NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

****

Jam makan siang tiba. Biasanya Elara turun ke kantin bersama beberapa staf lain atau sekedar makan cepat di pantry.

Namun siang itu, saat ia sedang merapikan agenda rapat, suara bariton milik Marvin memecah keheningan.

Marvin tanpa mengangkat kepala dari laptop, langsung bersuara.

“Elara, jangan pergi dulu.” ucapnya.

Elara yang sudah bersiap dengan tas kecil menoleh heran.

“Ya, Tuan? Saya hanya ingin keluar sebentar, makan siang.” ucap Elara.

Marvin dengan singkat langsung berucap lagi.

“Makan di sini saja. Aku sudah pesan makanan.” ucap Marvin.

Elara terdiam, hampir tak percaya dengan yang ia dengar.

“Maksud Anda, makan bersama?” tanya Elara.

Marvin menutup laptopnya, lalu berdiri sambil menunjuk kotak-kotak makanan yang baru saja diantar oleh kurir dan diletakkan oleh resepsionis di atas meja kecil.

Marvin mengangguk pelan.

“Ya. Anggap saja briefing sambil makan siang.” balas Marvin enteng.

Elara menelan ludah, lalu melangkah pelan mendekati meja. Duduk bersama atasan di ruang kerja pribadi jelas bukan hal biasa, apalagi Marvin yang dikenal dingin dan jarang berbasa-basi.

“Kalau begitu, baiklah.” ucap Elara menanggapi.

Mereka duduk berseberangan. Suasana hening beberapa detik, hanya suara alat makan yang beradu. Elara mencoba makan pelan, tapi merasa canggung.

Elara mencoba membuka percakapan.

“Apakah Tuan memang sering makan siang seperti ini, di ruangan?” tanya Elara.

“Biasanya sendiri. Tapi hari ini, aku ingin ada teman makan.” balas Marvin.

Elara menunduk, masih saja merasa canggung.

“Ah begitu.” singkat Elara.

Keheningan kembali muncul. Tapi tiba-tiba Marvin menaruh sumpitnya, lalu menatap Elara dengan sorot tajam yang membuat perempuan itu nyaris tersedak.

“Tentang pria di lobi itu, dia sudah lama tidak menghubungimu sebelum kejadian bertemu ya?” tanya Marvin tiba-tiba saja.

Elara terdiam, kaget dengan arah pembicaraan Marvin.

“Seharusnya kita tidak membicarakan hal pribadi saat seperti ini, Tuan.” ucap Elara.

Marvin mencondongkan tubuh sedikit, nadanya datar tapi menekan.

“Anggap saja ini pengecualian. Jawab saja pertanyaanku.” ucap Marvin lagi.

Elara menggenggam garpunya erat, lalu menjawab dengan suara pelan.

“Ya, sudah lama. Hingga akhir-akhir ini dia mencoba menghubungi saya lagi.” ucap Elara menjawab.

Marvin matanya menyipit ketika menatap Elara cukup lekat.

“Dan kau tetap menolaknya?” tanya Marvin.

“Tentu saja. Hubungan kami sudah berakhir.” balas Elara cepat.

Marvin terdiam, lalu kembali mengambil sumpitnya, kali ini dengan ekspresi sulit terbaca. Namun bibirnya melontarkan kalimat yang membuat Elara semakin bingung.

“Bagus. Pastikan tetap begitu. Aku tidak suka melihat sekretarisku diganggu oleh masa lalu yang tidak tahu diri.” ucap Marvin.

Elara menatap Marvin, kali ini tak bisa menahan diri untuk bertanya.

“Kenapa Anda begitu peduli, Tuan? Saya hanya bawahan Anda.” ucap Elara.

Marvin berhenti makan, lalu menatap Elara lama. Ada sesuatu dalam sorot matanya, jelas itu sikap protektif.

“Karena aku tidak ingin kehilangan sesuatu yang sudah berada di sisiku. Walaupun, kau menyebutnya hanya ‘pekerjaan’.” ucap Marvin lagi.

Elara membeku. Hatinya berdetak kencang, mencoba memahami maksud dari kata-kata itu.

“Tuan Marvin, saya rasa Anda sedang mencampuradukkan perasaan pribadi dengan profesionalitas.” ucap Elara sedikit lebih berani saat berucap.

Marvin tersenyum tipis saat mendengar ucapan Elara.

“Mungkin. Tapi kalau itu membuatku bisa memastikan kau tidak disakiti lagi, aku tidak keberatan.” ucap Marvin.

Elara menunduk dalam, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa ada garis tipis yang mulai kabur antara hubungan profesional dan pribadi.

Beberapa menit berikutnya mereka makan dalam diam. Hanya saja, kali ini keheningan itu terasa berbeda, Elara menahan diri untuk tidak gugup dengan tingkah aneh Marvin.

Setelah selesai, Marvin berdiri, merapikan jasnya, lalu menatap Elara sekali lagi.

“Mulai sekarang, makan siangmu akan aku atur. Kau tidak perlu repot turun ke kantin. Aku tidak ingin kau berdesakan dengan orang lain hanya untuk sekedar mengisi perut.” ucap Marvin lagi.

Elara terbelalak, jelas kaget.

“Maaf, Tuan? Itu, tidak perlu. Saya bisa mengurus makan siang saya sendiri.” ucap Elara menolak cepat.

Marvin mendekat, menatap tajam.

“Itu perintah, Elara. Jangan dibantah.” ucap Marvin.

Elara terdiam, hanya bisa menunduk pasrah meski hatinya penuh tanya.

Saat ia keluar dari ruang kerja, langkahnya goyah. Ia bersandar sebentar di dinding, menutup wajah dengan kedua tangan.

“Apa yang sebenarnya dipikirkan Tuan Marvin? Kenapa sikapnya seperti ini? Aku hanya sekretarisnya. Tapi kenapa rasanya dia berusaha menjagaku, seolah aku lebih dari itu?” gumam Elara merasa heran.

***

Malam itu, di kediaman orang tua Nathan.

Nathan masuk dengan wajah kusut, dasinya setengah terlepas, rambut acak-acakan. Ia kacau.

Maria yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah, langsung menoleh kaget.

“Nathan? Hei, wajahmu kenapa seperti itu? Kau seperti habis berkelahi.” ucap Maria.

Nathan melempar jasnya ke sofa, duduk dengan napas berat. Ia mengusap wajahnya berulang kali, lalu bersandar dengan kepala menengadah ke atas.

“Mom, aku sudah tidak tahan lagi.” ucap Nathan.

Maria mengerutkan keningnya tak paham.

“Tidak tahan apa? Jangan berbicara bertele-tele. Katakan langsung.” ucap Maria.

Nathan menghempaskan tubuhnya ke depan, menekuk siku di lutut, lalu menatap ibunya dengan mata merah.

“Elara. Aku melihatnya lagi. Kali ini, bersama pria lain. Pria kaya, tampan, tapi aku tahu satu hal, dia seperti menginginkan Elara.” ucap Nathan.

Maria langsung mendengus kesal.

Maria bersedekap dada.

“Elara lagi? Nathan, sampai kapan kau terus-menerus menyiksa dirimu dengan perempuan itu?” kesal Maria.

Nathan menepuk lutut, ia kesal.

“Aku tidak bisa menghapusnya dari kepalaku, Mom! Aku pikir setelah perceraian, aku akan bebas. Tapi ternyata tidak! Begitu melihat dia lagi, aku seperti orang gila. Aku tidak rela dia bersama pria lain, Mom! Tidak rela!” tegasnya.

Maria menatap putranya dengan sorot penuh kekecewaan.

“Jangan bicara seakan-akan kau korban di sini, Nathan. Kau lupa, alasan kalian bercerai karena apa? Karena kau sendiri yang menuduh Elara macam-macam!” ucap Maria.

Nathan berdiri, berjalan gelisah ke depan jendela, menatap keluar dengan kedua tangan meremas rambutnya.

“Karena aku tahu dia bukan perempuan yang murni saat masuk ke dalam pernikahan, Mom! Aku merasa dibohongi! Kau tahu rasanya menikahi seseorang lalu sadar bahwa dia sudah, sudah bukan milikmu sepenuhnya?” tanya Nathan.

Maria tertegun, lalu berdiri dengan wajah memerah menahan marah.

“Hentikan, Nathan! Jangan bicara seperti itu lagi di depan Mommy! Sudahilah.” ucap Maria lelah.

“Mom...”

Maria menyela.

“Kau pikir Mommy tidak malu mendengar ucapanmu? Aku Mommy mu, Nathan! Apa kau lupa siapa dirimu? Kau pria yang seharusnya bisa menjaga harga diri istrimu. Tapi apa yang kau lakukan? Kau buang dia hanya karena kau merasa ‘tidak puas’ dengan masa lalunya? Itu alasan yang paling bodoh yang pernah Mommy dengar! Jadi menyesal pun sudah tidak berguna.” ucap Maria.

Nathan terdiam, tapi tangannya terkepal keras.

“Mom, aku merasa ditipu. Aku ingin istri yang sempurna. Elara, dia tidak memberitahuku sejak awal. Aku merasa dikhianati tapi sekarang aku merasa kehilangan.” ucap Nathan.

Maria menepuk meja dengan keras.

“Dikhianati? Nathan, dengar baik-baik! Kau yang mengkhianati dia! Kau yang tidak bisa menerima dia apa adanya. Kau lebih memilih egomu selama 5 tahun pernikahan daripada mempertahankan perempuan yang sebenarnya baik dan tulus padamu. Sekarang, kau menangis darah pun, itu semua akibat pilihanmu sendiri!” ucap Maria berharap Nathan berhenti putus asa.

Nathan menunduk, suaranya parau.

“Tapi aku masih mencintainya, Mom. Aku tidak bisa melihat dia dengan pria lain. Rasanya aku ingin merebutnya kembali, dengan cara apa pun.” gumam Nathan.

Maria menatap anaknya dengan wajah getir, lalu menghela napas panjang.

“Kau mencintainya? Itu bukan cinta, Nathan. Itu hanya obsesi. Kau ingin memiliki dia seutuhnya, tapi tidak pernah benar-benar menghargai siapa dia. Itu yang membuatmu kehilangan segalanya.” ucap Maria lagi.

Nathan memejamkan matanya, air mata jatuh tanpa ia sadari.

“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan, Mom? Aku sudah kehilangan dia, tapi aku tidak bisa, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.” ucap Nathan merasa gila.

Maria menoleh, membuang muka dengan ekspresi penuh kemarahan bercampur iba.

“Lupakan dia, Nathan. Itu satu-satunya jalan. Jangan permalukan dirimu sendiri dengan mengejar perempuan yang sudah tidak mau menoleh padamu lagi. Apalagi dia sekarang dekat dengan pria lain setelah bercerai." balas Maria.

Nathan menatap Mommy nya dengan mata merah, wajahnya dipenuhi rasa sakit. Ia tidak menjawab. Hanya diam, tenggelam dalam keputusasaan yang semakin mencekik.

Maria menghela napas panjang, lalu kembali duduk sambil menutup wajah dengan tangannya.

“Kau masih terjebak dalam bayangan yang sama. Lupakan Elara Nathan.” ucap Maria memberi nasehat.

Sementara Nathan berdiri kaku di depan jendela, menatap kosong keluar. Dalam hatinya, perasaan frustrasi nyata.

'Semakin aku ingin melupakan, semakin dia terus muncul dalam pikiranku.' batin Nathan.

Bersambung…

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Tzuyu Twice: setuju
total 1 replies
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!