Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Datang Untuk Merampok
Sapaan itu awalnya sopan, namun setelah memindai Hania dari atas hingga bawah, wajah Danisha berubah sinis.
"Oh, kamu! Pasien gila itu kan?!" hinanya.
"Pasien gila?" gumam Hania pelan sambil menggigit bibirnya dengan kencang.
Danisha menggeser tubuh Hania mengunakan bahunya dengan kasar lalu masuk ke dalam rumah. Danisha berhenti sebentar di tengah ruang tamu dan berteriak. "Aku istri Sabil, Nyonya di rumah ini," ucapnya
Hania mematung di depan pintu.
"Bude! Aku datang!" teriak Danisha seraya masuk ke ruang tengah.
"Danisha!" seru bude. "Ada angin apa kamu pulang ke rumah?" tanyanya seraya mengambil tubuh mungil Jordan dari gendongan Danisha.
"Memangnya aku dilarang untuk pulang ke rumahku sendiri? Sabil masih suamiku," sindir Danisha sambil melirik Hania dengan sinis.
Bude Sunti tersenyum tipis, "biasanya kalau sudah terpojok dan datang ke sini, artinya kamu sedang bawa masalah buat Jalu-ku."
Danisha tidak perduli. Dia mengabaikan sindiran bude Sunti. Matanya mengamati Hania yang akan masuk ke kamar tamu, kamar yang biasanya disiapkan untuk kedatangan Papanya, kini sudah beralih ditempati Hania. Wajahnya seketika mengeras dengan mata melotot.
"Kamu! Turunkan koper dan diaper bag Jordan dari bagasi," perintahnya dengan nada tinggi.
Bude ingin melarang tapi Hania sudah mengangguk patuh.
"Baik." seperti tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah sang Nyonya rumah, ia melewati Danisha yang berdiri sambil berkacak pinggang.
Di carport mobil, Hania menurunkan perlengkapan Jordan dari bagasi. Di belakang punggungnya beberapa ibu-ibu komplek sudah berkumpul saling berbisik, mereka seperti burung pemakan bangkai yang sedang menunggu berita kematian.
"Menurut bu Emil yang menjadi perawat di rumah sakit itu, dokter Danisha baru tahu kalau dokter Sabil simpan selingkuhannya di rumah ini," bisik Bu Yanti. Bisikan yang disengaja untuk didengar Hania.
"Kita beritahu bu RT aja ibu-ibu, kuatirnya ada perang dunia di rumah itu," usul bu Helen.
"Telepon Bu RT sekarang atau videocall!" ibu-ibu lain menimpali.
Salah seorang ibu menelpon Bu RT tepat di belakang punggung Hania. "Bu RT gimana tuh warganya, dokter Danisha pulang ke rumah, bakal ada perang dunia nih di komplek kita."
Hania berbalik, menatap ibu-ibu itu satu persatu. Ia lalu melangkah dengan pasti mendekati kumpulan ibu-ibu, berusaha tersenyum walaupun keringat dingin mulai membanjiri tengkuk hingga punggungnya karena serangan panik perlahan datang mengguncang mempengaruhi jiwanya.
"Maaf ibu-ibu, tidak akan terjadi apapun di rumah ini. Dokter Sabil yang meminta istrinya pulang agar tidak menimbulkan fitnah. Tapi kalau ibu-ibu punya waktu banyak, silahkan tunggu sampai dokter Sabil pulang untuk mengkonfirmasi apa yang saya ucapkan," dustanya, berusaha menjaga suaranya agar tidak goyah dan rapuh.
"Eh... Oh, begitu ya mbak Hania. Kami... Kami nggak bermaksud untuk menguping kok, kami kebetulan lagi kumpul mau rujakan."
"Masih pagi bu, nggak takut sakit perut?" tanya Hania seraya menyindir.
"K-kami sudah biasa kok mbak!" spontan bu Yanti menjawab dengan gugup.
"Selamat rujakan ya ibu-ibu, kalau buahnya kurang di rumah bude punya mangga dan bengkoang. Sebentar saya ambilkan." Hania segera berbalik ke arah rumah.
Kakinya mulai gemetar dan wajahnya pucat pasi karena serangan panik. Ia segera menarik koper kecil dan perlengkapan milik Jordan. Berusaha terlihat normal adalah siksaan bagi Hania di saat tubuhnya semakin gemetar hebat tanpa bisa ia kendalikan. Berusaha untuk mengatur napas justru sesak yang ia rasakan semakin mencekik tenggorokannya.
"Breathe, Hania... !" perintahnya untuk diri sendiri.
Saat masuk ke dalam rumah, Danisha sedang berbicara di telepon dengan seseorang, suaranya manja dan mendayu, kebahagiaan terpancar di wajahnya. Walaupun yang mereka bicarakan seputar laporan pasien, dosis obat, kemesraan itu begitu kental diantara candaan mereka.
"Bisa-bisanya dia bersikap seolah peduli padaku, bilang proses cerainya tinggal selangkah lagi, buktinya mereka masih bermesraan. Kamu tidak ada bedanya seperti Danu dan Prabu, penipu!" gumam Hania dalam hatinya, tanpa ia tahu siapa laki-laki yang sedang berbicara dengan Danisha di seberang sana.
Hania tidak pernah tahu kehidupan dokter Sabil dan istrinya selama ini, mereka belum pernah berbagi basic thing tentang kehidupan masing-masing. Hania berpikir, saat ini orang yang sedang bermesraan dengan Danisha di telepon adalah Sabil.
"Bude, ibu-ibu di depan sedang bergosip tentang kedatangan istri dokter. Tadi aku menawarkan buah untuk mereka, boleh nggak aku minta tolong bude antarkan buahnya ke depan. Aku—"
"Ya sudah kamu istirahat sana, wajahmu sudah pucat. Kunci pintumu dari dalam, jangan buka kan kalau bukan bude yang mengetuknya, kamu mengerti Hania?!" pesan bude setengah berbisik.
"Iya bude," jawabnya dengan suara lemah. Ia sempat terpaku dengan wajah tampan Jordan, mata bening dan senyum manis bayi itu seakan menghipnotis Hania untuk ikut tersenyum.
"Aunty!" panggil Jordan dengan tawa khas bayi.
"Hai, aunty bobo dulu ya. Nanti kita main," sapa Hania sambil menyentuh pipi halus Jordan.
"Iya aunty bobo dulu, Jordan main dulu sama bude ya," ucap Bude bergegas mengambil buah dan membawanya keluar sambil menggendong Jordan.
Hania pun segera masuk ke kamar sebelum Danisha memperhatikan dan memanggilnya.
Sebenarnya Danisha memperhatikan interaksi dan percakapan Hania dengan Bude Sunti dari ekor matanya, tapi dia pura-pura tidak peduli dengan sibuk mengetik sesuatu di gawainya. Tujuan kedatangan Danisha hari itu ada maksud tertentu, ia butuh uang dalam jumlah besar. Ia sudah mengemis pada Papanya tapi tidak berhasil. Meminjam pada Sabil, banyak syarat yang harus dia penuhi.
Danisha perempuan keras kepala, dia tidak bisa dinasehati oleh siapa pun, ia menjalani hidup sesuai keinginannya sendiri, mengabaikan larangan Papanya dan melanggar norma, selama ini ia selalu menjalani hidup yang salah.
Danisha berjalan mengendap ke arah pintu luar, memperhatikan bude Sunti yang masih asik ngobrol dengan beberapa tetangga sambil mengajak main Jordan.
"Dasar ibu-ibu komplek, ibu-ibu pengangguran, kerjaannya gosip aja!" Danisha menyeringai dengan sorot mata penuh siasat. "Kesempatan emas, nenek tua itu sedang asik bergosip!" Danisha melepas Stiletto nya lalu berjalan mengendap ke lantai dua, kamar Sabil.
Di ruang kerja Sabil, Danisha mencari dokumen penting yang bisa ia jadikan uang dalam jumlah besar dan dapat dicairkan dengan cepat. Ia mengambil surat kepemilikan rumah, apartemen, tanah, dua buah BPKP mobil sport milik Sabil. Tidak puas mendapatkan itu semua, ia berjalan mengendap ke ruang walk in closet kamar Sabil. Ia mengambil beberapa jam tangan mewah milik dokter itu.
Rencananya berjalan mulus, sampai di anak tangga terakhir, lantai satu masih dalam keadaan sepi, segera ia menyambar tas dan kunci mobil untuk melarikan diri. Tanpa pamit, tanpa pesan karena meninggalkan putra semata wayangnya di rumah itu, Danisha memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hari itu ia berniat meninggalkan tanah air bersama kekasihnya, Jordi.
Di Rumah Sakit Khusus Kesehatan Jiwa...
"Bil, kamu sudah tahu Presdir tadi pagi dilarikan ke rumah sakit?" tanya Wina saat bertemu di IGD.
"Apa? Aku baru dengar, mengapa tidak ada yang memberitahuku?"
"Aku juga baru dengar dari ruang admisi. Kalau kamu ingin ke sana, aku ikut."
"Sekarang kita berangkat!" Sabil menyambar kunci mobil, setengah berlari ia berjalan menuju mobilnya yang di parkir di lobi rumah sakit.
Setelah melawan kemacetan ibukota, kini dokter tampan itu sudah berada di samping tempat tidur pasien. Ia menatap sendu wajah Papa mertuanya yang rasa sayangnya melebihi papanya sendiri. Profesor Darmono mengerang kesakitan sambil meremas dadanya.
"Papa, ini Jalu. Kenapa Papa tidak memberitahuku jika papa sakit."
"Papa selalu menyusahkan kamu, nak. Papa malu karena kelakuan Danisha," ucap Darmono lirih.
"Danisha? Apa yang dia lakukan lagi, Pa?"
Sudut mata tua Darmono mengeluarkan butir airmata kesedihan. Darmono menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin menceritakan apa yang baru saja terjadi. "Kenapa kamu simpan rapat kenakalan Nisa pada Papa, nak. Selama ini kamu pasti tertekan dengan pernikahan kontrak itu," ucapnya lirih sebuah sesal bergelayut di wajahnya.
"Papa sudah tahu? Apa Danisha yang menceritakan semuanya?"
Darmono menggeleng, "pengacaramu yang mengatakan semuanya. Jadi Jordan bukan putramu?"
Sabil menggeleng pelan dan menunduk, "Aku bersedia menikah kontrak dengannya karena tidak ingin anak yang dia kandung lahir tanpa hadirnya seorang ayah dan Papa akan malu dengan kondisi seperti itu. Namun, aku juga ingin mempunyai keluarga yang utuh, pendamping hidup yang aku cintai juga mencintaiku. Karenanya aku ingin mengakhiri kontrak ini dan menceraikannya agar kami sama-sama bahagia."
Percakapan papa mertua dan menantu itu, didengar juga oleh Wina, karena saat masuk tadi ia mengekori Sabil namun belum sempat menyapa sang Presdir.