Areksa menatap sang adik, matanya mengisyaratkan penyesalan yang terdalam.
"Naya," Areksa memulai. "Maafkan abang. Untuk semuanya. Untuk sikap abang selama ini."
Kanaya mendongak, menatap Areksa tak percaya. "bang..."
"Abang tahu abang saja. Selama ini abang telah salah menilai, tiga tahun lalu abang terlalu cepat menghakimi mu, terlalu mendengarkan orang lain tanpa mendengarkan dulu penjelasan mu... " Areksa menunduk, menghela nafas berat.
"Maafkan abang atas semua kesalahan abang selama ini, meskipun maaf saja rasanya tak cukup.. tapi abang ingin berubah menjadi kakak yang lebih baik untuk mu. Abang janji, setelah abang pulang dari Amsterdam, abang akan ... "
Air mata Kanaya menetes. Hatinya perih. Areksa harus pergi saat hubungan mereka baru saja membaik. Ia sedih. Sangat sedih.
"Bang, " Kanaya berucap lirih. "Kenapa... kenapa abang harus pergi sekarang? "
Areksa menoleh, terkejut melihat air mata Kanaya. Ia segera menghapus air mata itu dengan ibu jarinya. "Hei, adik tangguh nya abang gak boleh sedih. Abang janji tidak akan lama. Saat pulang nanti abang akan membawakan banyak oleh-oleh untuk mu, bagaimana? "
Kanaya tercekat. Masalahnya, mereka mungkin tidak akan bertemu lagi setelah ini dan areksa tidak akan menemukan nya di rumah saat pria itu pulang nanti. Itulah sebabnya Kanaya merasa sangat sedih. Ia menunduk mencoba menyembunyikan air matanya yang terus mengalir.
"Naya, " Areksa memanggil lagi, suaranya kini terdengar khawatir. Ia mengangkat dagu Kanaya agar menatapnya. "Ada apa? ada yang lain? katakan pada abang? "
Kanaya menggeleng, air matanya jatuh membasahi tangannya. "Tidak ada apa-apa, Bang. Aku... hanya tidak ingin Abang pergi."
Areksa menarik Kanaya ke dalam pelukannya. "Abang janji, tidak akan lama. Abang janji akan kembali dan jadi kakak yang lebih baik untukmu."
Mereka berdua terdiam, hanya suara angin dan kicauan burung yang terdengar. Kanaya merasa nyaman dalam pelukan Areksa, seolah semua beban di pundaknya menghilang. Perlahan, ia melepaskan pelukan itu. Ia menyeka sisa air matanya dan mencoba tersenyum.
"Tentu saja abang akan kembali, " Kanaya berucap berusaha menyembunyikan kesedihan nya. "Kanaya percaya. " Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas yang sengaja di bawanya. Buku sketsa dan pensil.
"Bang, " Kanaya menatap Areksa, matanya berbinar. "Boleh Kanaya gambar wajah abang? boleh ya? "
Areksa tersenyum, senyum tulus yang sangat jarang ia tunjukkan. "Tentu saja, boleh. Tapi, apa kamu yakin?" Areksa mulai menggoda, "Wajah Abang kan tidak terlalu bagus."
Kanaya tertawa pelan. Abangnya ini merendah untuk meroket,padahal ia ingat betul betapa banyak wanita yang ingin menjadi kekasih abangnya ini sejak dulu. "Bagus, kok. Sangat bagus."
"Baiklah," Areksa mengambil posisi duduk tegak, ia berpura-pura serius. "Lihat, wajah abang sudah fokus. Cepatlah gambar, sebelum abang bosan."
Kanaya kembali tertawa, lalu mulai menggambar. Ia tidak peduli, ia hanya ingin mengabadikan momen ini. Momen di mana ia dan kakaknya, akhirnya kembali bersama, sebelum semuanya terlambat.
Sementara Areksa, dia merasa sangat bahagia, akhirnya sosok adiknya yang ceria dan periang ini telah kembali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah menghabiskan waktu yang berharga di taman, Areksa dan Kanaya kembali ke rumah. Wajah mereka terlihat lebih cerah, senyum tipis terukir di bibir Kanaya. Setelah mencurahkan isi hati yang terdalam dan saling memaafkan, kehangatan mereka mulai terasa berbeda dari kecanggungan yang muncul sebelum nya.
Mereka memasuki rumah, namun langkah mereka terhenti.
Di ruang tengah, suasana sangat ramai. Bukan karena keluarga mereka, melainkan karena puluhan orang dari butik Lavish & co, yang Areksa dan Kanaya kunjungi kemarin sekarang datang membawa rak-rak berisi baju, tas, dan sepatu. Semua koleksi terbaru yang mewah, bahkan butik itu sengaja membawa cermin besar untuk menjajalnya.
Namun, di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang paling mencolok. Aria.
Gadis itu sudah menjajal salah satu gaun cantik berwarna Salem. Ia berjalan anggun, berlenggak- lenggok di depan cermin, sesekali tertawa kecil sambil memegang gaun itu. Ia terlihat sangat bahagia. Rayyan, Jendra, dan Javier melihatnya dengan tatapan bangga. Mereka tidak melihat Aria sebahagia ini sebelumnya.
Saat Aria melihat Areksa dan Kanaya masuk, matanya berbinar. Ia langsung berlari menghampiri Areksa.
"Kak Reksaaa!" seru Aria riang, memeluk Areksa erat-erat. "Makasih! Makasih banyak! Ya ampun, aku nggak nyangka Kakak bakal kasih aku hadiah sebanyak ini! Padahal ulang tahunku masih bulan depan, loh!"
Areksa terdiam. Wajahnya datar, tidak membalas pelukan Aria. Kanaya yang berdiri di belakang Areksa hanya bergeming, tanpa ekspresi berarti di wajahnya.
Aria melepaskan pelukannya, menatap Areksa dengan tatapan penuh kebahagiaan. "Aku suka semua gaunnya, Kak! Tapi yang ini paling bagus! Lihat deh, cantik kan aku pakai ini?"
Areksa menatap lurus ke mata adiknya. Suaranya terdengar dingin dan tajam, memecah suasana. "Aria, semua baju itu bukan untukmu."
Senyum di wajah Aria langsung memudar. Tubuhnya kaku. "Maksud Kakak?"
"Semua koleksi yang kamu jajal, itu bukan hadiah untukmu," ulang Areksa. "Itu semua milik Kanaya. Kemarin Abang sudah bilang ke Lavish &co untuk membawa semua koleksi mereka ke sini untuk Kanaya. "
Seolah ada petir yang menyambar, wajah Aria langsung memerah padam. Ia menoleh ke arah Rayyan, Javier, dan Jendra. Mereka semua terdiam. Tidak ada yang berani menatapnya. Aria merasa dunianya runtuh. Ia yang tadinya merasa di atas awan, kini jatuh ke jurang terdalam. Ia merasa sangat bodoh dan malu.
Aria melihat ke arah Kanaya yang seolah tengah mengejek nya, padahal Kanaya hanya diam saja tanpa ekspresi. Ia merasa sangat ingin berteriak. Ia ingin menangis, ia ingin memarahi Kanaya. Tapi ia tahu itu tak bisa karena imagenya di depan keluarga adalah gadis yang lemah lembut dan rapuh.
Aria merasa sangat kesal karena tidak bisa meluapkan emosinya.
"Aku... aku kembali ke kamar," gumam Aria, suaranya bergetar. Ia menahan air matanya dan berlari ke kamarnya, meninggalkan semua orang yang terdiam.
****
penasaran rahasia besar ayah ny.. wkwk
semoga kebahagiaan menyertai mu nay