NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Di halaman rumah, Yaga dan Almaira saling menatap.

Angin berembus, menggoyangkan dedaunan, dan seiring waktu, keheningan di antara mereka semakin dalam.

Saat membayangkan kepergiannya, Almaira selalu berpikir bahwa bagian tersulit adalah mengucapkan kata perpisahan.

Mereka sudah melakukannya. Seharusnya sekarang semuanya serasa lebih ringan kan.

Namun, anehnya, justru tidak demikian.

"Akhirnya, aku pergi tanpa melihat beban di wajahmu."

"Ah iya, syukurlah..."'

"Teruslah tersenyum padaku Almaira, senyuman mu indah."

"Baik.."

"Jaga dirimu baik-baik ya?"

"... Kak Yaga juga."

Mereka berdiri, menghadapi perpisahan, saling menatap tanpa lagi memiliki kata-kata yang tersisa.

Almaira berkedip beberapa kali, berusaha menerima seberkas cahaya yang tiba-tiba memenuhi pandangannya.

Tak pernah dia membayangkan perpisahan seperti ini.

Lebih mudah melihat jalur yang telah tersambung, daripada menyambungkan jalur itu sendiri.

Berdiri di depan jalan yang bisa dilalui, hanya bisa menatapnya seperti orang bodoh, itulah yang memalukan.

Pada akhirnya, Almaira yang memulai lebih dulu.

Dia mengangkat tangannya sendiri, menyentuh kalung yang diberikan oleh Yaga dulu rasanya longgar, kini membelenggu di leher

Sama seperti Yaga yang tampaknya benar-benar tidak akan mudah melepaskannya lagi.

Sebagai simbol saling percaya

Tanpa banyak berpikir, dia mengeluarkan nama kalung itu dan memperlihatkan kepadanya.

"Aira akan selalu merindukan Kak Yaga, cepatlah pulang."

"Hmm, aku akan selalu mengabari mu. Jangan nakal ya?"

"Apa?"

Nada suaranya ringan, nyaris terdengar seperti candaan.

Aneh. Perasaan apa ini?

Seolah besok, dia akan kembali ke rumah. Tapi Almaira tahu itu tidak mungkin benar.

Mungkin itu hanya caranya untuk menghilangkan kesedihannya.

Bentuk kesetiaan kecil yang, alih-alih menghiburnya, justru terasa membuatnya tersipu malu.

"Baiklah, Aira akan selalu membalas pesan."

"Kenapa tidak menelpon saja?"

"Bisa, Aira akan menelpon lebih dulu."

"Benarkah?"

"....." Almaira termenung melihat wajah Yaga

Dia menghadapi permasalahan ini dengan sempurna.

Tidak terguncang, tidak menyindir dengan kata-kata tajam, tidak terlibat dalam perselisihan yang melelahkan.

Yaga tampak baik-baik saja.

Dia telah mengetahui alasan di balik kebohongan ini, menerimanya, dan menyelesaikan semuanya dengan kedewasaan yang tenang.

Sementara alasan yang coba diurai oleh Almaira terasa memalukan, cara Yaga menyelesaikannya begitu rapi, seolah tak ada satu benang pun yang terlepas.

Sebagai pengingat terakhir atas kenyataan itu, Yaga mengulurkan tangannya, membelai kedua pipi Almaira yang lembut.

"Jangan lupakan kata-kata mu ya?"

"..."

Aneh, meski dia sendiri yang mengiyakan untuk menelepon dia justru malu-malu.

Melihat itu, Yaga mengisyaratkan dengan matanya, sebuah perintah tak terucapkan untuk segera menjawabnya.

Dalam keheningan, Almaira akhirnya menganggukkan kepala di telapak tangannya.

Yaga mencium bibirnya, lalu melangkah pergi tanpa ragu.

Hanya itu.

Tanpa kata tambahan. Tanpa ucapan yang emosional.

Dia berjalan menuju mobilnya, melewati sisi kendaraan sebelum akhirnya masuk ke kursi pengemudi.

Saat mesin mobil dinyalakan dan kendaraan mulai bergerak, pandangan mereka bertemu sekali lagi melalui jendela.

Begitu Almaira mundur selangkah, dia segera mengalihkan tatapannya kembali ke depan, tidak lagi melihatnya.

Almaira tetap berdiri di tempatnya, menyaksikan mobilnya yang semakin menjauh, meninggalkannya.

Yaga adalah seseorang yang pernah menunjukkan dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Seseorang yang bahkan membuat tempat-tempat yang biasa terlihat istimewa.

Bahkan kenangan di mana dia menggerutu di belakangnya, di mana dia menahan air mata yang entah kenapa terasa begitu penuh di tenggorokannya, kini terasa manis.

Tapi tetap saja…

Tidak apa-apa. Karena ini bukan pertama kalinya. Bukan pertama kali harus berpisah dengan suaminya yang dicintai.

Mungkin itulah sebabnya rasanya begitu berat.

Dengan keyakinan diri, Almaira mulai melangkah. Dia berjalan lurus ke depan, menolak untuk membiarkan lututnya lemas oleh kesedihan.

Namun, sesekali, dia menoleh kebelakang.

Karena bagaimanapun juga, dia selalu berjalan dengan terlambat. Itu satu-satunya hal yang tidak pernah berubah.

***

Suara rem yang mendadak memecah keheningan.

Yaga memukul setir dengan keras, frustrasi mengalir dalam setiap gerakannya.

Dia melihat tangannya, kalung yang baru saja dia sentuh rasanya membakar kulit telapak tangannya.

Sialan.

Perpisahan macam apa ini?

Kata-kata 'jaga dirimu baik-baik' yang terlontar dari bibirnya tadi masih mengganggunya.

Bahkan saat dia menyuruh Almaira jangan melepaskan kalungnya, ekspresinya tetap tersenyum.

Bayangan dirinya yang tadi menatap Almaira kembali muncul di kepalanya.

Awalnya, Aira malu, ternyata kebenaran yang Kak Yaga maksud akan seperti ini.

Dia bahkan tidak menyebut satu kata pun tentang Amera.

Tidak satu pun.

Sebaliknya, dia hanya merendahkan dirinya sendiri untuk mempertahankan laki-laki yang seharusnya marah dan kecewa.

Bahkan setelah menerima kata-kata murahan dari Amera, dia tidak menyimpan dendam.

Dia justru memikirkan suaminya, khawatir dia akan merepotkan. Bahkan sampai saat itu, siapa sebenarnya yang lebih kuat?

Aira memang bodoh kan?

Yaga tidak bisa membantahnya. Karena gadis itu memang selalu begitu.

Begitu mudahnya merendahkan dirinya sendiri, di manfaatkan orang lain, seolah dia bukanlah apa-apa.

Itu yang membuatnya semakin gila.

Jika dia benar-benar mengungkit kembali, maka itu sama saja dengan menambah beban pada lukanya.

Yaga menghela napas panjang, mencoba menenangkan dadanya yang sesak.

Dia melonggarkan dasinya, tapi tetap saja rasanya seakan ada sesuatu yang mencekiknya.

Dia harus ke luar kota.

Menghancurkan semua orang yang ikut andil dalam pengorbanan yang dulu pernah ditanggung Almaira.

Namun, ada sesuatu mengganggu pikirannya.

Kalau semua itu terjadi, apakah dia akan baik-baik saja?

Tidak.

Itu tidak akan mengubah apa-apa. Pengorbanan yang dia pikul selama tiga tahun tidak akan lenyap begitu saja.

Kemarahannya meletup, bukan hanya untuk istrinya, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Dia, yang mengira bisa melindunginya. Pada akhirnya malah membiarkannya kembali ke jalan yang sama.

Almaira

Kamu bilang aku tidak akan terguncang bahkan jika kamu membohongiku.

Bahwa aku tidak akan rusak meskipun kamu bodoh.

Lalu kenapa sekarang? Kenapa aku justru merasa mimpi mu lebih hancur dari siapapun?

Merepotkan? Tidak enak hati?

Cih, omong kosong.

Aku tidak akan pernah tanggapi, perasaan konyol mu seperti itu, Almaira

Aku tidak bisa membiarkan mu, menanggung semua beban mu sendirian

Bersandar lah Almaira, mengadu padaku. Agar aku bisa terus melihat mu tersenyum.

Yaga menurunkan kaca mobilnya, menatap jalan yang pernah dia lalui bersama Almaira.

Musim semi telah berlalu.

Semoga, semua itu bukan angan-angan kosong.

***

Pagi datang begitu saja.

Almaira terbangun dengan sinar matahari yang menembus tirai kamar.

Drt drt

Hp di atas meja samping tempat tidur bergetar tanpa henti. Saat melihat layar, dia mengira panggilan itu dari suaminya. Namun, ternyata bukan.

[Anita]

Hari ini. Seharusnya dia sedang wisuda di kampus

Almaira bangkit dengan enggan, menekan tombol panggil.

''Halo?"

_ Kak Aira, akhirnya aku lulus..

Anita berseru penuh semangat, suaranya menggema di telepon.

"Wuah.., selamat ya.."

Almaira mengerutkan kening. Dari seberang, Anita tertawa.

_ Kak Aira masih ingat kan? Rencananya, setelah aku lulus, aku memutuskan untuk fokus sepenuhnya menulis novel. Aku bisa mencari pekerjaan lain nanti. Aku takut jadi pengangguran. Jadi cepat katakan aku sudah melakukan hal yang benar kan?

"…Ya, kamu sudah berusaha dengan baik."

_Tapi coba dengar ini Kak, lucunya! Aku pikir ayah dan ibu akan melarang ku, jadi aku sudah menyiapkan seribu alasan untuk bertahan. Tapi mereka malah setuju. Aku benar-benar beruntung kan, huh?

Anita terus mengoceh dengan nada pamer, menceritakan bagaimana dia tidak menyangka akan dibiarkan melakukan apapun yang dia mau.

Dan saat itu juga, bayangan perpisahan kemarin muncul di benak Almaira.

Dia sendiri yang mengantarkan untuk pergi, tapi saat dia mendengar Yaga mengiyakan tanpa ragu, hatinya merasa sepi.

Ternyata dia tidak sendiri.

Almaira menggenggam hpnya lebih erat, merasa sedikit lega.

"Kak Aira mengerti perasaan kamu."

_ Benarkah? Jadi aku bukan satu-satunya yang aneh, kan?

"Tidak."

Dia tersenyum tipis. Tidak ada alasan untuk tidak tersenyum.

Meskipun dia baru saja berpisah dengan suaminya, hari tetap berjalan, telepon tetap berdering, pesan pun selalu di balas dan kehidupan terus berlanjut.

Satu-satunya perbedaan adalah ada satu orang yang tidak lagi menjadi penghalang dalam hidupnya.

_ Aira dengar, Kak Yaga lagi di luar kota ya?

"Hmm"

_ Apa Kak Aira ada rencana untuk menginap dirumah ayah?

"Mungkin, Kak Aira akan menginap selama beberapa hari

_ Begitu ya, mau menginap dikamar ku?

"Apa?"

_ Ah, aku lupa mengabari Kak Aira! Kalau aku baru saja pindah ke apartemen. Maaf ya? Aku benar-benar lupa.

"Tidak apa-apa, Kak Aira tahu kamu pasti sibuk."

_ Jadi bagaimana? Mau tidak?

"....."

Menginap di apartemen Anita bukanlah masalah, tapi dia khawatir akan merepotkan.

Mungkin menyadari keraguannya, Anita tertawa.

_ Ayo, menginap saja disini Kak.. temani aku... Setidaknya, sampai Kak Yaga pulang dari luar kota. Atau kalau tidak, datangnya siang hari saja, dan malamnya Kak Aira pulang ke rumah. Bagaimana?

"... Biar Kak Aira pikirkan dulu, ya? Sebelumnya, terima kasih."

_ Jangan dulu berterima kasih Kak. Aku akan kirimkan alamatnya. Kalau tidak tahu, Kak Aira bisa meminta Pak Baim untuk di antar kesini.

Setelah berbasa-basi sebentar, panggilan terputus.

Almaira menatap pesan yang baru masuk, berisi alamat apartemen Anita

Saat itu, dia menyadari bahwa dia tidak punya waktu untuk terjebak dalam kerinduan

Bahkan hari ini saja, dia memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Mandi, makan, membaca buku yang belum dia tamatkan di kamar.

Sekarang

Dia membuka pintu kamar mandi dan berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak lebih berisi, tapi tidak terlalu gemuk.

Entah kenapa, perasaan ringan mengalir di dadanya. Seolah semuanya baik-baik saja.

Tapi…

Tiba-tiba, tangannya berhenti saat menyikat gigi. Perasaan mual datang menghampiri.

Untuk sesaat, dia menelan ludah dan menggenggam wastafel dengan erat. Namun, lututnya perlahan melemah, dan sedikit tertekuk.

"Ugh…"

Dengan batuk kecil, dia memuntahkan busa pasta gigi. Dengan tangan gemetar, dia memutar keran, membasuh mulutnya dengan air dingin sebelum mengusap sisa air di bibirnya.

Matanya merah, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Dia menatap wastafel berusaha mengendalikan dirinya.

Aira harus baik-baik saja, Aira sudah melalui hari tanpanya beberapa hari. Aira pasti bisa, Aira harus kuat.

Tapi entah kenapa, jantungnya berdetak tak menentu, pikirannya dipenuhi oleh suaminya.

Teruslah tersenyum seperti itu padaku Almaira. Jaga dirimu baik-baik ya?

Aira tidak suka merindu, rasanya menyiksa.

Selama tiga tahun ini, dia belum pernah merasakan jatuh cinta sampai segini nya.

Namun, bersama laki-laki itu, dia merasakannya. Kesadaran itu membuat jantungnya kembali berdetak tak menentu

Sejak kapan, Aira menjadi seperti ini?

***

Brak, Brak!

"Almaira! Buka pintunya! Aku bilang buka pintu!"

Almaira baru saja bersiap untuk pergi dan melangkah ke pintu utama, suara keras itu menggema dari arah pintu gerbang.

Dia menoleh, langkahnya terhenti.

"Itu pasti Nonya Maura."

Di belakangnya, Bibik dan Pak Baim bertukar pandang. Almaira menegang, sementara Pak Baim dengan sigap mendekat ke sisi Bibik

"Biarkan Bibik saja, yang akan melihatnya Non,"

"Tidak perlu Bik, kali ini, Aira sendiri yang akan menghadapinya."

Tatapan Almaira tetap tenang, seolah dia telah bersiap menghadapi ini sejak lama.

Dia menghela napas dan hendak melangkah, tapi tiba-tiba Bibik menghalangi jalannya dengan tubuhnya.

"Non Aira tahu, kan? Amera baru saja mendapat pasangan yang tiba-tiba membawa uang kabur satu miliar! Ini pasti akan jadi kekacauan besar."

BRAK!

Pintu gerbang terbuka dengan keras. Di baliknya, Maura muncul dalam keadaan kacau.

Napasnya terengah-engah, matanya merah dan penuh emosi.

"Apa yang membawa Anda kemari, Nyonya Maura."

Almaira tetap berdiri tegak, suaranya dingin tanpa emosi.

Namun, Maura hanya menatapnya dengan ekspresi tak percaya, lalu tertawa pahit.

"Kenapa aku datang? Kamu benar-benar tidak tahu? Kamu memasukkan anak gadisku ke dalam masalah dan sekarang bertanya kenapa aku di sini?!"

"Siapa yang Anda maksud?"

"Amera! Anak gadis ku! Teman yang kamu khianati dengan tanganmu sendiri! Kamu benar-benar tega mencelakai anak ku. Apa kamu tidak punya hati?!"

Suara Maura melengking saat tangannya mencengkeram kerah baju Almaira dengan kasar.

"Kamu tahu siapa yang meneleponku tadi?! Penyelidik! Pihak penyelidikan. Anak gadisku pasti akan di interogasi bukan?"

"Saya sudah melepaskan hubungan dengannya. Saya tidak tahu apa-apa tentang masalah anak Anda.. Urusan keluarga Anda bukan urusan saya."

"Apa kamu bercanda?! Kamulah yang membuat anak gadisku jadi begini, dan sekarang kamu berpura-pura tidak tahu?! Kamu tahu anak gadisku, tidak mungkin dia minta uang pada mu tanpa alasan, kan?"

"Faktanya, putri Anda sendiri yang mengatakan bahwa dia akan menikah."

"Amera tidak berniat memeras mu, Almaira!"

Jeritan Maura menggema di halaman.

Saat itu, Almaira menoleh ke arah Pak Baim. Tatapannya lelah.

"Pak Baim, tolong antar tamu kita keluar."

Namun, Maura tidak menyerah begitu saja.

"Dasar perempuan gila! Perempuan hina! Kamu pikir kamu bisa lolos dari ku? Hah?"

Dia meraih lengan baju Almaira dengan putus asa, cengkeramannya begitu erat seakan dia ingin menyeretnya jatuh bersama.

Almaira hanya mendesah panjang dan menarik ujung bajunya, membuat Maura terjatuh ke tanah.

"Sekarang, bagaimana dengan anak gadisku?! Aira! Apa yang akan terjadi padanya?! Biasanya kamu akan membantu menyelesaikan masalah ini! Tapi sekarang, kenapa kamu jadi begini....?"

Tangisnya pecah, tubuhnya terguncang hebat. Namun, tak satu pun yang merasa kasihan.

Almaira tetap diam, sementara Pak Baim dan Bibik menunggu perintah berikutnya.

Di tempatnya, Bibik hanya bisa menatap pemandangan itu dengan perasaan gelisah.

Sementara Maura menangis, berteriak, dan mengutuk, kenyataan tetap tidak berubah. Semua yang telah terjadi tidak bisa ditarik kembali.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!