Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mertua Indah
Kembali ke masa kini, 2025.
Mendengar seluruh kisah yang akhirnya keluar dari mulut Dewa, Lucy hanya bisa terdiam. Ruangan rumah sakit yang sejak tadi tenang kini terasa lebih berat oleh udara haru yang menggantung. Suara Dewa bergetar di akhir kalimatnya, dan air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Lucy menatapnya lama. Ada perih yang ikut menyesak di dadanya melihat pria itu yang selama ini tampak kuat, ternyata menyimpan luka sedalam itu sendirian. Tanpa banyak pikir, ia menangkupkan kedua tangannya di pipi Dewa. Sentuhannya lembut, hangat, menuntun tatapan Dewa untuk kembali menemuinya.
“Dewa…” ucap Lucy lirih, jemarinya mengusap lembut air mata yang mengalir di wajah suaminya.
“Terima kasih udah bertahan sejauh ini.”
Dewa hanya menatap, bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar.
Lucy menggeleng pelan, matanya ikut basah.
“Tentang kecelakaan itu… itu bukan salah lo,” katanya, suaranya tegas tapi penuh kasih.
“Jadi berhenti nyalahin diri lo sendiri, ya?”
Dewa memejamkan mata, menahan isak yang nyaris pecah. Ia menggenggam tangan Lucy yang masih menempel di wajahnya, mencium punggungnya perlahan—seolah lewat genggaman itu, sebagian bebannya bisa ikut larut.
...****************...
Sementara itu, di sebuah kota lain. Suasana rumah keluarga Lucy terasa hangat dan sederhana. Di ruang tengah, TV menayangkan “Preman Pensiun”, suara khas Kang Mus bergema, berpadu dengan aroma kopi hitam dan pisang goreng yang baru matang. Dari dapur, Indriani —Ibu Lucy— muncul sambil membawa nampan berisi pisang goreng dan secangkir kopi panas. Ia menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah suaminya.
Indriani menyodorkan piring kecil berisi pisang goreng. “Pah, Lucy udah lama gak pulang. Suruh kesini coba, kangen juga liat anak sendiri.”
Surya —Ayah Lucy— mengambil satu potong tanpa menoleh, matanya masih tertuju pada TV. “Buat apa, mah? Dia udah punya suami. Biarin aja.”
Indriani menatap suaminya dengan dahi berkerut, nada suaranya mulai meninggi. “Ih, si papah mah! Sekalian tanyain atuh, suaminya itu siapa sih? Dewa, kan? Kapan resepsinya? Masa cuma akad doang. Apa kata tetangga coba kalo gak ada resepsi!”
Surya akhirnya menurunkan volume TV, menarik napas panjang. “Mah... udahlah. Serahin ke mereka aja. Jangan dengerin omongan orang, gak bakal ada habisnya itu.."
Indriani mendengus kesal, melipat tangan di dada sambil memalingkan wajah. “Ih, si papah mah, gak ada pedulinya banget sama anak sendiri teh."
Surya hanya terkekeh kecil. Ia menyeruput kopinya perlahan, uap panas mengepul tipis di udara. Meski terlihat cuek, ada sorot lembut di matanya. Seulas rindu yang tak diucapkan pada anak perempuannya itu.
Melihat suaminya diam terlalu lama, Indriani menatapnya sejenak, lalu mendengus pelan. Ia meraih ponsel dari meja, menekan layar dengan cepat.
“Udahlah, mama telepon aja sendiri,” gumamnya sambil menatap suaminya sekilas. “Kalo nunggu papa mah, bisa sampe tahun depan!”
Panggilan tersambung tak lama. Dari seberang, suara Indriani terdengar agak sengau, seperti menahan kesal.
“Assalamu’alaikum, Mah,” sapa Lucy lembut, menempelkan ponsel di telinga.
“Wa’alaikumsalam, Lucy. Apa kabar, Neng?” jawab ibunya cepat, tapi nadanya datar—bukan tanpa kasih, tapi terasa ada ganjalan di hati.
“Baik, Mah, alhamdulillah. Kenapa, Mah? Tumben nelpon?” ucap Lucy sambil menatap langit-langit, mencoba tersenyum.
“Kamu nih,” suara Ibu Lucy terdengar meninggi sedikit,
“rasanya emang aneh kalau Mamah nelpon anak sendiri? Kapan kamu mau pulang? Atau mau sekalian resepsi?"
Lucy menghela napas panjang, menekan jembatan hidungnya pelan.
“Astaga, Mah... tiba-tiba banget bahas itu. Nanti lah, jangan di telepon, Mah.”
“Yee, Mamah mah cuma nanya! Jangan sampe gak resepsi, malu atuh sama tetangga!" gumamnya, nada suaranya kini terdengar lebih lembut tapi tetap menusuk.
Lucy terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Iya, iya dibahasnya nanti ya, Mah. Sekarang Lucy lagi di rumah sakit, Dewanya lagi sakit.”
Suara di seberang langsung berubah.
“Hah? Sakit apa dia?” nada khawatir terdengar jelas.
Surya yang semula fokus menatap TV kini menoleh cepat, menatap istrinya dengan alis berkerut.
Lucy buru-buru menjawab, “Cuma kecapean, Mah. Gak papa kok.”
“Hadeuh... yaudah, nanti siang Mamah sama Papah ke sana!” ucap ibunya tegas, seperti sudah tak bisa dibantah.
“Gak us—”
Belum sempat Lucy menyelesaikan kalimatnya, panggilan sudah terputus. Ia menatap layar ponselnya lama, lalu mendesah kecil sambil menggeleng.
Dari ranjang, Dewa menatapnya dengan senyum samar. Lucy berbalik menatapnya, lalu berkata lirih sambil menyungging senyum pasrah,
“Kayanya, mamah sama papah bakal dateng siang ini…”
...****************...
Pagi di tempat lain.
Cahaya matahari menembus tirai tipis, memantul lembut di dinding putih sebuah kamar hotel. Tirai terbuka separuh, membiarkan cahaya mentari menyapu lembut selimut putih yang kusut. Di atas ranjang, seorang wanita terbaring miring, menatap pria di sampingnya yang masih tertidur pulas.
Wajah pria itu tampak tenang — garis rahangnya tegas, kulitnya bersih, dan hidungnya mancung sempurna. Sesekali, hela napasnya terdengar berat tapi teratur, seolah dunia luar tak lagi penting baginya.
Wanita itu tersenyum samar. Ia menggeser tubuhnya perlahan, mendekat, membiarkan jarak di antara mereka kian menipis. Tatapannya tak lepas dari wajah pria itu.
“Gue gak nyangka bisa ngelakuin ini sama lo,” ucapnya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar dirinya sendiri.
Tapi belum sempat ia menarik napas lagi, suara serak tapi jelas terdengar di sebelahnya.
“Lo masih gak percaya?” Pria itu tiba-tiba membuka mata, menoleh ke arah perempuan itu. Tatapannya tajam tapi penuh kehangatan. Bibirnya terangkat setengah senyum.
“Mau gue ingetin lagi?”
Perempuan itu buru-buru memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan rona merah yang merambat cepat di pipinya. Degup jantungnya beradu dengan sunyi pagi yang tiba-tiba terasa terlalu dekat.
“A-apaan sih lo! Udah ah, nanti gue telat! G-gue mau mandi, bye!” ujarnya terbata, mencoba menjaga nada suaranya tetap datar meski jelas gugup. Ia bangkit dari ranjang dengan gerakan tergesa, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Namun sebelum sempat melangkah, tangan pria itu bergerak cepat menarik pergelangan tangannya. Tubuh polos perempuan itu kehilangan keseimbangan, lalu jatuh perlahan di atas tubuh si pria.
Mereka saling terpaku sejenak. Nafas keduanya bertemu di udara yang tipis, dan hanya jarak beberapa inci memisahkan wajah mereka. Tatapan pria itu dalam, menelusuri wajah perempuan yang kini terlihat kikuk namun tak beranjak.
“Masih ada 1.5 jam lagi, tanggung jawab dulu. 'adik' gue bangun...” bisiknya rendah, membuat pagi itu seolah berhenti di antara detak jantung yang tak beraturan. Dengan cepat si pria merubah posisinya. Kini, perempuan itu tepat berada dibawah kungkungan si pria.
"Jangan, nanti tel—" belum selesai Detri menyelesaikan kalimatnya, mulutnya telah dibungkam oleh pria itu dengan bibirnya. Ciuman yang cukup panas untuk mengawali pagi yang bergairah. Pria itu meraup bibir Detri rakus, seperti sarapan pagi yang menggiurkan. Tangannya turun memainkan salah satu buah dada yang bulat dan padat itu, meremasnya kuat-kuat sesekali memilin boba hitamnya membuat Detri menggelinjang dibawah sana.
"shh.... ahh...lo gila! Gimana kalau gue telat?" racau nya diantara desahan.
"Tenang aja, 40 menit kok cukup." ucap pria itu dengan senyuman nakalnya. Kemudian ia menarik selimut guna menutupi tubuh polos keduanya. Lalu, 'Adik' dibawah sana bersiap memasuki inti tubuh Detri.
"Akhhh...."
Ucap mereka berbarengan. Penyatuan pun terjadi sama seperti semalam. Desahan dan suara tubuh bertubrukan memenuhi kamar. Saat keintiman di antara mereka mulai memuncak, suara dering ponsel mendadak memecah suasana. Aktivitas mereka terhenti seketika. Pria itu menoleh ke arah meja tempat ponsel bergetar. Di layar, terpampang jelas nama yang membuat wajahnya langsung memucat.
[Mira is calling...]
...----------------...
Hmm..
Momen Dewa-Lucy mulai menghangat nih, baik-baik ya kalian 😍
Apa kali ini akan ada drama mertua? Pantengin terus ya kisah mereka 😋
Terakhir...
Tarik nafas duluu...
DETRI! Masih pagi udah hohe sama siapa kamu? 😭 ada yang bisa tebak gak, siapa pria yang bermalam dengan Detri??
Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote like dan komentar yaa ✨😘
...Terimakasih! 💕...
apapun kondisi anaknya,hati seorang ibu tetaplah tulus pada anaknya....