Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?
Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.
Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."
Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Mau Sekolah
Dua minggu terasa berlalu begitu cepat. Hari ini seharusnya aku bersiap untuk masuk sekolah lagi, memulai tahun terakhirku di SMA, kelas 12. Tapi entah kenapa, setiap kali aku membayangkan harus melangkah ke gerbang sekolah itu, seluruh tubuhku menolak. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghentikanku.
Aku nggak mau ke sekolah. Aku nggak mau ketemu siapa-siapa, gumamku sambil menatap ponsel yang sedari tadi hanya kupelototi.
Aku benar-benar ingin pindah sekolah. Pikiran itu kembali lagi dan semakin kuat sejak beberapa hari terakhir.
Setelah kejadian bersama sahabatku, setidaknya aku merasa masih punya Nizan dan Azzam di sisiku. Tapi mungkin itu hanya kebahagiaan semu. Nyatanya, Azzam sudah dua minggu ini tidak menghubungiku sama sekali. Aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tapi tidak ada balasan.
Chat terakhirku masih menunggu tanda biru:
...Azzam...
1 minggu lalu
^^^Lo kenapa sih, Zam? Kalau ada masalah, bilang sama gue. Lo marah gue baikan sama Nizan?^^^
4 hari lalu.
^^^Setidaknya kasih tahu gue kalau lo nggak mau dihubungin, atau jelasin salah gue apa, bukan malah ngilang.^^^
Kemarin.
^^^Azzam, gue beneran nggak ngerti lo kenapa. Please jawab. Lo bilang gak bakal ninggalin gue lagi dan akan selalu stand by, buktinya mana? Ngeselin sumpah. Terserah lo deh.^^^
Tidak ada satu pun jawaban. Bukan hanya tidak dibaca, tapi benar-benar seperti aku tidak ada.
Dan Nizan? Dia malah membuatku lebih terkejut. Baru beberapa hari kenal dengan Kak Ruby, kemarin dia mengajaknya pergi kencan. Aku melihatnya dari jendela kamarku ketika dia menjemput Kak Ruby.
Entah mengapa, melihat itu, aku jadi egois. Hatiku terasa sakit seolah Nizan hanya milikku. Padahal dulu, saat melihatnya bersama Mira, aku tidak sesakit ini.
Apa mungkin karena kali ini aku tahu Nizan bisa benar-benar berubah hati?
Pagi ini kamarku masih redup. Aku tetap berbaring menatap langit-langit. Pintu terbuka perlahan, Mama masuk sambil membawa aroma sabun khasnya. Ia menatapku sebentar, lalu berjalan ke jendela dan menarik gorden dengan cepat. Cahaya matahari langsung memenuhi ruangan.
Aku mengerjap, memalingkan wajah ke arah tembok.
Mama dengan suara tenangnya bertanya padaku. "Adek sekolah nggak hari ini?"
"Nggak, Ma," jawabku lemah tanpa menoleh kearah Mama.
Mama mengeryit dan perlahan mendekat kearahku. "Kenapa? Adek sakit?"
Aku menjawab dengan suara yang semakin pelan. "Adek mau pindah sekolah aja, Ma. Kalau nggak bisa pindah, mau berhenti aja."
Mama berhenti tepat di tepi kasurku. Ia duduk perlahan, menunduk, lalu mengusap rambutku dengan gerakan lembut.
"Iya, terserah adek aja. Kalau itu yang bikin adek lebih tenang dan happy, kita pikirin sama-sama nanti, ya."
Aku menoleh sekilas. Tatapan Mama hangat, tidak ada sedikit pun rasa marah atau kecewa. Ia memang selalu begitu, tidak pernah memaksaku.
Mama melanjutkan ucapannya. "Mama tahu kok kamu lagi nggak baik-baik aja. Apalagi kemarin, waktu kamu lihat Nizan jemput Kakak."
Aku menggigit bibir. Dadaku terasa sesak.
Mama berdiri pelan, menepuk bahuku sebentar, lalu keluar meninggalkan kamar.
Siangnya, aku duduk di ruang tengah. TV menyala tapi aku tidak fokus. Bang Shaka baru pulang. Ia menaruh tasnya di sofa lalu memperhatikanku lama.
Bang Shaka menyipitkan matanya, mencoba bercanda denganku. "Lo, kenapa? Mukanya kayak abis ketemu hantu."
"Nggak apa-apa," jawabku jutek, malas menanggapinya.
Bang Shaka mendekat, duduk di sebelahku. Nada bicaranya mulai serius. "Nggak apa-apa apaan. Hari ini kenapa lo nggak sekolah? Sekarang udah ada gue, kalau ada yang macam-macam, langsung gue beresin."
Aku spontan menoleh cepat, kaget. "Bang! Jangan aneh-aneh."
Bang Shaka mengangkat alis, menyilangkan tangan di dadanya. "Serius. Ini gara-gara siapa lagi? Perasaan kemarin pas gue pulang lo happy-happy aja. Cowok? Temen sekolah? Jangan bilang nggak ada apa-apa ya. Lo sampai nggak mau sekolah, pasti ada masalah lain yang gue gak tahu."
Aku menghela napas, kemudian menatapnya. "I'm fine abangku sayang. Stop overthinking deh."
Bang Shaka menatapku beberapa detik, lalu mendesah panjang. Ia meraih bahuku, menepuk pelan. "Gini aja. Ayo ikut gue jalan. Biar kepala lo nggak mumet. Mau es krim? Apa mau nonton? Apa aja deh."
"Nggak usah deh, Bang," jawabku ragu.
Bang Shaka mencondongkan badannya sambil pura-pura mengancam. "Kalau lo nggak ikut, gue sumpah bakal nyari tuh anak-anak yang bikin lo sedih kayak gini."
Aku langsung menatapnya tajam.
"Bang, jangan! Gue nggak mau ada drama-drama. Lo kan tahu gue nggak suka kekerasan."
"Yaudah, berarti lo sekarang ikut gue. Kalau nggak, sore ini lo denger aja teman-teman lo di RS semua."
Aku menghela napas panjang, menyerah. "Iya deh, tapi jangan aneh-aneh."
Bang Shaka bangkit menuju ke arah dapur. "Yaudah buruan siap-siap. Gue nggak mau dunia lo berhenti hanya karena beberapa binatang yang nyakitin lo. Gak worth it."
Aku terdiam. Kata-kata kasarnya seperti menampar, tapi anehnya membuatku sedikit lebih ringan.
Aku akhirnya masuk kamar, mengganti bajuku dengan kaos putih oversize dan celana jeans. Tidak ada riasan, hanya mengikat rambut asal. Saat keluar, Bang Shaka sudah menungguku di depan pintu sambil memainkan kunci motor.
Bang Shaka melirik cepat. "Sip. Udah siap. Lo mau kemana dulu?"
Aku mengangkat bahu. "Terserah."
Bang Shaka menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersabar dengan tingkahku. "Ya ampun, Tisya. Jangan-jangan sepanjang jalan lo bakal diem doang?"
Aku hanya menatapnya sebentar tanpa menjawab. Dia mendesah, lalu menepuk kepalaku pelan.
"Udahlah, naik. Lo diem aja, biar gue yang ngomel."
Aku naik ke motor, duduk di belakang. Angin siang menuju sore itu menyapu wajahku ketika motor melaju. Untuk beberapa menit, kami hanya diam. Bang Shaka lalu mulai bicara. "Sya, serius jujur sama gue, lo kenapa lagi sih sampai gak mau sekolah? Gue khawatir tahu lo kayak gini. Untung gue pulang, kalau gue nggak ada, pasti lo diem nangis di kamar gak kelar-kelar."
Aku menggigit bibir, menunduk. "Gue cuma capek aja, Bang."
"Capek sama siapa? Sama sekolahnya atau sama orang-orangnya?"
Aku menjawabnya ragu. "Dua-duanya."
Bang Shaka mendecak, tapi nada suaranya tetap tenang. "Kalau ada temen cewek atau cowok yang bikin lo sampai segininya, berarti dia nggak pantes buat lo. Udah gitu aja."
Aku tidak menjawab. Ada perasaan perih di dada, meskipun aku tahu perkataan Bang Shaka dari tadi benar semua.
Matahari sudah hampir tenggelam saat motor Bang Shaka berhenti di depan rumah. Aku turun perlahan, membawa kantong plastik berisi waffle yang sengaja ia beli untuk Mami.
Bang Shaka mematikan mesin motornya. Kemudian memastikan keadaanku. "Gimana? Udah baikan? Nggak separah tadi pagi, kan?"
Aku menarik nafas sebelum akhirnya menjawab. "Iya. Makasih ya, Bang."
Bang Shaka menepuk pundakku ringan. "Ingat ya, Sya. Semua cowok itu brengsek. Jangan dekat-dekat cowok lagi. Nanti lo sakit."
Aku hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam. Mama sedang menonton TV. Aku memberinya waffle, berbicara sebentar, lalu kembali ke kamar.
Begitu pintu tertutup, aku menjatuhkan tubuh ke kasur. Badanku lelah, tapi pikiranku mulai sedikit lebih ringan. Aku menatap ponsel yang sejak tadi kuabaikan. Notifikasi WhatsApp menumpuk. Sebagian besar grup sekolah. Aku tidak berniat membuka, sampai mataku berhenti pada satu nama yang sudah lama tidak kulihat dari notifikasi ponselku.
Isi pesannya begini: Lo kenapa nggak masuk, Sya? By the way, kita sekelas lagi, loh.
Aku terdiam beberapa detik. Jemariku menggantung di atas layar. Rasanya seperti ada sesuatu yang perlahan membuka ruang kecil di dadaku. Ah, sepertinya suasana hatiku memang cepat sekali berubah.