Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Gadis
Aku menceritakan kembali awal mula bertemu dengan Hanif. Sontak mamah dan juga bapak tertawa mendengarnya.
"Tuh kan jodoh mah datangnya gimana aja juga bisa. Contohnya kayak kamu, narik cowok ke toilet tiba-tiba diseriusin sekarang," ucap bapak membuatku setuju.
Memang aku juga kerap bertanya-tanya akan bertemu jodoh kapan saat sebelum bertemu Hanif. Belum lagi stres dengan timbangan yang tidak lagi turun setelah habis-habisan diet dan olahraga.
Setelah makan malam selesai, aku memilih untuk masuk kamar duluan dibanding bapak dan juga mamah yang masih asik menonton televisi.
Di sisi orang tua riyani
"Bapak masih gak nyangka banget sekarang kita ada di posisi ini mah. Anak gadis bapak udah ada yang mau seriusin, ngajak dia buat dikenalin ke keluarganya," ucap bapak.
Mamah mengangguk, "iya pak. Bener juga, rasanya baru kemarin dia cerita kalau gak punya pacar dan ngerasa gak pantes buat siapapun. Eh tiba-tiba bawa cowok ke rumah terus katanya minta restu buat hubungan mereka."
"Anak-anak kok cepet banget besarnya ya mah. Nanti kita tinggal berdua, bener-bener berdua karena anak udah punya rumahnya masing-masing," ucap bapak diangguki mamah dengan harunya.
"Gak apa-apa pak, yang penting mereka bahagia biar kita juga tenang ngeliatnya," ucap mamah membuat bapak mengangguk mengiyakan.
Keduanya memilih untuk masuk ke kamar setelah mengobrol. Sedangkan aku masih asik mengobrol dengan Hanif melalui panggilan video yang disambungkan sejak obrolan awal kedua orang tuaku.
(Tuh kamu bisa denger sendiri kan kalau bapak sama mamah itu sayang banget sama kamu. Mereka pasti bakal berat banget ngelepas kamu kalau nanti dinikahin sama aa)
Aku terkekeh mendengarnya.
"Ya gak gitu lah A. Namanya juga anak perempuan, pasti orang tua agak berat ngelepas. Karena takut hal-hal aneh terjadi,"
(Tapi insyaallah aa bakal jaga amanah orang tua kamu)
"Emang iya mau nikahi aku?"
Laki-laki itu mengangguk mengiyakan.
"Emang aku mau dinikahi sama Aa?"
(Ohhhh!! Kamu gak mau?)
Aku menahan senyuman mendengarnya.
(Malah senyum-senyum begitu)
(Jadi mau atau enggak?)
"Insyaallah, kalau Aa jodohnya aku. Kenapa gak mau sih, semoga aja niat kita berdua dikasih jalan,"
(Aamiin)
(Oh iya, besok sore Aa jemput ya ke kost-an?)
"Mau kemana emangnya?"
(Masa lupa?)
(Kan janjiannya baru tadi sore)
Aku terkekeh melihat reaksinya.
"Bercanda aa. Iya boleh, jemput aja ke kost-an,"
(Ya udah sampai jumpa besok ya!)
(Kamu jangan begadang!!)
(Kalau diet jangan begadang)
"Iya bawel, iya,"
Setelah panggilan videonya itu terputus, aku langsung bersiap untuk segera tidur. Apalagi besok aku akan berangkat pagi bersama dengan bapak yang mengantarku langsung ke sekolah.
Tadinya, aku akan pulang bersama dengan Hanif tadi sore. Tapi bapak melarang karena memang pasti sedang ada masalah antara abang dan teteh di rumah. Tidak baik juga jika aku datang untuk menginap.
Singkat cerita, hari sudah berganti—aku sudah siap dengan pakaian mengajar berikut dengan sepatu yang sudah dibersihkan lebih dulu dengan lap yang sedikit basah.
"Kamu yakin mau pake sepatu itu?" tanya bapak, "gak mau beli di jalan aja?"
Aku menggelengkan kepala, "gak apa-apa pak. Ini juga masih muat kok."
"Tapi nanti kamu lecet neng," ucap bapak.
Aku tersenyum mendengarnya, "insyaallah enggak pak. Kan kalau di sekolah nanti bisa dicopot aja."
"Ya udah kalau gitu keputusan kamu. Yuk!!" ajaknya membuatku mengangguk dan segera memakai helm.
Memang sepatu dan sendalku juga masih berada di rumah abang. Bukan tidak mau mengambilnya lebih dulu, tapi aku juga akan kesiangan nanti datang ke sekolah. Belum lagi kunci rumah abang yang takutnya dibawa oleh teteh.
Sesampainya di sekolah, aku langsung pamit pada bapak dan menyerahkan helm padanya.
"Kamu hati-hati ya! Bapak besok ke sini lagi buat liat kamar kost kamu," ucapnya.
"Iya bapak," jawabku lalu melambaikan tangan padanya.
Selama mengajar, aku terpaksa memakai sepatu yang sudah hampir tidak muat dengan kakiku karena memang ukuran lama. Tapi karena itu satu-satunya yang ada di rumah—aku terpaksa memakainya.
±2 jam pembelajaran,
Aku keluar setelah memastikan anak-anak pulang dengan orang tuanya yang sejak tadi menunggu di lingkungan sekolah.
Aku menghela napas lega karena akhirnya bisa melepas sepatu di ruang guru sebentar—sebelum pulang nanti.
Aku juga sempat mengirim pesan pada abang karena akan mengambil barang di rumahnya. Sementara yang masih ada di rumah, akan dibawa oleh bapak dan mamah besok pagi.
(Neng)
(Abang bagian pagi hari ini. Mungkin nanti sore abang anterin barangnya, gak apa-apa?)
"Gak apa-apa bang,"
"Nanti kabarin aja. Takutnya neng gak ada di kost,"
(Mau kemana emangnya?)
"Ada keperluan di luar bang,"
(Awas kamu macem-macem ya!)
"Astaghfirullah!!"
"Enggak lah,"
(Ya udah nanti abang kabarin)
Sebelum kembali ke kost-an, aku memilih untuk membeli sendal lebih dulu. Karena kakiku sudah terasa pedih di bagian belakang.
"Assalamualaikum ibu!!" Sapaku pada ibu pemilik kost.
"Waalaikumsalam, eh neng baru ke sini?"
Aku mengangguk, "iya bu. Kemarin sempet demam jadi dibawa pulang ke kampung dulu. Terus juga sekarang cuman mau mampir buat sholat aja."
"Emangnya gak bakal pindah dulu?" tanya ibunya.
"Barangnya baru diantar nanti sore, bu. Sama besok pagi orang tua saya mau ke sini buat cek katanya," jelasku dianggukinya.
"Udah makan siang belum?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, "mau beli nanti abis sholat Dzuhur."
"Makan siang sama ibu aja yuk!! Ibu juga gak ada temen, udah masak banyak," ajaknya.
Aku sempat ingin menolak karena merasa tidak enak. Tapi melihat ibu itu berharap sepertinya tidak ada salahnya juga menemaninya makan siang.
"Boleh bu. Nanti saya ke sini lagi," jawabku menyetujuinya membuat ibu kost itu tersenyum dengan senangnya.
Sesuai dengan janji, sesudah sholat—aku keluar kembali dari kamar kost ke rumahnya untuk makan siang bersama.
Masakan rumahan itu sudah berjejer cukup banyak di meja makan. Sedangkan yang makan hanya kita berdua, aku menoleh dengan senyuman pada ibu kost lalu bertanya, "ibu tinggal sendiri?"
Ibu itu mengangguk, "awalnya sama suami terus sama anak ibu juga. Cuman anak ibu udah nikah dan dibawa suaminya terus suami ibu meninggal setengah tahun yang lalu. Makanya ibu sendirian dan memilih buka kost kayak begini, biar gak bosen."
"Anak ibu sekarang di mana? Beda kota?" tanyaku sembari melahap makanannya.
"Di Bandung, neng. Kadang pulang ke sini setahun sekali kalau lebaran aja. Kadang bahkan gak pulang, jadi ibu ngerasa sepi banget pas udah ditinggalin bapak," jawabnya.
Aku menyimpulkan senyuman.
"Kalau ibu butuh temen ngobrol, ibu bisa ajakin saya kalau misalnya saya lagi ada di kamar kost," ucapku dianggukinya dengan senyuman.
"Pantesan Hanif suka sama kamu. Ternyata kayak begini orangnya," ucap ibu kost.
Aku menautkan alis kebingungan, "begini gimana bu?" tanyaku.