Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 Kekacauan Pertama
Begitu koper Maya diturunkan di depan pintu asrama putri, ia langsung cemberut. Bangunannya besar, catnya putih agak kusam, dan jendela kayu yang tampak tua.
“Silahkan masuk Maya,” kata azzam sambil tersenyum tipis. “Mulai hari ini, ini jadi kamar kamu.”
Maya menatap pintu dengan wajah dramatis. “Serius, nih? Kayak pintu dunia lain. Kalo gue masuk, keluar-keluar bisa-bisa udah tua lima puluh tahun.”
Beberapa santriwati di sampingnya langsung ngakak. “Itu pintu, bukan mesin waktu.”
"Kalau begitu saya pamit terlebih dahulu, Dania tolong bantu mbak Maya ya ", ucap Azzam kepada salah satu santriwati seniornya. Azzam pun beranjak dan meninggalkan Maya yang masih terpaku di depan asrama barunya itu.
Dengan berat hati, Maya mendorong koper masuk. Ditemani Dania ia mulai menelisik seisi asramanya. Bau khas ruangan penuh anak perempuan langsung menyeruak: campuran minyak kayu putih, bedak bayi, dan mie instan.
Di dalam sudah ada empat santri lain, semua duduk di kasur sambil tersenyum ramah.
"Assalamualaikum semua, ini adalah Maya teman satu kamar kalian. Mbak harap kalian bisa akur dan membantu Maya untuk beradaptasi ", Ucap Dania sang santriwati senior tadi.
Empat santriwati itu tampak berdiri," waalaikum salam, siap mbak", sesekali tersenyum ramah ke arah Maya.
Maya berdiri kikuk sambil melambaikan tangan setengah hati.
“Halo semua… jangan berharap gue bakal langsung betah ya,” katanya lirih, tapi cukup terdengar hingga membuat beberapa santriwati menahan tawa.
Salah satu dari mereka, berwajah bulat dengan jilbab biru muda, langsung maju memperkenalkan diri.
“Aku Sinta, orang sini. Kalau butuh apa-apa, tinggal bilang.”
“Dan aku Rara,” sambung gadis berkacamata yang tampak kalem.
“Namaku Zahra,” ujar yang lain dengan senyum manis.
“Kalau aku Dewi, biasanya paling ribut di kamar ini,” tambah seorang gadis berambut agak ikal yang menutupi mulutnya sambil tertawa.
Maya mengangguk cepat. “Oke..kenalin gue Maya, anak manis yang super kalem".
Mereka saling pandang sembari mengangguk bersamaan.
Dania yang masih ada di sana tersenyum lega. “Alhamdulillah, sudah kenalan ya. Kalau gitu, Maya bisa mulai beresin barang-barangnya. Kalian bantu ya.”
“Iya, Mbak,” sahut mereka bersamaan.
Begitu Dania pergi, Maya langsung menghela napas panjang.
“Oh my god, ini beneran dunia lain. Gue kayak dilempar ke film horor, cuma minus hantunya doang.”
Sinta terkekeh. “Tenang aja, hantu di sini ramah-ramah kok”
Semua tertawa, kecuali Maya yang cemberut makin dalam. Matanya menatap miris kearah kasur yang akan ditempatinya, kasur tipis dengan bercak dibeberapa bagian. Kasur tanpa sprei dengan bantal dan selimut yang sudah terlihat lusuh.
'Katanya ini Pesantren terkenal tapi apaan kasurnya aja lebih buruk dari kasur art gue dirumah', ucapnya dalam hati.
Tak ingin banyak bicara, ia lalu mulai membuka koper, menumpuk baju di atas kasur kosongnya. Tapi baru beberapa helai, Dewi tiba-tiba berteriak,
“ASTAGA! ADA KECOWOK!!”
Sontak Maya melompat kaget setengah hidupnya hilang. “APA?! Kecoa maksud lo?!”
Mereka heboh berlarian, sementara Rara mengambil sapu, dan Zahra berusaha menenangkan Maya yang hampir menaiki meja belajar di sudut ruangan dengan wajah pucat.
“Ya tuhan, gue baru lima menit masuk asrama, udah disambut sama makhluk prasejarah,” keluh Maya dengan dramatis.
Rara akhirnya berhasil menyingkirkan kecoa itu keluar jendela. Semua kembali tertawa, terutama melihat ekspresi Maya yang shock berat.
Dewi menepuk bahunya. “Selamat datang di asrama, May. Kekacauan pertama sudah resmi terjadi.”
....
Setelah drama kecoa tadi mereda, Maya akhirnya duduk di kasur yang katanya “miliknya.” Begitu punggungnya menempel, wajahnya langsung berubah.
“Gilaa… ini kasur apa papan triplek?” keluhnya sambil mengetuk-ngetuk permukaan kasur.
Semua santriwati ngakak.
“Kalau kasur gue di rumah kan empuk ya. Ini mah kalau gue tidur miring, tulang belakang sama kasur bisa saling debat. Gue bilang: ‘kasur, gue capek, tolong deh,’ eh kasurnya jawab: ‘udah lah, lo aja yang kuat-kuatin badan.’”
Sinta sampai menutup mulut, Zahra dan Rara terpingkal, sementara Dewi tepuk-tepuk kasur sendiri.
“Ya gitu lah, May. Semua sama rata. Kalau mau empuk, isi dulu pake bantal seisi kamar.”
“Fix, ini bukan pesantren, ini kamp rehabilitasi tulang,” Maya nyengir getir.
......................
Malam pun tiba. Setelah lampu asrama dipadamkan, semua santri mulai tidur. Tapi Maya masih gelisah di atas “triplek empuk” itu. Matanya melirik ke koper, lalu ke jendela yang sedikit terbuka.
“Gue nggak bisa bertahan di sini. Gue harus kabur. Minimal sampai gerbang depan, nanti bisa mikir lagi,” bisiknya pada diri sendiri.
Pelan-pelan ia bangun, menggeser koper tanpa suara, lalu berjalan jinjit menuju pintu. Sesekali menahan napas tiap kali kasur bunyi “kriiit” karena ada yang bergerak.
Akhirnya, Maya berhasil keluar asrama. Udara malam menusuk, membuat bulu kuduknya meremang. Dengan langkah hati-hati, ia menuju jalan setapak yang mengarah ke gerbang pesantren.
Tapi belum sempat ia melangkah jauh,
“Tengah malam gini, mau kemana, Maya?”
Suara berat tapi tenang terdengar di belakangnya.
Maya membeku. Perlahan menoleh, dan benar saja: Azzam berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatapnya datar. Disebelah nya terlihat seorang santri laki-laki yang tengah ikut berjaga malam.
“Ehh… anu ituu…” Maya gugup, tangannya masih pegang sandal. “Saya… saya cuma… mau olahraga malam aja, biar lebih fresh gitu.” ucapnya sembari menggerakkan kedua tangannya ke atas lalu ke bawah bergantian.
Azzam menaikkan satu alisnya. “Olahraga apa yang bawa koper sebanyak itu?", matanya menatap kearah koper yang berjejer, belum lagi ransel yang tengah di gendong oleh Maya.
Maya langsung nyengir kuda, wajahnya malu bercampur panik.
Azzam menarik napas panjang, lalu mulai bersuara "saya beri kamu pilihan, kembali ke kamarmu atau saya akan bangunkan semua santri agar olahraga mu ini bisa dilihat banyak orang".
Maya terbelalak namun ia sudah hampir sampai,rasanya tak rela apabila harus kembali ke dalam kamarnya.
"Aduhh plis dong jangan lakuin dua-duanya,gue bakalan kasih lo berdua apapun. Asalkan lo berdua ngebolehin gue keluar dari sini. Gue punya banyak barang branded, kalau kalian mau boleh ambil kok. Asal jangan halangin gue ya", wajahnya dibuat semanis mungkin. Walaupun dimata dua laki-laki itu, lebih mirip tatapan pelawak handal.
Azzam menoleh ke arah Farhan yang sudah tidak bisa menahan tawanya. Ia menaikkan alisnya, seolah bertanya harus bagaimana. Farhan hanya menggeleng pelan, tak ingin bersuara.
"Farhan kumpulkan para santri dan Santriwati dilapangan, rupanya malam ini kita ada tontonan gratis", ucap Azzam datar bibirnya tersenyum tipis.
Mendengar hal itu Maya kalang kabut,matanya melotot penuh. Bibirnya mencebik kesal, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia bergegas menyeret koper-kopernya kembali ke kamarnya dengan cepat. Langkahnya begitu cepat, sampai-sampai roda koper itu terlepas sebelah.
Tawa Farhan pecah seketika, sementara Azzam dia hanya menggeleng pelan.
.
.
✨️ Bersambung ✨️