NovelToon NovelToon
Duda Dan Anak Pungutnya

Duda Dan Anak Pungutnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Duda
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29

Carol kaget saat mendengar handphonenya berbunyi. Ia tidak menyangka kalau panggilan itu datang dari papanya.

Carol mencoba untuk tidak membalas pesan dari papanya agar papanya tahu bagaimana rasanya khawatir terhadap seseorang yang sudah lama menunggu kabar.

Mungkin cara Carol terdengar jahat, tapi mau bagaimana lagi? Papanya yang duluan bersikap seperti itu, jadi sesekali harus juga diberi sedikit “pelajaran.”

Anton akhirnya memutuskan pergi ke toko kue kesukaan anaknya. Ia membeli beberapa kue yang mungkin disukai oleh Carol.

Setelah membeli kue, Anton berbicara kepada sekretarisnya yang selalu tanggap setiap kali diajak bicara.

> “Menurut kamu, kalau saya kasih anak saya kue ini, dia bakal maafin saya nggak?”

“Pasti dong, Pak. Kan Bapak udah beliin kue kesukaannya. Masa iya nggak dimaafin.”

“Setahu saya, anak saya itu nggak gampang memaafkan orang. Gimana ya caranya supaya dia nggak marah lagi sama saya?”

Anton sebenarnya takut kalau anaknya tidak mau memaafkan dirinya, karena mungkin perbuatannya sudah terlalu keterlaluan hari ini.

Ia sampai tidak ingat kalau belum bicara dengan Carol, karena saking bahagianya berbincang dengan temannya.

---

Sesampainya di rumah, suasana terasa sepi, seolah tidak ada orang. Anton sempat berpikir, apakah anaknya belum pulang sekolah? Tapi sudah malam, masa iya belum pulang?

> “Bibik, Carol ke mana?”

“Ada di kamarnya kok, Tuan. Emangnya kenapa?”

“Kok rumah sepi banget, kayak nggak ada orang.”

Bibik hanya tersenyum bingung, tidak tahu harus menjawab apa.

> “Ya udah deh, biar saya aja yang ke kamar anak saya. Makasih ya, Bik.”

Anton lalu berjalan ke kamar Carol.

Tok... tok... tok...

Anaknya membuka pintu. Anton tersenyum.

> “Sayang, papa boleh masuk ke kamar kamu nggak?”

“Mau ngapain papa masuk ke kamar aku?”

“Ada yang mau papa omongin. Biar lebih enak aja ngomongnya di dalam.”

Carol mempersilakan papanya masuk, meski Anton tidak yakin apakah itu izin sungguhan atau tidak.

Begitu masuk, Anton terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berbicara dengan hati-hati.

> “Maafin papa, ya. Hari ini papa belum sempat bales pesan kamu. Padahal papa nggak bermaksud kok buat ngacangin kamu. Cuma tadi papa sibuk banget, ke sana ke sini, meeting. Jadi papa lupa deh bales pesan kamu.”

Carol hanya diam. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah dirinya terlalu jahat pada papanya? Ia sudah mendengar penjelasan itu, tapi tetap saja malas menanggapinya.

Anton tahu kalau anaknya masih marah, tapi ia tidak mempermasalahkan. Ia sadar bahwa dirinya memang jarang punya waktu untuk Carol.

> “Ya udahlah, nggak apa-apa, Pa. Lagian kan bukan salah papa juga. Aku yakin kalau papa nggak sibuk, pasti papa bakal bales pesan aku.”

Anton terdiam. Ia tidak menyangka kalau anaknya bisa bicara sebijak itu. Ia merasa bangga sekaligus terharu.

Tanpa pikir panjang, Anton memeluk Carol dengan erat.

> “Makasih ya, sayang. Kamu anak yang baik. Papa sayang banget sama kamu. Papa sampai nggak tahu harus ngomong apa.”

“Jangan sedih dong, Pa. Papa nggak salah kok. Namanya juga manusia, wajar salah, tapi kan nggak perlu dibesar-besarin.”

Anton tersenyum mendengar ucapan itu. Ia lalu mengajak Carol ke bawah untuk makan kue yang baru dibelinya.

> “Coba deh kamu cobain kuenya, enak nggak?”

Carol mencicipi kue itu dan tersenyum.

> “Enak! Ini kan kue yang sering aku beli. Kok papa tahu sih?”

“Tahu dong. Papa sering lihat bungkusannya.”

“Tapi kan papa cuma lihat bungkusannya, bukan isinya. Tapi hebat sih, Papa.”

Anton tertawa kecil. Sementara itu, handphonenya berdering — panggilan dari mamanya — tapi tidak ia angkat karena sedang asyik bermain dan bercanda dengan Carol.

Mamanya pun tidak memaksa, takut mengganggu waktu Anton bersama keluarganya.

---

Anton kemudian menghampiri mamanya yang tersenyum saat melihatnya.

> “Papa gimana? Sehat, Pa?”

“Sehat, sayang. Semua ini berkat bantuan anak kita. Aku nggak nyangka anak kita sehebat itu. Aku malah merasa nggak enak sendiri.”

“Ya, anak kita memang baik, Pa. Dia nggak mau kita marah, padahal Mama udah siap kalau dia mau marah. Tapi dia malah diem, ya Mama bisa apa?”

Anton hanya tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa. Setelah itu mereka berdua duduk di ruang tamu menonton TV.

Sementara itu, Anton dan Carol masih bercanda di meja makan sambil menyantap kue.

> “Pa, Carol lagi bete banget hari ini.”

Anton tersenyum mendengar anaknya bicara duluan.

> “Bete kenapa, sayang?”

“Gara-gara guru aku ngeselin.”

“Guru yang mana? Biar papa samperin.”

“Jangan! Aku nggak suka kalau papa ketemu dia. Jangan ya, Pa.”

Anton bingung kenapa anaknya begitu menolak.

> “Kenapa emangnya?”

“Kayaknya... dia suka sama papa. Makanya aku nggak suka kalau papa ketemu dia.”

Anton hanya tersenyum mendengar alasan polos anaknya itu. Ia lalu mencoba menenangkan Carol.

> “Sayang, dengerin papa, ya. Papa cuma mau konsultasi aja sama gurumu. Nggak ada apa-apa kok. Jadi kamu nggak perlu takut atau mikirin hal yang belum pasti, paham?”

“Ya, aku paham. Tapi nggak untuk guru itu, Pa. Soalnya dia aneh banget. Aku jadi takut tiap kali ketemu.”

Anton jadi bingung. Selama ini Carol nggak pernah mengeluh tentang gurunya, tapi kali ini ia benar-benar terlihat terganggu.

> “Ya udah, kalau kamu nggak mau papa ketemu guru kamu, papa nggak akan ketemu dia deh.”

Carol tersenyum lega.

> “Bagus, Pa. Jangan ya, Pa. Soalnya kalau papa ketemu dia, aku bakal marah.”

Anton terdiam. Ia berpikir, apakah dirinya pernah tanpa sadar bertemu guru itu? Tapi pikiran itu segera teralihkan ketika mamanya mengirim foto.

> “Wah, cantik banget mamanya siapa nih sama papa siapa yang ganteng itu?”

“Ya papa dan mamanya Anton dong. Siapa lagi?”

Anton dan mamanya hanya saling tersenyum, bingung mau bicara apa.

> “Mama dan papa lagi di mana? Bagus banget tuh fotonya.”

“Mama lagi jalan sama papa kamu ke taman belakang rumah.”

“Loh, belakang rumah bisa punya taman sebagus itu? Kok aku baru tahu, padahal aku yang beli rumahnya.”

“Makanya, kamu ke sini dong biar tahu. Sekalian ajak dia juga.”

Anton langsung mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin mamanya tahu tentang anak yang diangkatnya.

> “Udah ya, Ma. Jangan kelamaan di luar, anginnya malam nggak bagus. Jangan lupa istirahat.”

Anton tidak berbicara apa pun lagi kepada mamanya, karena merasa bingung harus berkata apa. Lagipula, malam sudah larut dan tidak seharusnya ia membicarakan hal-hal yang berat kepada orang tuanya.

Keesokan paginya, di meja makan, Anton sering berpikir apakah dirinya harus membawa anak pungutnya itu kepada orang tuanya. Namun, untuk apa? Dulu orang tuanya sangat menentang saat Anton ingin mengangkat anak tersebut, jadi kenapa sekarang tiba-tiba ia ingin membawa anak itu kepada mereka?

1
partini
papa mu bukan papa kandungmu
lah
partini
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!