Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Pita Kecil Merah Hati
Sudah lama sekali rasanya Winarsih tak melihat Dean. Sepertinya sejak anak majikannya itu melihatnya pulang bersama Utomo, Dean seperti memberinya ruang.
Semua terasa membingungkan bagi Winarsih. Dia hanya seorang pembantu, dan kejadian nahas yang menimpanya sebulan yang lalu tak merubah apapun dalam hidup Dean.
Winarsih telah berusaha ikhlas dan menerima semua yang terjadi adalah bagian dari takdir yang harus dijalaninya.
Yang menguatkannya hanyalah bayangan ibu dan adiknya yang menunggu di desa.
Dia tak bisa memahami sikap Dean yang terkadang seperti cemburu saat melihatnya bersama Utomo atau bahkan perhatiannya yang dinilai Winarsih terlalu berlebihan untuk seorang pembantu sepertinya.
Pada awalnya Winarsih menganggap semua yang dilakukan Dean itu adalah bentuk dari rasa bersalahnya. Tapi saat terakhir kali pria itu tiba-tiba menciumnya, Winarsih menangkap sesuatu yang berbeda di mata Dean.
Malam itu, Winarsih seperti menangkap kilat kesedihan yang belum dimengertinya.
Entahlah. Sebulan lebih yang lalu, Winarsih bisa uring-uringan jika diminta menyiapkan makanan untuk anak majikannya itu.
Saat itu, baginya Dean sama menakutkannya dengan hantu.
Tapi sekarang, meski Dean telah menyakitinya, mengambil sesuatu yang paling berharga dari dirinya, dan mengatakan dengan lugas bahwa dia tak bisa menjanjikan apapun untuknya, ia begitu ingin melihat Dean meski hanya selintasan saja.
Hari itu, sejak sore Winarsih merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Dia merasa tubuhnya seperti meriang. Perutnya terasa perih terus-terusan seperti berhari-hari tak makan.
Sudah dua kali dia ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikannya cemilan.
Kendati pun dalam hatinya, ia juga merasa khawatir jika Mbah terlalu sering melihatnya membuka kulkas. Meski sebenarnya stok makanan di rumah itu selalu melimpah, Winarsih tetap khawatir dicap sebagai orang desa yang rakus.
Setelah makan malam pukul 8 tadi, dia kembali ke kamarnya. Mencoba berbaring beberapa saat malah membuat uluhatinya semakin terasa nyeri.
Winarsih tiba-tiba teringat akan paper bag pemberian Dean yang belum dibukanya.
Dia mengeluarkan sebuah paper bag hitam mengkilap dengan tulisan berwarna merah jambu terang dari lemarinya.
Perlahan Winarsih membuka pita hitam yang tersimpul sederhana. Setelah mengeluarkan isi paper bag itu, mulutnya setengah ternganga.
Bagaimana bisa Dean berpikiran untuk memberinya pakaian dalam.
Satu persatu Winarsih menjajarkan 6 set pakaian dalam dengan model yang sama dan warna yang berbeda di atas ranjangnya.
"Cantik sekali," gumam Winarsih menyentuh salah satu bra berwarna merah hati dengan sebuah pita kecil di pundaknya.
Tak lama kemudian, Winarsih telah melepaskan dasternya dan langsung memakai satu set pakaian dalam berwarna merah hati yang ternyata sangat pas ditubuhnya.
Matanya memandang kagum dan puas saat melihat dadanya yang indah terbungkus sempurna dengan bra yang sepertinya terlihat sangat mahal.
Merasa yakin akan menggunakan salah satunya malam itu, Winarsih kembali memasukkan sisanya ke dalam paper bag dan meletakkannya di atas ranjang.
Dan sekarang dirinya kembali berbaring sambil memegang perutnya yang terasa perih sambil melihat jam dinding.
Malam ini dia berencana akan kembali ke dapur membuat sesuatu untuk mengganjal perutnya.
Dan ketika dia melihat jam sudah menunjukkan waktu aman untuk kembali ke dapur karena semua penghuni rumah sudah tidur, dia malah dikejutkan oleh Dean yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
Pria itu muncul masih dengan pakaian lengkap dari kantor.
Malam itu, meski terlihat sangat lelah, Dean tetap masih sangat tampan dengan kemeja berwarna abu-abu dan celana warna hitam yang menggantung di mata kakinya.
Belum hilang rasa terkejutnya tadi, pria itu mengatakan bahwa dia akan memasak untuk Winarsih.
Berkali-kali menolak, tapi Dean berhasil mendudukkannya di sebuah bangku tinggi untuk menontonnya memasak.
Entah apa maksudnya. Tapi yang jelas, Winarsih tak bisa mengalihkan pandangannya dari Dean sejak pria itu mulai menggulung lengan bajunya.
Dengan beberapa helai rambutnya yang jatuh ke dahi, serta jari tangan panjang pipih yang bersusah payah mengiris bawang, Dean tampak luar biasa.
Pandangan Winarsih seketika meredup. Dean yang sedang berdiri di seberang meja dapur tinggi itu, terasa sangat dekat tapi juga terasa sangat jauh di saat yang bersamaan.
*******
Bukannya kepedean tapi jika wanita-wanita di kota saja bisa begitu memujanya, Dean merasa hampir yakin kalau pesonanya juga pasti akan sampai kepada Winarsih.
Dean mengatupkan kedua bibirnya agar tak tersenyum saat sedang mengupas bawang karena berkali-kali jarinya tergelincir di atas permukaan kulit bawang yang licin.
Beberapa kali Winarsih terlihat hendak bangkit dari duduknya berniat membantu atau bahkan mencegahnya memasak, tapi Dean bersikeras agar wanita itu tetap duduk santai menunggunya.
Di dalam hati, dia mati-matian mentertawakan kebodohannya sendiri yang sekarang berada di dapur sedang mencoba memasak semangkuk mi instan untuk Winarsih yang terlihat sakit.
Di dalam kepalanya sekali lagi dia menggarisbawahi, mencetak miring dan menebalkan kata-kata 'hanya demi memancarkan pesona kepada pembantunya'.
Padahal karena sudah lelah seharian berada di kantor dan beberapa saat yang lalu menghadapi Disty, tadinya Dean bercita-cita untuk tidur.
Sekarang dia malah bereksperimen terhadap menu makanan Winarsih.
Saking tak sabarnya mengupas kulit bawang yang tipis, Dean malah semakin banyak membuang bagian luarnya. Alhasil, yang tadinya bawang itu cukup besar, sekarang jadi berukuran mini.
Saat bawang telah selesai diirisnya, Dean memotong-motong cabe rawit itu hingga menjadi beberapa bagian. Setelah beberapa waktu yang terasa sangat panjang, ternyata menjadi seorang chef handal juga mempesona sangatlah sulit.
Dengan susah payah, semangkuk mi instan yang masih mengepul, sekarang sudah berada di dalam mangkuk.
Dean mendekati Winarsih dan meletakkan semangkuk mi dengan asap yang masih mengepul ke hadapan wanita itu.
"Ini sendoknya," ucap Dean menyodorkan sebuah sendok kemudian menarik sebuah bangku lain untuk dirinya sendiri.
Winarsih mengambil sendok dari tangan Dean kemudian mulai menyendok mi dari mangkuk.
"Oh iya, minumnya! Sebentar." Dean kemudian bangkit lagi mencari gelas kemudian pergi ke sudut dapur tempat di mana sebuah dispenser berdiri.
"Oke, sekarang coba dicicipi. Enak atau nggak?" tanya Dean antusias.
Setelah menyendok segumpalan mi, meniupnya sesaat dan memasukkannya ke mulut, Winarsih terlihat mengangguk-angguk.
"Pasti enak kan?" tanya Dean lagi.
"Enak Pak, 'kan mi instan udah ada bumbunya. Kalau sampai nggak enak, berarti kita yang salah," jawab Winarsih tertawa kecil.
Untuk kali pertama, Dean melihat senyum pertama Winarsih yang ditujukan kepadanya. Hatinya terasa meleleh hingga tak berbentuk lagi.
Wanita yang sebulan lalu mengiba-iba padanya untuk tak disakiti, kini sudah bisa tersenyum di hadapannya.
"Kamu sakit?" tanya Dean lagi saat mengamati wajah Winarsih yang memang dilihatnya pucat.
"Nggak Pak, saya cuma laper. Beberapa hari ini makan saya sepertinya sangat banyak. Saya sampai takut Mbah marah," tutur Winarsih seadanya.
"Siapapun yang bekerja di rumah ini nggak boleh kelaparan. Kalo mau makan, ya makan aja" jawab Dean.
Winarsih mengangguk kemudian kembali memakan sisa mi di mangkuknya.
"Kayaknya itu pedes banget ya? Aku masukin semua cabe yang kamu taruh di sana." Dean menunjuk meja.
"Iya, lagi pengen makan yang pedes. Bapak mau nyobain?" tanya Winarsih tanpa disangka-sangka.
"Boleh," jawab Dean.
Mendengar jawaban Dean, Winarsih hendak bangkit mencari sendok.
Tapi kemudian tangan kiri Dean dengan cepat menggenggam tangan kanan Winarsih yang sendoknya sudah terisi mi dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Winarsih hanya terbengong.
"Huh--hah.. ini sih pedes banget," erang Dean kemudian dengan asal mengambil gelas air putih Winarsih dan menenggaknya hingga habis.
"Itu terlalu pedas, hati-hati sakit perut kamu," ucap Dean seraya bangkit mengambil gelas kemudian kembali berjalan ke arah Dispenser.
Sudah lewat tengah malam, Winarsih baru selesai mencuci semua peralatan dapur yang terpakai.
Dean masih duduk di bangku tinggi dengan sebuah gelas di tangan dan pandangannya yang tak lepas dari Winarsih.
Semakin larut malam, khayalannya semakin tinggi ke mana-mana. Tubuh Winarsih yang berjalan ke sana kemari di dapur dengan menggunakan daster turut memperberat sistem kerja otak Dean.
"Sudah selesai Pak. Saya mau istirahat." Ucapan Winarsih yang tiba-tiba menyadarkan Dean dari lamunan.
"Saya antar ke kamar kamu, lampu kolam juga sudah padam. Di luar gelap banget." Alasan Dean terdengar sangat janggal.
Untuk rumah yang bertembok tinggi menjulang dan dijaga satpam 1x24 jam harusnya Dean bisa menemukan alasan yang lebih bagus lagi.
Setelah menutup pintu dapur utama, Dean mengantarkan Winarsih menuju kamarnya yang benar-benar dekat. Dean agak sedikit menyesal kenapa jarak kamar Winarsih harus sedekat itu dari dapur.
Tak sampai 3 menit, Winarsih telah berada di depan pintu kamarnya.
"Terimakasih Pak, saya masuk dulu." Wanita itu membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci.
"Win...." Kaki Dean maju selangkah hingga ke depan pintu kamar.
"Ya Pak?" Winarsih kembali menoleh, tangan kirinya masih berada di handle pintu kamar yang sudah setengah terbuka.
Pandangan Dean menyapu isi kamar pembantunya sesaat. Dan dia melihat paper bag berisi pakaian dalam pemberiannya terhampar di atas ranjang.
Rasa penasaran menggelitiknya seketika. Apakah malam ini Winarsih memakai salah satu everyday lingerie pemberiannya?
Jika iya, warna apa yang sedang dipakainya?
Tak perlu berpikir dua kali lagi, tangan kiri Dean menarik lengan kanan Winarsih dan menempelkan tubuh wanita itu di dadanya.
Dean kembali menunduk untuk mencium Winarsih. Beberapa detik yang lama, dia masih mencium bibir Winarsih yang sama sekali tak bergerak untuknya. Dean mulai mengendurkan pegangannya pada lengan wanita itu. Khawatir jika Winarsih akan trauma dengan paksaan.
Dalam hati Dean memaki dirinya karena tak bisa menahan keinginannya sedikit saja. Namun saat hendak melepaskan ciumannya, bibir Winarsih perlahan terbuka dan mulai bergerak menyambutnya.
Dean yang merasa mendapat balasan meletakkan tangan kirinya di belakang leher wanita itu. Dan tangan kanannya menyentuh lembut perut Winarsih dan naik sampai ke bagian rusuk.
Teringat akan rasa penasarannya dengan warna pakaian dalam Winarsih, tangan kanan Dean mulai naik ke leher pembantunya.
Dan sekali gerakan mengusap bahu wanita itu, daster yang dipakai Winarsih bergeser memperlihatkan sebuah pita kecil berwarna merah hati bertengger di pundak wanita itu yang kuning langsat.
Ada bagian dari diri Dean yang sedang bertanya padanya.
Bolehkah sekali lagi?
To Be Continued.....
Mohon dukungan atas karyaku dengan like, comment atau vote