Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (3)
Warta duduk di sisi kiri Kakek Ahal. Tepat di hadapan keduanya, seorang wanita cantik nan anggun menatap dengan iris mata cokelat terang. Pandangan lurus dan kedua mata bulat terbuka lebar, sepertinya isi hati sanga putri sedang sangat antusias. Tapi, dalam pandangan Warta itu hanya mata semu yang tak memiliki jiwa. Mungkin demikian, atau mungkin karena dirinya masih terkejut selepas melihat tubuh putri Tilani.
Wajah cantik di hiasi rona merab muda serta gemerlap kilauan rambut putri Tilani memang menghipnotis Warta. Tapi, tidak terpungkiri tubub putri Tilani lebih dan lebih lagi mengambil atensi Warta. Tubuh langsing yang sepertinya semampai, sulit rasanya untuk diabaikan. Bukan hanya sekali dua kali, mungkin sudah lebih dari sepuluh kali Warta mengambil curi untuk melirik tubuh sang putri. Putri Tilani yang duduk bersandar di kursi lantai terkekeh kecil. Suara halus itu menyapa telinga bak lonceng kecil yang sering di gantung di pintu toko permen.
"Kenapa, kau tertarik denganku?" tanya putri Tilani di akhiri dengan kekehan.
Merasa tertangkap basah, dengan malu Warta menunduk dalam. Kedua tangannya merrmat masing-masing celana yang membalut kaki. Kakek Ahal menoleh, didapatinya telinga yang lebih muda memerah, membuat Kakek tidak kuasa menahan tawa. Tangan kirinya menepuk - nepuk punggung Warta sedikit kencang.
Setelah tawa nyaring Kakek tua itu mereda, ia mengelus punggung yang sebelumnya ia pukul. "Putri Tilani kami memang tidak ada tandingan. Kulit putihnya terlihat menarik bukan?"
Warta sedikit mengangkat kepalanya melirik putri Tilani yang sedang tersenyum menatapnya. Pandangan yang terlihat seperti sedang tersenyum tapi kosong itu membuat rinding menyelimuti Warta. Dengan terbata, remaja 16 tahun itu mengangguk.
'Tubuh putih? Maksudnya balutan perban itu?' runtuk Warta dalam hati.
Wajah cantik dan bermartabat itu memang cocok untuk seorang putri. Tapi, dengan kondisi badan yang hanya setengah dan harus dibalut oleh perban seperti itu pasti sangat menyakitkan. Wajahnya tanpak sempurna, sayangnya, badan Putri Tilani, dari bahu kanan sampai kaki kiri, mereka tidak ada. Hanya ada tubuh bagian kanan.
"Ah, iya. Tentang tas mu-" ucapan kakek Ahal berhasil mengusir semua oerasaan tidak nyaman dalam diri Warta. Dengan cepat mengangkat kepala, menatap lekat Kakek Ahal meminta kejelasan kalimatnya.
"Kami sudah menelusuri tempatmu jatuh, tapi tidak ada tas dan bukumu di sana."
Bahu Warta layu terkulai. Penjelasan Kakek membuat Warta murung dibalut rasa panik. Baru beberapa hari, ia sudah gagal tugas penting. Bahunya terkulai lemas, helaan napas frustasi terhembus dari celah bibirnya.
Putri Tilani yang bibgung dengan perubahan ekspresi Warta memiringkan kepalanya 45° ke kanan.
"Ada apa?"
Mendengar pertanyaan Putri Tilani, dengan sigap Kakek Ahal menjelaskan apa yang sedang terjadi.
"Ohh, begitu. Memang apa yang kau cari di buku itu?"
"Ah, benar! Putri Tilani sangat tau banyak hal, bahkan hal yang bekum terjadi. Kau tidak perlu takut kalau kehikangan sebuah buku."
"Tentang penguasa subuh"
"Apa itu penguasa subuh?" jawab Putri Tilani membuat kakek ahal agak terkejut.
"Yang menciptakan kita."
"Tapi, ayah yang menciptakanku."
Kakek Ahal tertawa. "Maaf, maaf. Putri memang suka bercanda seperti itu. Ayah menciptakan, kau tau maksudnya, kan." tawa kakek kembali menggelegar, tapi Waran hanya membalas dengan senyum lesu.
"Orang - orang di luar desa memang sudah tertutup" gumam Warta yang tanpa ia sadari terdengar oleh Kakek Ahal. Kakek Ahal berhedem mengambil perhatian anak 16 tahun di sebelahnya.
"Sudah masuk waktu makan siang. Kalau begitu, kami permisi dulu Putri Tilani," Kakek Ahal beranjak pergi, tidak lupa mengajak Warta untuk ikit bersamanya.
Makan siang dilaksanakan di sebuah rumah bilik besar yang terletak di tengah desa, tempat yang biasa digunakan untuk sebuah acara perayaan atau accara besar lainnya. Di deaa rusa, makan siang memang selalu dilaksanakan bersama. Para laki - laki membagi dua kelompok, yang satu mencari pakan sedangkan sisanya yang akan mengolah lauk. Para orang tua tidak diperbolehkan bekerja, biasanya mereka ada di pondok baca, saling berdiskusi tentang masa depan desa.
"Nak Warta, silakan nikmati hidangan di sini. Kau boleh mengambil apa saja yang tersedia di meja panjang. Kakek mau bertemu dengan orang tua yang lain dulu."
Saat pertama masuk, rumah bilik yang sangat besar ini dikelilingi oleh meja panjang yang di atasnya sudah tersedia banyak makanan. Layaknya restoran prasmanan.
"Wahh, makanannya banyak sekali."
Sudah lama tidak mendapat makanan enak, tentu saja Warta dengab antusias segera mengambil piring dan mengambil beberapa lauk pauk yang menurutnya menarik. Setelahnya, karena meja hanya ada untuk makanan semua orang makan bergerumun di alas bilik. Merasa sungkan untuk ikut bergabung, Warta meemilik makan di dekat jendela panjang besar yang memang tidak ada warga lain di sana.
"Kerupuk di sini juga sangat besar dan gurih, Sepertinya bukan terbuat dari nasi." Warta mengangkat tinggi - tinggi kerupuk yang besarnya hampir setara dengan lebar wajahnya.
"Itu kerupuk udang," Basa tiba - tiba muncul dari balik jendela membuat kerupuk udah di tangan Warta terlepas. Untung, dengan cepat ia segara mengambilnya kembali sebelum terjatuh.
"Dasar bocil nakal, mengagetkan saja." Omel Warta, berbiat mengabaikan Basa dan lanjut makan, tapi, "Kerupuk udang? Ini terbuat dari udang?" Warta kembali mengangkat kerupuk itu dan memberikannya kepada Basa.
Yang lebih kecil mengambil kerupuk pemberian Warta, "Namanya saja kerupuk udang, tentu terbuat dari udang. Dasar oranf hutan bodoh, memangnya kau ini anak kecil bertubuh dewasa, hah??" celotet Basa tanpa ampul, ia masuk melalui jendela lalu duduk di samping Warta.
"Ini... Terbuat dari udang? Wahh, hebat. Di desaku hanya ada gendar."
"Sebelumnya juga kami hanya bisa membuat gendar. Putri tilani.... Ia yang memberi tau kamu cara membuatnya." Basa mematahkan kerupuk menjadi dua, bagian terkecik ia berikan kepada Warta.
"Terima kasih. Putri Tilani, ya. Ia terlihat bujak dan anggun, juga mengetahui berbagai hal. Sayangnya, tidak sebanyak itu yang ia tau." Warta kembali makanan, memasukan sesuap nasi dan lauk diakhiri dengan memakan kerupuk.
"Gurihh. Ini enak banget! Bagi resepnya, dong."
Basa terkekeh melihat rekasi Warta. Padahal hanya sebuah kerupuk, pikirnya.
"Hanya para kelompok dapur yang tau resepnya. Jangan tanya aku," acuh, Basa memilih sibuk memakan kerupuk pemberian Warta.
"Dasar pelit. Kalau begitu aku tanya langsung Putri Tilani saja,"
Sontak Basa menatap Warta lekat. "Oi, orang hutan. Kau tadi bikang kalau Putri Tilani... Tidak sebanyak itu yang ia tau. Apa maksudnya?"
Warta mengangjat kedua alisnya, merasa aura di sekitar Basa sama seperti saat mereka selesai bermain bola pagi tadi.
"Oh, itu. Maksudku, ya, ia tidak tau banyak. Ia tidak mengegetahui penguasa subuh."
"Lagi?" heran Basa. " Sebenarbya siapa penguasa subuh itu?"
"Pertanyaan yang menarik." Kakek Ahal yang seperti sudah menyelesaikan urusan dengan para orang tua menghampiri Warta dan Basa.
"Nak Warta, maaf mengganggu acara makannya. Bisa ikut dengan Kakek,"
Kebetulan sekali isian piring Warta sudah tandas. Tanpa pikir panjang, ia menyetujui ajakan Kakek Ahal. Meninggalkan Basa yang tidak sedetikpun mengalihkan pdandang darinya.