Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
"Nggak enak dong Ar" Shindy bingung ketika disuruh mengembalikan handphone pemberian Wiguna. Apa tanggapan pak Gun nantinya, jelas dosennya itu merasa tidak dihargai.
"Tidak enak bagaimana? Kamu kan istri saya, memang pantas ya, menerima pemberian pria lain."
"Iya, iya" potong Shindy. "Sudahlah Arkan, jangan marah-marah terus" Shindy pusing kepala mendengar omelan Arkan, lalu memutuskan untuk mengembalikan pemberian Wiguna.
"Ya sudah, sekarang kamu mau handphone seperti apa?" Arkan menunjukkan beberapa pilihan handphone di google agar Shindy memilih.
"Tidak usah, besok aku servis saja sekalian ke kampus" Shindy tidak tertarik lagi untuk membeli handphone. Begitulah Shindy memang wanita yang selalu mengalah. Jangankan dengan suami, dengan teman-teman pun selalu mengalah ketika dibuli.
"Hape kamu sudah tidak layak pakai Shindy."
"Sudahlah Ar, jangan bahas hape lagi saya ingin mengerjakan skripsi" Shindy benar-benar tidak mau berdebat. Jika memang Arkan peka dan niat membelikan handphone seharusnya dari kemarin. Apakah salah jika Sindy berprasangka, Arkan berniat membeli handphone untuknya hanya karena tidak mau kalah bersaing dengan pak Wiguna.
Arkan hendak berbicara lagi tapi Shindy mengangkat tangan. Dia memilih pindah tempat agar konsentrasi menulis.
Keesokan harinya Shindy izin Arkan ke kampus hendak bimbingan sekaligus mengembalikan handphone.
"Nanti kamu macam-macam lagi sama pak Gun" Arkan tidak rela Shindy dekat dengan Gun, sebenarnya ingin mengantar tapi apalah daya.
"Macam-macam apa sih, Ar? Profesional sedikit kek!" Shindy rasanya ingin menangis saja.
"Ada apa?" Adisty tiba-tiba masuk ruangan.
"Arkan ini Ma" Shindy pun menceritakan jika ia diberi hadiah pak Gun karena menjadi asisten dosen tapi Arkan minta dikembalikan. Bukan masalah itu yang membuat Shindy kesal, namun mau bimbingan pun dicurigai.
"Arkan, jika kamu tidak ingin Shindy diambil pria lain seharusnya membaiki sikap kamu. Bukan sedikit-sedikit marah, cemburu, itu artinya kamu tidak percaya diri karena banyak kekurangan dibandingkan Wiguna" nasehat Adisty panjang lebar. "Shindy... berangkatlah" Adisty menepuk pundak Shindy memberi semangat. Lalu menyuruh supir agar mengantar Shindy.
"Terima kasih Ma" Shindy salim tangan mertua, gantian tangan Arkan kemudian berangkat di antar supir.
Selamat pagi Pak" ucap Shindy ketika masuk ke ruangan pak Gun.
"Eh, Shindy..." Wiguna bersikap seolah tidak terjadi sesuatu walau hatinya kecewa tidak berjodoh dengan Shindy.
"Pak, sebelum bimbingan, saya akan mengembalikan handphone" Shindy meletakkan benda yang masih disegel itu di depan pak Gun.
"Loh, kenapa Shindy, itukan hasil keringat kamu" Pak Gun lagi-lagi kecewa.
"Saya minta maaf, Pak" Shindy sebenarnya tidak tega karena harus mengecewakan pak Gun yang sudah bermaksud baik.
Pak Gun menarik napas panjang, menatap Shindy intens. Dalam hatinya menerka, Shindy mengembalikan hape itu karena Arkan. Namun, ia tetap profesional tidak menunjukkan rasa kecewanya kepada Shindy.
.
Semenjak saat itu Arkan dengan Shindy tidak pernah bertengkar lagi hingga hari ke tujuh di rumah sakit. Hari ini saatnya Arkan diperbolehkan pulang. Shindy menggandeng tangan Arkan keluar dari kamar inap melewati lorong-lorong.
"Arkan" ucap Eric menahan langkah Arkan dan Shindy. "Sebelum pulang kamu jenguk Clara dulu" lanjut Eric.
Arkan hanya diam saja, tentu malas menjenguk Clara. Tetapi jika tidak menuruti kata-kata Erik, pria itu pasti akan memaksa. Arkan pun menoleh Shindy minta pendapat.
"Ar, jenguk saja" Shindy menyuruh menjenguk tentu demi kemanusiaan. Dalam hal seperti ini tidak mau egois.
Arkan menjenguk Clara diikuti Shindy, Shindy menatap Clara dari pintu kaget. Sebab, berbeda dengan beberapa hari yang lalu ketika tubuh Clara dipenuhi peralatan, kali ini tidak lagi.
Di pinggir tempat tidur, Reta pun tersenyum menatap Arkan. Shindy berpikir keluarga Clara memang benar-benar ingin memiliki menantu Arkan. Entah benar-benar hamil atau ada maksud lain, otak Shindy belum bisa berpikir.
"Arkan..." ucap Clara lirih, bibirnya tersenyum.
Arkan hanya menatap Clara datar, malas untuk berbasa-basi apa lagi membalas senyum.
"Mbak Clara sudah tidak ada yang dirasakan?" Shindy yang bertanya. Tetapi tidak ada jawaban dari Clara, bahkan senyum Clara pun mendadak hilang dari bibir Clara begitu menatap Shindy. Ia tampak tidak senang Arkan menjenguk bersama Shindy.
"Lusa, Clara juga sudah diizinkan pulang Shy, saya senang ternyata Clara masih diberi keajaiban" Reta yang menjawab.
"Syukurlah Tante, saya ikut senang" tulus Shindy. Walaupun Clara tidak baik kepadanya, Shindy tidak mungkin mendoakan yang tidak baik.
"Ar, ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan sama kamu," Reta berdiri ambil maf di lemari lalu memberikan kepada Arkan. "Baca ini Ar."
...~Bersambung~...
Sabar Iya Shindy