Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Malam itu rumah sudah hening. Yudith tertidur pulas di kamarnya setelah Nindya menemaninya membaca buku cerita. Andrew sudah terlelap
Ponselnya yang tergeletak di meja kerja tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk.
Clara.
“Pak Andrew, ada beberapa poin tambahan dari proposal yang tadi kita bahas. Saya bisa jelaskan sekarang kalau Bapak belum tidur.”
Nindya tercekat kemudian menghela napas, melirik jam dinding. Hampir pukul sebelas malam. Sejenak ia ragu kemudian membalas
“Kita bahas besok saja di kantor. Selamat malam.”
Tapi Clara tidak berhenti.
“Saya merasa lebih nyaman diskusi langsung dengan Bapak. Kalau besok, takutnya poin-poinnya terlupa.”
“Lagi pula… saya tahu Bapak tipe yang teliti, jadi saya ingin memastikan semuanya sesuai.”
Nindya yang geram langsung membalas pesan clara kembali
“Maaf Clara bukankah suami saya sudah mengatakan untuk di bahas di kantor?! saya istrinya. ”
Nindya hendak meletakkan ponselnya kembali, langkah kaki terdengar mendekat.
“Belum tidur sayang?” tanya Andrew pelan, suaranya nyaris berbisik.
Nindya mengangguk cepat.
“Iya belum ngantuk.”
Andrew tidak menanggapi. Ia hanya menghela napas dan melangkah kembali ke keranjang .
Andrew bisa merasakan ada sesuatu yang dipendam istrinya. Ia tahu Nindya tipe yang tidak langsung meledak, tetapi justru itu yang membuat hatinya was-was.
Di kamar, Nindya duduk di tepi ranjang. Ia menatap Andrew yang sudah kebali terlelap Kenapa perasaan ini terus datang? batinnya. Ia ingin percaya pada Andrew, ingin yakin bahwa semua ini murni urusan pekerjaan.
Tapi waktu pesan itu datang—di malam hari, saat seharusnya mereka menikmati ketenangan rumah tangga—rasanya tidak bisa lagi disebut sekadar profesional.
Dan untuk pertama kalinya, Nindya mulai benar-benar cemas.
Pagi harinya usai sholat subuh Andrew duduk di meja kerjanya keningnya tampak berkerut memandangi ponselnya.
Ia menemui Nindya yang sedang membuat sarapan.
"Pagi sayang."Ucap Andrew memeluk Nindya dari belakang dagunya menopang pada bahu Nindya.
"Pagi sayang ." Sahut Nindya tanpa menoleh , sementara tangannya sibuk membolak balik omelet kesukaan Andrew.
Saat keduanya duduk berhadapan menikmati sarapan ,sebelum berangkat kekantor Nindya terus terang bahwa ia membalas pesan Clara semalam.
"Sayang maaf semalam aku balas pesan perempuan genit itu." Ujar Nindya
Andrew terkekeh melihat ekspresi kesal di wajah istrinya.
"Aku sudah tahu sayang."Sahut Andrew sambil menyeruput kopinya.
Ruang rapat hari itu dipenuhi suasana serius. Beberapa staf dari perusahaan rekanan hadir, termasuk Clara yang duduk tepat di seberang Andrew.
Agenda rapat berjalan normal membahas progres kerja sama, timeline, serta kendala teknis yang harus segera diselesaikan.
Namun begitu sesi mendekati akhir, Andrew mengambil jeda. Tatapannya beralih sejenak pada Clara sebelum ia kembali menatap seluruh peserta.
“Sebelum kita tutup, ada hal penting yang ingin saya tekankan,” ucap Andrew, nadanya tegas tapi tetap profesional.
“Komunikasi antarperusahaan harus selalu jelas dan sesuai jalur. Kita semua punya waktu kerja yang harus dihormati.
Jadi, segala hal yang berkaitan dengan proyek, cukup disampaikan pada jam kerja resmi.”
Clara tampak kaku kata-kata itu memang ditujukan umum, tapi sorot mata Andrew yang sempat tertuju padanya membuat semua orang tahu pesan siapa yang sedang ia luruskan.
Andrew melanjutkan,
“Saya harap semua di sini profesional saya tidak ingin ada komunikasi yang bisa menimbulkan salah paham, baik dari pihak saya maupun pihak kalian.
Fokus kita tetap kerja sama yang sehat dan transparan.”
Sejenak suasana hening, lalu kepala tim dari pihak Clara mengangguk mantap.
“Tentu, Pak Andrew kami sepakat soal itu.”
Clara hanya bisa menunduk sambil mencatat, wajahnya terlihat sedikit memerah. Ia paham maksud tersirat dari Andrew, dan meski malu, ia tidak bisa membantah.
Rapat ditutup dengan formalitas singkat, dan semua peserta bubar. Andrew menatap jam tangannya sebentar, lalu menghela napas.
Ia tahu ucapan barusan bukan hanya pesan untuk tim rekanan, tetapi juga cara untuk menjaga rumah tangganya sendiri.
Di luar ruang rapat, Nindya yang sejak awal ikut mendampingi jalannya pertemuan mencuri pandang pada Andrew.
Ia memang tidak mendengar apa yang Andrew dan Clara bicarakan sebelumnya, tapi nada Andrew di forum tadi membuatnya merasa dihargai. Ada ketenangan kecil yang kembali tumbuh di hatinya.
Rapat akhirnya ditutup setelah hampir dua jam. Clara masih mencoba menjaga senyum profesionalnya, meski jelas terlihat guratan kecewa ketika Andrew dengan tegas menutup semua celah untuk percakapan personal.
Nindya sejak tadi hanya diam, matanya beberapa kali melirik ke arah Andrew, mencoba membaca maksud di balik sikapnya.
Begitu semua peserta rapat keluar, Andrew berjalan lebih dulu, lalu menoleh sejenak. “Nindya, ikut sebentar,” katanya pelan, seolah tak ingin orang lain mendengar.
Mereka melangkah ke koridor yang mulai sepi. Suara sepatu terdengar samar-samar, hingga akhirnya Andrew menghentikan langkah di dekat jendela besar yang menghadap ke pelabuhan. Ia menoleh, menatap Nindya dengan wajah serius.
“Kamu tidak perlu khawatir , aku tahu batasan sayang.”
Nindya menghela napas, mencoba menahan gejolak di dadanya.
“Aku percaya” jawabnya singkat, meski sorot matanya masih menyimpan sisa keraguan.
Andrew melangkah sedikit lebih dekat, nadanya melembut.
“Dan kepercayaanmu adalah hal berharga bagiku.”
Ada jeda hening. Dari kejauhan terdengar suara kapal membunyikan klakson. Nindya menunduk sebentar, lalu menatap kembali Andrew.
“Aku hanya tidak mau ada mencari celah untuk merusak rumah tangga kita sayang."
Andrew tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Nindya dengan hangat.
“Tidak akan ku biarkan sayang”
Nindya merasakan genggaman itu. Hangat, meyakinkan, tapi juga menyisakan sesuatu yang sulit ia jelaskan—campuran lega sekaligus takut. Namun untuk kali ini, ia memilih percaya.
Hari itu langit Batam masih terlihat kemerahan Andrew, Nindya, dan Yudith baru saja selesai menunaikan sholat subuh berjamaah.
Nindya baru saja menyalakan mesin kopi ketika ponselnya berdering. Nama Ibunya tertera di layar
Ia segera menekan tombol accept , namun tidak urung keningnya berkerut ,tidak biasanya Ibunya menghubunginya pagi pagi begini .
Assalamualaikum Ndok, Ucap Ibunya di sebarang.
"Waalaikumussalam, nopo Bu tidak biasanya Ibu telfon pagi pagi?,"
"Ndak papa Ndok Ibu sama Bapak mau menjenguk adikmu di balik papan, agak lama disana."Jelas Ibunya.
Nindya sempat protes karena hal itu, karena Yudith akan kehilangan karena sangat dekat dengan Mbahnya.
Namun karena alasan yang dilontarkan Ibunya bisa diterima akhirnya ia hanya bisa pasrah .
"Nggih sampun Bu titip salam buat Handaru dan Retno." Ucapnya sebelum menutup telfon. Namun entah mengapa Hatinya sedikit gelisah usai percakapan dengan Ibunya .
Ia berusaha menepis, dan berfikir mungkin itu di sebabkan karena ia tidak terbiasa berjauhan dengan Ayah dan Ibunya dalam jangka waktu yang lama.
Hingga hal yang tidak di duga pun terjadi, menjelang siang saat ia dan Andrew tengah bersantai di ruang keluarga, matanya menangkap running text yang mengatakan terjadi kecelakaan pesawat dengan tujuan kalimantan.
Ia segera menghubungi Adiknya untuk menanyakan nomor penerbangan serta pesawat yang di tumpangi oleh kedua orang tua mereka.
"Ret.. Ibu ngasih tahu ndak naik pesawat apa?." Tanya Nindya tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.
"Kenapa Mbak?..sabar ku lihat dulu Ibu ngirim foto tiketnya kemarin." Ucap Adiknya
"Ndang tho ...di delok." desak Nindya tidak sabar
Sejurus kemudian Adiknya membacakan nama maskapai dan kode penerbangannya.
“Allahuakbar!!...”Hanya itu yang terucap dari mulut Nindya karena sedetik kemudian tubuhnya terkulai tidak sadarkan diri.
Andrew yang melihat perubahan kejadian itu terlihat sangat panik ia menepuk nepuk pipi Nindya.
“Sayang... sayang kenapa sayang?," Ujarnya sambil terus berusaha menyadarkan Nindya.
Lima belas kemudian Nindya mulai siuman, ia terlihat lemah dan pucat.
Air mata mulai mengalir dari mata Nindya.
Andrew yang tidak beranjak sedikitpun dari sisi Nindya ,menarik nafas lega melihat Istrinya telah siuman.
Ia menyodorkan segelas pada Nindya, setelah Nindya mulai terlihat stabil ia bertanya dengan hati hati..