Aku akan kuat dengan caraku sendiri, tanpa menggangu yang lemah dan mengemis kepada yang kuat.
Siapa yang berani melawanku, maka aku tidak segan untuk membunuhnya, siapa yang berani menghalangiku, maka aku tidak segan untuk membunuhnya, siapa yang berani mengusikku, maka aku tidak segan untuk membunuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mhanks, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertarung di dunia mimpi
Sebenarnya Zeno juga kebingungan, apa penyebab Fang menantang Zeno bertarung satu lawan satu, tetapi dia hanya membiarkannya daripada sakit kepala memikirkannya, lagi pula Zeno juga merasa diuntungkan, dengan bertarung seperti ini, Zeno bisa melatih cara bertarungnya.
Semua serangan Fang bisa Zeno hindari dengan baik, walaupun Zeno sendiri juga merasa kerepotan dan belum sempat mengeluarkan teknik untuk menyerang balik Fang yang masih menggunakan teknik tarian naga miliknya.
Sesekali Zeno terlempar setelah terkena efek dari tarian naga milik Fang, wajah Zeno tergores dan mengeluarkan darah di bagian pipi. Meskipun ini di dalam mimpi, tetapi sakit yang Zeno rasakan begitu nyata, mungkin saat bangun tidur dia akan mengalami sakit di seluruh badan.
Fang menghentikan tekniknya, melihat Zeno yang terlempar tidak begitu jauh dan mencoba untuk berdiri. Dia menghampiri Zeno dengan tatapan begitu dingin, rasanya pak tua tersebut tidak suka dengan kemampuan Zeno yang begitu lemah.
“Aku tarik kata-kataku, dengan kemampuanmu seperti ini, bagaimana bisa kau menggenggam takdir dunia.” Kata Fang dengan menaikkan nada bicaranya.
Zeno menggertakkan giginya, menghela nafas begitu panjang karena sedikit kelelahan. “Pak tua itu sedang tidak menggunakan tekniknya, lebih baik aku yang menyerang.” Ucapnya sambil mengusap darah yang menetes dari pipinya.
“Angin:sayatan seribu angin.” Zeno mengulurkan kedua tangannya, mengeluarkan sebuah teknik yang sangat mudah dipelajari tetapi begitu menyakitkan, bahkan dengan satu teknik ini, ribuan orang kalang kabut dibuatnya.
Hembusan angin mengarah ke arah Fang dengan begitu kasar, beberapa sayatan sudah muncul di tubuh Fang, bahkan bisa terlihat jelas bahwa sayatan tersebut begitu lebar dan banyak. Tetapi Fang masih sangat santainya mengangkat pedang tepat di hadapannya.
Sebuah air keluar dari kedua sisi pedang dan membentuk pirasi untuk melindungi Fang dari teknik sangat berbahaya, hal tersebut membuat hembusan angin Zeno hanya mengenai perisai air. Memang benar, hembusan angin Zeno hanya bisa menyayat perisai air milik Fang, tetapi perisai tersebut kembali ke bentuk semula karena sifat air yang begitu mulak.
Zeno menaikkan alisnya, melihat seorang elementalist yang sangat berbakat bisa mengatasi teknik yang merupakan pemberian dewi Luna. Padahal Zeno sendiri sudah menganggap teknik ini sudah terlalu kuat jika di arahkan ke elementalist hebat, bahkan dewa sekalipun.
Tetapi siapa sangka bahwa teknik itu bagaikan angin biasa yang lewat bagi Fang. Hal tersebut membuat pelajaran bagi Zeno bahwa membanggakan kemampuan diri sendiri itu sangat tidak baik, tetapi merendahkan kemampuan diri sendiri juga merupakan suatu hal yang Zeno benci.
Zeno melepaskan tekniknya, karena itu merupakan hal sia-sia dan menghabiskan orka apabila diteruskan. “Rasanya sungguh nyata, bahkan aku juga merasa orka ku juga terkuras.” Batinnya.
Di dunia mimpi ini, Zeno juga tidak bisa memanggil Kiba. Bahkan dirinya juga tidak merasakan keberadaan Kiba sama sekali.
Sebuah tendangan didaratkan di area punggung belakang Zeno, tetapi Zeno begitu cepat menyadarinya dan berbalik arah menahan tendangan tersebut. Zeno mengerutkan dahinya, dalam hatinya begitu kesal karena Fang menciptakan sebuah kloningan dari air yang menyerang Zeno dari belakang.
Menghadapi dua Fang begitu buruk bagi Zeno. Walaupun kloningannya tidak sekuat Fang itu sendiri, tetapi Zeno akan terlalu kesusahan melawannya.
Kloningan Fang dan Zeno beradu serangan fisik, sedangkan Fang sendiri hanya melihat pertarungan kloningannya dengan Zeno. Karena jika Fang ikut campur, maka Zeno hanya akan terkalahkan dengan mudah, sedangkan dirinya juga ingin melihat seberapa jauh bela diri Zeno saat ini.
“Walaupun kau sudah tua, tetapi seni bela diri mu juga cukup bagus.” Kata Zeno memuji kloningan Fang.
“Pujian yang bagus, walaupun aku sudah mati ribuan tahun yang lalu, tetapi bertarung seperti ini membuatku ingin hidup satu kali lagi.” Balasnya.
Pertarungan fisik mereka begitu sengit, Fang yang melihat aksi Zeno hanya bisa memujinya di dalam hati. Bagaimanapun juga, Zeno bisa mengungguli bela diri milik kloningan Fang sendiri.
“Aku harap bertarung berlebihan seperti ini tidak membuatmu kelelahan nak.” Kata kloningan Fang yang ingin mengakhiri pertarungan seperti ini.
“Haha, kau ter.....” Sebelum menyelesaikan pembicaraannya, perut Zeno bagaikan tertusuk oleh benda tumpul yang sepertinya sangat dingin.
“Air:aliran pemecah batu tahap ke sembilan.” Dua jari kloningan Fang dilapisi oleh air menusuk perut Zeno.
Rasa sakit yang dialami Zeno tidak hanya berada di bagian perut yang di tusuk oleh kloningan Fang, tetapi rasa sakit itu bagaikan menembus sampai ke punggung Zeno.
Zeno menoleh kebelakang, dia kini tidak begitu percaya apa yang ia lihat saat ini, sebuah air yang sangat deras menyembur keluar tepat di bagian punggung Zeno. Bisa dipastikan air tersebut keluar dari jari Fang yang menusuk perut Zeno.
Zeno memuntahkan seteguk darah, dia benar-benar tidak percaya dirinya dikalahkan oleh sang leluhur semudah ini. Di kehidupan nyata, sepertinya ia harus benar-benar mengasah kemampuannya lebih jauh lagi.
“Bahkan kau melawan kloningan ku saja tidak bisa, dasar kau lemah.” Kata Fang dengan begitu keras.
Kloningan Fang menghilang, Zeno tersungkur di rumput-rumput yang begitu hijau. “Aku tahu sang pendiri negara bukan tandinganku, tetapi entah rasanya aku tidak ingin kalah begitu saja.” Batin Zeno.
Tubuh Zeno sekarang terluka cukup parah, badannya bisa dibilang berlubang karena teknik milik kloningan Fang, darah terus mengalir di bagian perut dan juga punggung.
“Aku akan pergi, aku harap dua belas tahun lagi aku bisa bertemu denganmu dan kau lebih kuat dari sebelumnya.” Ucap Fang seraya berbalik badan dan berjalan perlahan pergi meninggalkan Zeno.
“Tunggu.” Zeno berdiri dengan darah terus menetes di kedua sisi, berupaya tidak mau kalah walaupun dari dalam mimpi.
Senyuman kecil terukir dari wajah Zeno, senyuman tidak mau menyerah walaupun di hadapannya seorang leluhur yang jauh lebih kuat darinya.
Fang membalikkan badan, tatapan sinis dari wajah Fang membuat kerutan di wajahnya begitu nampak. “Kau tidak mau menyerah? Padahal jelas-jelas kau sudah kalah.”
“Sudahlah lebih baik tunggu dirimu terlelap lagi dan kau akan baik-baik saja, karena ini hanya dunia mimpi. Mungkin jika ini dunia nyata, aku tidak akan tega melakukan seperti ini kepadamu.” Sambungnya.
Hembusan angin yang begitu lembut mengarah ke tangan kanan Zeno, bahkan Fang sendiri juga merasakan hembusan angin tersebut tiba-tiba memusat di tangan Zeno.
Hal yang membuat Fang sedikit kaget adalah, sebuah hembusan angin yang berada di tangan Zeno membentuk sebuah pedang yang berwarna ungu. Kilauan warna ungu bersinar mengeluarkan cahaya sehingga menyilaukan mata Fang. Sama seperti pedang Fang sebelumnya, pedang Zeno juga berbahan angin dengan tajam di ujungnya.
“Apakah itu yang disebut elemen legenda.” Baru kali ini Fang melihat elemen angin berwarna ungu yang konon katanya hanya dimiliki oleh para dewa, sehingga dia begitu terkejut saat melihat pertama kali.
“Angin:tebasan angin tak terlihat, tahap kedua.”