Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Kado Pernikahan
Mentari terdiam seketika. Jemarinya saling meremas satu sama lain. Dia juga menggigit bibir bawahnya.
Melihat Mentari yang tak segera merespons membuat Gendis semakin meledak-ledak. Dia kembali menggebrak meja sehingga membuat Mentari tersentak. Perempuan tersebut menelan ludah sebelum akhirnya mulai bicara.
"Sebenarnya ayahmu adalah cinta pertamaku. Tapi, saat itu ayahmu masih miskin. Aku nggak mau hidup susah dengannya. Akhirnya kami berpisah ketika aku selesai kuliah. Lalu ...." Mentari menghela napas menatap langit-langit untuk mencoba mengorek kembali masa lalunya.
"Aku bekerja di perusahaan papa Noah sebagai kepala tim marketing. Penjualan kami bagus, melihat mama Noah yang hidup bercukupan dan memiliki suami yang baik membuat aku iri. Jadi ... aku perlahan mendekati Pak Arga. Menggodanya, membuat hubungannya retak ketika mama Noah mengandung."
Suara Mentari kembali bergetar. Matanya basah karena tangis. Gendis mendengar semua pengakuan ibu kandungnya itu dengan hati teriris.
"Aku terus mendekat dan sabar menunggu Pak Arga agar bisa menceraikan istrinya. Sampai akhirnya hubungan gelap kami dipergoki oleh istrinya. Dia mengalami kecelakaan tepat di hadapan Noah. Akhirnya dia meninggal dan kami pun menikah." Mentari menghapus air matanya, kemudian menggenggam kedua bahu Gendis.
"Lalu, bagaimana aku bisa hadir ke dunia jika ternyata papa sama kamu sudah putus dan tak berhubungan lagi?"
"Kami tak sengaja bertemu lagi, ternyata kehidupanku dengan Pak Arga bukan hal yang kuinginkan. Papamu menjadi pengusaha sukses, masih lajang saat kami bertemu, dan mengatakan bahwa masih mencintaiku. Getaran cinta itu masih sama kurasakan. Getaran yang tak pernah ada ketika Pak Arga menyentuhku, bahkan saat kami bersama. Akhirnya aku berselingkuh dengannya dan mengandung kamu. Aku menyembunyikan kehamilanmu dari suami sahku." Mentari tersenyum kecut sambil menghapus jejak tangisnya.
"Saat perut besarku tak bisa lagi disembunyikan, aku berdalih ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Pak Arga setuju, aku tinggal di sana dan melarangnya datang menjenguk. Justru papamu yang kupanggil menemaniku jika ada waktu luang dan memberikan dukungan ketika melahirkan dan menyusuimu. Aku pulang ke Surabaya saat kondisi pulih, kamu dan papamu menyusul seminggu setelahnya."
"Kamu menelantarkan aku! Kamu wanita egois dan serakah! Kamu tidak akan bisa hidup tenang lagi setelah ini!" seru Gendis histeris.
Mentari memeluk tubuh Gendis. Berusaha menenangkan putri satu-satunya itu. Namun, Gendis terus berontak. Dia seakan jijik ketika kedua tangan sang ibu menyentuh kulitnya.
"Kamu salah, Ndis! Setiap hari aku selalu mencuri waktu! Datang ke rumah ini untuk menyusuimu! Rahasia ini tersimpan rapat! Aku pikir ini akan menjadi rahasia selamanya. Tapi, siapa sangka justru kamu yang menemukan rahasia kelam ini di balik dinding kamarmu!" Tangis Mentari pecah seketika.
Tubuh perempuan itu mendadak ambruk ke atas lantai. Dia memukul dadanya sendiri. Namun, apa yang sudah berlalu tak bisa kembali lagi.
"Gendis, Ibu mohon agar tidak menyerah terhadap Noah! Ibu mau kamu mendapatkan semua saham yang ada di perusahaan itu! Kita harus mengusainya, ya?" Mentari menatap Gendis penuh harap, kedua lengannya kini memegang bahu Gendis.
"Aku sudah nggak mau jadi pionmu, Bu! Sejak awal aku tidak pernah tertarik dengan harta itu! Aku hanya ingin dicintai secara tulus oleh Noah! Papa, satu-satunya orang yang dengan tulus memberikanku kasih sayang dan cinta sudah tidak ada! Kamu sudah mengubahku menjadi wanita yang sangat menyeramkan! Semua demi ambisimu itu! Kamu sangat egois!" Dada Gendis kembang kempis ketika mengatakan semua itu.
"Aku akan pergi! Jangan pernah mencariku lagi!" ujar Gendis.
Perempuan tersebut balik kanan dan menaiki anak tangga satu per satu. Dia mulai berkemas. Niatnya sudah bulat untuk meninggalkan Surabaya, kota kelahiran yang hanya memberinya luka.
Usai berkemas, Gendis menghubungi Ivy. Panggilannya kini diabaikan. Perempuan tersebut akhirnya mengirimnya sebuah pesan singkat.
Malam harinya, angin bertiup dingin membelai permukaan bumi. Sesekali tercium aroma tanah basah. Gendis keluar dari taksi, lantas menekan tombol yang ada di depan gerbang kediaman Noah.
"Tolong buka pintunya! Aku butuh bicara sama Ivy dan Noah." Gendis menggedor pagar besi yang menjulang tinggi di hadapannya.
Namun, benda itu tak bergeming. Angin menjadi lebih kencang dan dingin. Tetes air hujan perlahan jatuh.
Gendis menengadahkan tangannya. Dia melihat ke langit gelap dengan kilat yang sesekali terlihat. Mendadak hujan menjadi lebih deras.
Gendis tak beranjak dari sana. Tujuan utamanya adalah berpamitan dan meminta maaf kepada Ivy serta Noah. Dia juga ingin memberikan kado pernikahan yang belum pernah benar-benar diberikan.
"Dia masih belum pergi, Bu." Srini sang asisten rumah tangga kini menemui Ivy yang duduk di ruang kerjanya.
Ivy beranjak dari kursi. Dia berjalan ke arah jendela dan mengintip dari sana ke arah Gendis yang berdiri di depan gerbang. Ivy menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
"Bawa dia masuk. Berikan handuk dan teh jahe. Saat hujan sudah reda, biarkan dia pulang. Aku tidak sudi menemuinya." Ivy memberikan pesan itu kepada Srini.
"Baik, Bu." Srini pun balik kanan dan keluar dari ruangan tersebut.
Srini membuka pintu gerbang sambil membawa payung dan mantel hujan. Gendis tampak membeku, tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, matanya merah. Dia tak menoleh saat Srini memanggil, tetapi kakinya perlahan mengikuti arah sang pembantu rumah tangga.
“Masuklah, Mbak Gendis. Saya siapkan handuk dan teh hangat. Ibu Ivy minta agar Anda berteduh. Nanti setelah hujan reda, Anda bisa pergi,” ucap Srini dengan suara hati-hati.
Gendis tak menjawab, tetapi dia mengikuti. Setibanya di dalam rumah, Gendis hanya duduk di ruang tamu, memeluk tubuhnya sendiri yang menggigil. Teh jahe yang dihidangkan tak disentuhnya. Suasana di ruang itu dingin dan hampa, seperti bayangan hubungan yang telah retak dan tak bisa diperbaiki.
Gendis duduk di tepi sofa ruang tamu, tubuhnya masih gemetar meski sudah berganti pakaian dan diselimuti handuk hangat. Rambutnya basah menetes ke lantai kayu. Teh jahe di atas meja mengepul samar, aromanya menusuk hidung, tetapi Gendis belum menyentuhnya.
Srini mengawasi dari sudut ruangan, merasa tak enak karena harus melayani tamu yang tahu-tahu muncul tanpa pemberitahuan. Namun, Srini tahu betul posisinya. Dia hanya menjalankan perintah.
“Apa Ivy benar-benar nggak mau ketemu aku?” tanya Gendis, lirih. Hujan di luar mulai mereda menjadi rintik-rintik kecil.
Srini ragu sejenak. “Maaf, Bu Ivy sedang tidak ingin diganggu.”
Gendis menunduk. Ada genangan kecil di bawah matanya, tetapi dia cepat menyekanya. “Aku cuma ingin pamit dan bilang terima kasih.”
Srini diam, lalu membenahi handuk yang melorot dari bahu Gendis. “Mbak Gendis boleh menunggu sampai hujan reda. Setelah itu, saya akan panggilkan supir untuk mengantar pulang.”
Gendis tersenyum kecil, lalu bangkit berdiri dan menatap figura besar di dinding, potret pernikahan Ivy dan Noah. Begitu hangat, begitu sempurna. Akan tetapi, ada luka yang tak tampak di balik bingkai itu.
“Mbok Srini,” ucap Gendis pelan. “Aku tahu kamu orang kepercayaan Ivy. Tolong berikan ini kepadanya.”