NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janiculum Hill

Yuna menatap Janiculum dari kejauhan, semangatnya membara Yang terletak di Bukit Gianicolo, " jalan kaki aja yuk, Kak!" pintanya dengan nada penuh harap. "Katanya pemandangannya makin indah kalau diperjuangkan pakai betis. Aku ingin

merasakan ketenangan dengan berjalan kaki."

Leonardo menoleh cepat, alisnya terangkat mendengar permintaan itu. "Tidak," jawabnya singkat. Ia mencengkram pelan tangan Yuna yang hendak membuka pintu mobil. "Kamu akan kelelahan. Kenapa harus pakai jalan susah kalau kita bisa ke atas sana dengan mobil?"

Yuna mendengus, berusaha melepaskan genggaman Leonardo. "Aku ini bukan nenek-nenek, mana mungkin kelelahan cuma naik ke bukit doang!" serunya, nada suaranya meninggi. "Dasar overprotektif!" Yuna memalingkan wajahnya, bibirnya mengerucut cemberut. Padahal, dalam hatinya, ia sudah membayangkan momen romantis saat mendaki bukit bersama, namun pria di sampingnya ini justru menolak mentah-mentah.

Leonardo tersenyum tipis melihat perubahan ekspresi Yuna. Ia tahu betul gadisnya sedang merajuk. Dengan lembut, ia mengusap rambut Yuna. "Aku tidak peduli kamu ini nenek atau bukan," ucapnya pelan, berusaha menenangkan.

Yuna berusaha menepis tangan Leonardo, gerakannya sedikit kasar hingga pria itu hampir tertawa. "Kau ini mudah sekali cemberut," lanjut Leonardo, nada suaranya menggoda. "Padahal aku hanya tidak ingin kamu mati sampai di atas sana."

Mendengar ucapan Leonardo, Yuna menoleh cepat, matanya membulat tak percaya. "Bagaimana mungkin aku bisa mati, Tuan Leonardo, kalau cuma naik ke bukit?" gerutunya, nada suaranya bercampur antara kesal dan frustrasi.

Leonardo tersenyum tipis melihat reaksi Yuna. Ia mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas. "Baiklah, sekarang turunlah, kita jalan kaki," ucapnya mengalah. Ia tidak ingin membuat Yuna semakin kesal dan merusak suasana liburan mereka.

Seketika, senyum Yuna merekah. "Beneran boleh, Kak?" tanyanya antusias, matanya berbinar-binar.

Leonardo tidak menjawab. Ia segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Yuna. "Cepatlah," ucapnya datar, menyembunyikan senyum geli yang nyaris lolos dari bibirnya.

Dengan anggun, Yuna keluar dari mobil, meraih kantong cemilan dan tas ransel mereka. "Ini baru namanya liburan," ujarnya senang, menghirup dalam-dalam udara segar pegunungan.

Namun, saat Yuna hendak mengangkat tas ransel, Leonardo dengan cepat merebutnya. "Berikan padaku, tidak usah sok kuat," ucap Leonardo, tatapannya lembut namun tegas. Ia tahu Yuna masih malu-malu untuk meminta bantuannya.

Yuna terkekeh geli, lalu melangkah lebih dulu, diikuti Leonardo di belakangnya. Gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan dengan tatapan berbinar, mengagumi setiap sudut kota Roma yang terhampar di hadapannya. Ia lalu berbalik, berjalan mundur sambil terus berceloteh. "Lihatlah, Kak, kalau jalan kaki kita bisa menikmati pemandangan dengan bebas," ujarnya senang, menunjuk ke sebuah bangunan gereja kecil di sebelah kanan mereka. "Itu ada gereja kecil, imut banget!"

Leonardo menatapnya datar, namun ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya. "Kau ini cerewet sekali, burung kecil. Jangan mundur begitu, nanti terjatuh," peringatnya sambil meraih tangan Yuna, menuntunnya agar berjalan dengan benar.

Yuna tersenyum malu. Leonardo memang begitu perhatian, meski terkadang terlihat sangat protektif di mata orang lain. Namun, bagi gadis yang pernah merasakan pahitnya penolakan seperti Yuna, perhatian Leonardo adalah sebuah anugerah yang tak ternilai harganya.

Mereka terus berjalan, menikmati setiap langkah dan percakapan ringan. Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya mereka tiba di Janiculum Hill. Panorama kota Roma yang indah dan memukau langsung menyambut kedatangan mereka.

Leonardo mengambil selimut dari dalam tas ransel, lalu membentangkannya di atas rumput sebagai alas duduk. "Duduklah di sini, jangan berlari-lari begitu," perintah Leonardo saat melihat Yuna mondar-mandir dengan semangat.

"Kenapa di sini, Kak? Padahal kan bisa naik ke tembok marmer itu," tanya Yuna, menunjuk ke arah tembok pembatas yang menawarkan pemandangan lebih luas. Ia berharap bisa duduk di sana sambil menjuntai-juntaikan kakinya ke bawah.

Namun, dengan cepat, Leonardo meraih tangannya. "Duduklah, jangan meminta sesuatu yang berbahaya," ujarnya datar, namun tatapannya lembut. Ia kemudian menarik Yuna, mendudukkannya dengan pasrah ke dalam pangkuannya.

Di pangkuan Leonardo, Yuna membuka kantung cemilannya, mengeluarkan sekeping keripik kentang. Setelah memakannya sendiri, ia menyodorkan keripik itu pada Leonardo. "Kak, buka mulutmu," ucapnya, matanya berbinar.

"Untuk apa?" tanya Leonardo, alisnya terangkat. Ia memang jarang mengonsumsi makanan ringan.

"Coba keripik ini," sahut Yuna bersikeras, menyodorkan keripik itu lebih dekat ke bibir Leonardo.

Dengan sedikit enggan, Leonardo menerima suapan dari Yuna. "Bagaimana, Kak? Enak nggak?" tanya Yuna lagi, tatapannya penuh harap.

Leonardo mengunyah perlahan, lalu menelan. "Tidak," jawabnya singkat, membuat senyum Yuna sedikit pudar. "Aku lebih suka memakanmu," lanjutnya, lalu mencium tengkuk gadis itu, membuat wajah Yuna merona.

Yuna tahu betul maksud pria di belakangnya. "Mana bisa makan aku. Ada-ada saja kamu, Kak," ucapnya pura-pura tenang, padahal jantungnya berdegup kencang tak terkendali.

Sesaat, hanya terasa sunyi di antara mereka, hanya suara napas dan desahan kecil Yuna yang terdengar. Leonardo terus menciumi tengkuk gadis itu, sesekali menggigit lembut lehernya. Yuna memejamkan matanya, berharap tidak ada orang yang datang dan mengganggu momen intim mereka.

"Kau senang, sayang?" pertanyaan Leonardo memecah keheningan.

"Sangat senang. Apalagi aku baru pertama kali ke tempat ini bersama seorang pria," jawab Yuna jujur. Kenangan pahit bersama Marcelo kembali berkelebat di benaknya. Dulu, saat ia masih menyimpan perasaan pada Marcelo, jangankan mengajaknya ke tempat romantis seperti ini, menganggap keberadaannya saja tidak pernah.

Leonardo tersenyum tipis, merasa puas mendengar pengakuan Yuna. "Dan itu akan jadi satu-satunya. Tidak akan ada pria lain yang menemanimu ke sini," ucapnya sambil membelai lembut pipi Yuna, membuat gadis itu menoleh ke belakang.

"Posesif banget..." sahut Yuna, tersenyum geli. Ia bisa melihat tatapan ingin memiliki yang terpancar jelas dari mata Leonardo.

"Realistis. Karena kau milikku," jawab Leonardo tegas, lalu mengecup bibir gadis itu sekilas. "Kamu ingat malam itu, sayang?" tanya Leonardo, mengungkit kenangan malam pertama mereka.

Yuna menatapnya dalam, mencoba mengingat kembali momen yang mengubah hidupnya itu. Leonardo mendekatkan bibirnya ke telinga Yuna, berbisik pelan, "Kau sendiri yang menerima tawaranku, sayang. Jadi, untuk selamanya, kau tidak akan pernah lepas dariku. Hanya kematian yang bisa membebaskanmu dariku."

Ucapan itu terdengar mengerikan, namun entah kenapa justru menghangatkan hati Yuna. Gadis itu memeluk Leonardo erat, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. "Itu tidak akan pernah terjadi, Kak. Terima kasih untuk semuanya. Aku jujur, sangat senang," ujarnya tulus, tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca.

Saat merasakan kelembapan di kemejanya, Leonardo tahu Yuna sedang menangis. Sentuhan lembutnya mengusap punggung gadis itu, mencoba meredakan gejolak emosi yang melandanya. "Sudahlah, sayang," bisiknya lembut, nada suaranya sedikit menggoda, "Kau ini cengeng sekali. Segala hal kau tangisi."

Yuna mendongak, wajahnya basah oleh air mata, namun senyum tulus menghiasi bibirnya. "Aku... aku hanya terlalu bahagia, Kak," sahutnya lirih, suaranya bergetar karena haru. Dengan gerakan lembut, ia mendekatkan bibirnya dan mengecup Leonardo.

Ciuman itu, awalnya hanya kecupan ringan, berubah menjadi luapan perasaan yang mendalam. Leonardo, tanpa ragu, membalasnya dengan penuh gairah. Tangannya menekan lembut tengkuk Yuna, memperdalam ciuman mereka, seolah ingin menyatukan jiwa mereka dalam satu ruang dan waktu.

Perlahan Marcelo melangkah pelan ke arah mereka. Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan buku sketsa di tangannya menatap Yuna dari kejauhan dengan wajah sendu. "Sepertinya dia telah menemukan seseorang yang bisa membahagiakannya," gumam Marcelo pelan, hatinya terasa nyeri.

Namun, di tengah keintiman mereka, insting Leonardo merasakan kehadiran seseorang di dekat mereka. Tanpa mengindahkan, ia terus memanjakan bibir Yuna, seolah ingin menandai bahwa gadis ini adalah miliknya seorang.

"Yuna..." Suara lirih itu memecah keheningan. Panggilan itu membuat Yuna tersentak dan buru-buru melepaskan diri dari ciuman Leonardo.

"Pak Marcelo?" jawab Yuna kaget, matanya membulat tak percaya. Ia tidak menyangka akan bertemu dosennya di tempat ini, tempat yang seharusnya menjadi saksi bisu kebahagiaannya bersama Leonardo.

Gugup, ia buru-buru menggenggam tangan Leonardo, seolah ingin meyakinkan pria itu bahwa tidak ada apa-apa di antara dirinya dan Marcelo.

"Dosenmu, sayang?" tanya Leonardo, nada suaranya datar, namun ada sedikit penekanan pada kata 'dosen'. Ia berpura-pura tidak tahu, padahal dia sudah menyelidiki informasi tentang Marcelo hingga ke akarnya.

Panggilan 'sayang' itu membuat hati Marcelo semakin nyeri, namun ia berusaha keras untuk tidak menampakkannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Oh, ya? Apa kalian sedang piknik untuk mengisi waktu kosong kuliah?" tanya Marcelo basa-basi, ia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan karena sudah terlanjur menghampiri gadis itu.

"Ah, iya, Pak. Saya dan pacar saya sedang menikmati waktu senggang," jawab Yuna, senyumnya sedikit dipaksakan. Ia masih belum menyadari kecemburuan yang terpancar dari mata Marcelo. Namun, kata 'pacar' itu berhasil menyunggingkan senyum sinis di bibir Leonardo.

"Bapak sendiri ngapain di sini?" tanya Yuna basa-basi. Sejujurnya, ia tidak ingin tahu urusan pria itu.

"Saya ingin melihat-lihat kota dari atas. Siapa tahu bisa dapat pemandangan indah untuk dilukis," balas Marcelo, berusaha menyembunyikan kekecewaan di balik senyum tipis.

"Kalau begitu, maaf sudah mengganggu. Saya pergi dulu," ujarnya, tersenyum hambar. Ia melangkahkan kaki menjauh, hatinya terasa berat. Ia bisa merasakan bahwa Yuna yang berdiri di hadapannya sudah sangat berbeda dari Yuna beberapa minggu yang lalu. Kelihatan sekali gadis itu seolah menghindar dan tidak nyaman dengan kehadirannya.

Setelah kepergian Marcelo, Yuna menatap Leonardo dengan ragu, menyuarakan kekhawatirannya, "Kamu tidak salah paham kan… soal dosen itu?" tanyanya pelan, takut menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.

Leonardo mendengus pelan, menatap Yuna dengan tatapan dingin namun penuh keyakinan. "Untuk apa aku salah paham pada pria yang bahkan tidak layak berdiri di bayanganku?" balasnya dengan nada meremehkan.

Yuna tertawa kecil mendengar kesombongan Leonardo. "Kamu sombong banget… tapi ya, kamu memang beda," godanya, mencubit pelan pipi pria itu. "Ada gilanya sedikit."

Leonardo mendekatkan wajahnya ke telinga Yuna, membisikkan kata-kata yang membuat jantung gadis itu berdegup kencang. "Sedikit? Aku kehilangan kewarasanku sejak kamu masuk hidupku. Dan aku tidak berniat mendapatkannya kembali," bisiknya rendah, membuat Yuna merinding.

Yuna menggenggam tangan Leonardo erat, menyalurkan ketulusan hatinya. "Aku berharap kamu terus seperti ini. Tidak akan bosan denganku," ucapnya jujur, menyiratkan ketakutan yang selama ini ia pendam.

Leonardo meraih wajah Yuna, menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan tekad. "Kamu terlalu mudah terluka… terutama di depan orang lain," ujarnya lembut, menyeka air mata yang nyaris menetes dari sudut mata Yuna. "Aku tidak akan pernah kenyang memilikimu," tegasnya, seolah berjanji pada dirinya sendiri.

Yuna tertawa lega mendengar keyakinan Leonardo. "Hahaha… semoga saja begitu," balasnya, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, merasa aman dan dicintai.

1
Syafa Tazkia
gila abiss
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!