Vio, seorang penulis novel amatiran yang terlena dalam dunianya, melupakan kehidupan nyata dan asmara setelah beberapa kali merasakan sakitnya patah hati. Saat menyadari usianya akan memasuki kepala tiga, ia, atas desakan kedua orangtuanya di paksa untuk segera menemukan pasangan hidup. Keanehan muncul ketika ia bertemu Ayusa, pria yang tampak sempurna, tanpa menyadari bahwa Ayusa bukan manusia. Ajaibnya lagi, setelah mengenal sosok Ayusa, Vio menjadi peka dan bisa merasakan kehadiran mahkluk dari alam lain, membuatnya percaya bahwa di dunia dan alam semesta beserta isinya ini tidak hanya di diami oleh manusia ataupun mahkluk hidup yang ada di bumi secara kasat mata. Ia percaya kehidupan itu menyebar secara luas dengan tingkat dan dimensi yang mereka huni masing-masing.
...
Kisah ini menggabungkan unsur Fantasi, Horor, dan slice of life.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marthin Liem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amukan Raja Iblis
Di kediaman keluarga Vio, kegelapan menyelimuti kamar Sandy. Vio duduk di sudut kamar sang kakak, mata penuh kekhawatiran, dan tatapannya terpaku pada tubuh Sandy yang tergeletak lemah. Suara bisikan angin malam masuk melalui celah jendela, menciptakan aura tegang di udara.
Bu Alina, dengan wajah yang dipenuhi kecemasan, menghampiri Luther. "Apa yang terjadi pada Sandy, Pastor?" tanyanya dengan suara berbisik.
Luther meresapi momen tersebut, mengamati cahaya redup di ruangan yang dihiasi oleh lilin. "Tubuhnya dikuasai oleh kekuatan jahat yang mengincar jiwanya," ujarnya perlahan, memberikan penjelasan tanpa menyebutkan nama yang tak seharusnya untuk menjaga privacy dan menghormati orang tersebut.
Pak Burhan, dengan pandangan gelisah, memandangi tubuh putranya. Luther merogoh kantongnya, mengeluarkan kalung rosario, dan dengan penuh kehati-hatian, melingkarkannya di leher Sandy. "Ini untuk melindungi jiwa dan memberikan kekuatan pada dirinya," jelas Luther.
Sandy, yang seolah-olah terlelap, tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Matanya membelalak, tetapi tatapannya kosong, seperti tersapu oleh kekuatan yang tak terlihat. Bibirnya pucat, dan ia tampak lelah, bahkan tidak tertarik pada makanan semenjak ia sakit. Seakan hanya kopi hitam yang selalu diinginkannya.
Di sudut kamar, Vio merasakan kehadiran Luther. Mata gadis itu memancarkan kekhawatiran, namun tak ada yang bisa dilakukannya secara langsung. Luther, meskipun tak melihatnya, merasakan keberadaan Vio.
"Sesungguhnya kalian tak kehilangan anak perempuan kalian," ungkap Luther, mencoba memberikan sedikit ketenangan.
"Maksud Anda?" tanya Bu Alina, dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Dia ada di sini," jawab Luther, memandang ke arah Vio tanpa melihatnya.
"Apa itu artinya putri kami sudah tiada?" Pak Burhan terdengar ragu dan lemah.
"Tidak, ia masih hidup, hanya saja saat ini sedang berada di dimensi yang berbeda," papar Luther, mencoba memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh mereka.
Bu Alina terdiam sejenak, mengenang peristiwa kelam yang pernah dialaminya. "Apa itu artinya, Vio dibawa oleh Ayahnya?" bisik Bu Alina, wajahnya mencerminkan kebingungan.
Pandangan Luther beredar di antara pasangan suami istri itu. "Sekarang, yang perlu kalian lakukan adalah bersatu, bersama-sama menghadapi ujian ini," kata Luther dengan bijak.
Namun, kekhawatiran Bu Alina semakin dalam. Ia merenung sejenak, mencari jawaban dalam kegelapan malam yang memayungi rumah mereka.
Luther mengusulkan dengan penuh kehati-hatian, "Sebaiknya keadaan putra kalian dibantu juga dengan penanganan medis. Kita khawatir kondisi dalam tubuhnya terganggu karena sudah tidak makan selama 2 hari."
Kedua pasangan itu mengangguk, mendengarkan dengan seksama saran yang diusulkan sang Pastor untuk mengembalikan kondisi Sandy. Pak Burhan, di satu sisi, tampak tidak terima dengan tindakan seseorang yang tega berbuat jahat terhadap putranya. Namun, ia tidak tahu siapa orang tersebut.
...
Saat Vio sedang merenung di sudut kamar, samar terdengar gema suara yang memanggil. "Vio... Kamu dimana?"
Gadis itu berdiri, mengedarkan pandangannya, yakin bahwa itu adalah suara Ayusa karena ia pergi tanpa izin. Selama ada Luther di sana, Ayusa sulit memasuki rumah tersebut. Jelas, ia marah terhadap istrinya, berpikir Vio ingin menghindari Ayusa.
"Vio!" panggilan itu terdengar menggelegar, membuat indra pendengaran Vio terusik dengan jantung yang berdebar. Namun, selama ada sang Pastor, Vio sulit menembus dinding dimensi untuk kembali menemui Ayusa.
"Aduh, bagaimana ini?" keluhnya, terlihat sangat kebingungan terjebak dalam situasi yang tidak terduga.
"Kenapa dia lama sekali?" gumam Vio, sementara sang Pastor masih asyik mengobrol dengan ayah dan ibunya.
"Vio, kamu ingin mencoba pergi dariku? Coba saja, kamu tak akan pernah bisa melakukannya! Karena kamu sudah mutlak menjadi milikku seutuhnya!" ancam Ayusa dengan suara yang merayap menusuk telinga. Vio berusaha merespons.
"Suamiku, aku tidak mungkin lari darimu, aku terjebak. Aku tak bisa menembus dinding dimensi. Bagaimana aku harus bertindak?"
Sialnya, teriakan Vio seolah terhalang oleh sesuatu, tak dapat mencapai pendengaran Ayusa. Vio benar-benar terjebak di antara dua alam yang berbeda.
Ayusa, yang bangkit dari berbaring dengan sorot mata murka, mulai mengamuk. Teriakannya memanggil para pengawalnya, membuat mereka mendekat.
"Kenapa, Tuan? Apa yang terjadi?" tanya Rion, sementara Ayusa terus berteriak.
"Hentikan perbuatan Pastor itu! Dia akan mengambil Vio dari tanganku!"
"Tenangkan dirimu, Tuan," ujar Kaino. Beberapa iblis lainnya merasa terusik oleh suara teriakan raja mereka, mengganggu seluruh aktivitas di Elyrian. Listrik terputus, kendaraan canggih rusak, bangunan menjulang tinggi bergoncang, dan beberapa fasilitas lainnya hancur.
Seketika, dunia Elyrian menjadi pemandangan yang mengerikan karena amukan sang Raja Iblis yang kehilangan istrinya.
***
Di tempat yang berbeda, waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Suara getar alarm ponsel terdengar, ditempatkan Hans di balik bantalnya, dan dengan cepat, ia bangun dari tidurnya.
Reina, yang semalaman tetap terjaga, berpura-pura tidur. Diam-diam, ia mengintip suaminya yang beranjak dari tempat tidur. Hans mengganti pakaian dengan seragam kerja, lalu melapisi dengan jaket.
Rasa heran muncul dalam pikiran Reina. "Kenapa dia berangkat sepagi ini?" batinnya. Ia tidak ingin tinggal diam, bangun, dan mendekati Hans yang sedang bersolek di depan cermin, tingkah lakunya terlihat seperti seorang remaja yang baru memasuki usia pubertas.
"Pah, mau kemana pagi buta begini?" tanya Reina, merasa canggung dan takut mendapat reaksi amarah dari Hans.
Hans mendekati Reina, meletakan kedua telapak tangannya di bahu wanita itu, lalu memberikan senyuman tulus. "Mah, jangan curiga apapun padaku. Percayalah, aku seperti ini juga demi memenuhi kebutuhan hidup kita dan masa depan kita," ujarnya dengan tutur kata lemah lembut, berusaha mengecoh Reina agar tidak selalu curiga.
"Iya, tapi, kenapa harus sepagi ini?" tanya Reina, masih heran. Hans mengecup singkat keningnya, lalu mendekap Reina, membiarkannya merasakan kenyamanan.
"Papa harus melakukan cek barang, karena bahan baku baru saja tiba tadi malam. Kamu tahu sendiri kan Pak Jordan orangnya seperti apa? Kalau dia sudah memerintah, pasti tidak bisa ditunda. Harus dilakukan dengan segera," terang Hans, merangkai cerita dengan kata-kata palsu. Reina mengangguk, kali ini reda kekhawatiran dan curiga dalam hatinya setelah mendengar penjelasan Hans.
"Ya, kalau memang begitu, Mama percaya, Pah." Reina mengangguk, dan Hans mengelus pucuk kepalanya, lalu mereka keluar dari dalam kamar bersama-sama.
"Papa mau sarapan dulu?" tawar Reina, tetapi Hans menolak.
"Tidak usah, Ma. Papa buru-buru, Pak Jordan sudah menunggu." Sambil menggandeng tangan istrinya, mereka melangkah keluar rumah.
Saat membuka pintu, suasana sunyi terasa, dan angin menyibak rambut panjang Reina. Pada jam 3 pagi, semua orang masih terlelap di alam mimpi masing-masing.
"Mah, sepertinya kamu masih ngantuk, tidur lagi sana!" Hans mengamati kedua mata istrinya yang tampak sayu.
Reina mengangguk, kali ini perasaannya lega, dan ia pun ingin segera tidur setelah semalaman hanya berpura-pura terlelap karena gundah.
"Papa hati-hati." Reina meraih tangan suaminya, dan mencium sebagai tanda cinta dan hormat.
Hans menaiki mobilnya, meninggalkan halaman rumah dengan penuh semangat untuk segera menemui Sintia.
Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan kost Sintia yang kini menjadi tempat pertemuan gelap mereka.
Wanita itu mendengar deru mesin mobil yang tidak terlalu bising, membuka tirai untuk memastikan bahwa itu adalah Hans.
Dengan antusias, Sintia keluar dan mendekatinya. "Hei, mobilnya taruh di sebelah sana saja!" tunjuk Sintia pada halaman kosong di sebelah kost tersebut, khawatir Yanuar akan datang untuk menjemputnya nanti pagi.
Hans mengangguk, menuruti ucapan Sintia, dan ia kembali masuk ke dalam mobil.
Setelah memarkir mobil di area tersebut dan menutupinya dengan terpal, Sintia mengajaknya masuk dan mengunci pintu dari dalam.
"Aku kangen sama kamu." Hans mendekatkan bibirnya dengan bibir Sintia, dan percumbuan di antara mereka tak terelakkan.
Saat itu, Sintia hanya mengenakan dress tidur berwarna putih sebatas lutut yang sedikit menerawang, memancing gairah Hans.
Matanya menjelajahi tubuh Sintia dari atas kepala hingga ujung kaki. Dengan dorongan nafsu yang tak tertahankan, Hans membaringkan tubuh wanita itu.
Dengan gesit, ia membuka kain segitiga pengaman Sintia, dan tanpa ragu melepas seluruh busananya di depan mata Sintia.
Senjata Hans sudah berdiri tegak, dan ia menyibak dress wanita itu, memperlihatkan area intim Sintia yang begitu menggiurkan. Hans mengelus dengan lembut, mengakibatkan tubuh Sintia menggelinjang kesana kemari.
***
Di tempat yang berbeda...
Ketika Reina memejamkan kedua matanya, ia terlelap dalam mimpi singkat tentang suaminya bersama seorang perempuan. Tiba-tiba, matanya membelalak tajam, dan jantungnya berdebar kencang, merasa seolah mimpi itu nyata.
Reina bangkit dari tempat tidur, sambil masih terbayang-bayang mimpi barusan. "Ya Tuhan, mengapa aku bermimpi suamiku bersama seorang wanita yang badannya hitam legam?" Merinding menyelusup di sekujur tubuh, dan tanpa ragu, ia meraih ponsel untuk mencoba menghubungi Hans.
...
Bersambung...
gak terasa makasih thor suka ceritanya 😘
kamu hancur hans Reina otw bahagia banget bakal dapet suami soleh mapan ganteng apalagi coba ...