Saat membuka mata, Anala tiba-tiba menjadi seorang ibu dan istri dari Elliot—rivalnya semasa sekolah. Yang lebih mengejutkan, ia dikenal sebagai istri yang bengis, dingin, dan penuh amarah.
"Apa yang terjadi? bukannya aku baru saja lulus sekolah? kenapa tiba-tiba sudah menjadi seorang ibu?"
Ingatannya berhenti disaat ia masih berusia 18 tahun. Namun kenyataannya, saat ini ia sudah berusia 28 tahun. Artinya 10 tahun berlalu tanpa ia ingat satupun momennya.
Haruskah Anala hidup dengan melanjutkan peran lamanya sebagai istri yang dingin dan ibu yang tidak peduli pada anaknya?
atau justru memilih hidup baru dengan menjadi istri yang penyayang dan ibu yang hangat untuk Nathael?
ikuti kisah Anala, Elliot dan anak mereka Nathael dalam kisah selengkapnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zwilight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 28 | Bye Bye Maria
Mentari pagi malu-malu mencuat dari balik awal yang beredar disegala sisi langit. Cahayanya redup tapi menyenangkan bagi siapapun yang sedang lari pagi. kicauan burung pun mengisi kekosongan pagi, membuat mood siapapun jadi naik ke tingkat tinggi.
"Semalam aku tidur nyenyak." Anala meregangkan otot tangannya, berjalan santai mengelilingi komplek bersama anak dan suaminya. "Sekali lagi makasih buat cincinya. Kamu mau hadiah apa dari aku?"
Elliot menoleh sekilas lalu buru-buru mengalihkan pandangan sambil mengusap tengkuknya. "Nggak butuh apa-apa." pandangannya mendongak pada beberapa burung yang terbang bebas diatas sana.
Jawaban itu membuat Anala mencebikkan bibirnya. Sementara Nathael dan seekor anak anjing peliharaannya sudah semakin jauh didepan. Mata Anala membesar sambil berteriak cukup keras. "Nael jangan jauh-jauh, tunggu Mama sama Papa dulu."
Anak kecil itu tetap berlari sambil berbalik sedikit menoleh pada kedua orang tuanya yang tertinggal. "Tobi udah nggak sabar mau lari pagi, Ma." senyumnya lebar sampai matanya menyipit. "Ayo Ma, Pa. Kejar Nael."
Anala menghela napas kasar, "Duuh dasar anak ini, mentang-mentang semangat mudanya masih menggebu-gebu." tangannya memperbaiki cepol rambutnya lalu menarik tangan Elliot untuk ikut berlari bersamanya. "Ayo El, kita kejar."
Elliot terpana oleh senyum yang terpatri indah dari wajah Anala. Ia menelan ludah lalu ikut berlari namun dengan kata-kata dinginnya. "Nggak usah buru-buru, nanti kalau kamu jatuh, aku juga yang repot."
"Ya itu kan tugas kamu sebagai suami. Udah ayo buruan." Anala menyerungut meski disebelahnya Elliot terus menurut. Sambil berdecak kesal dengan wajah tak santai, siapa sangka dia tetap disisi tanpa berjarak dari Anala. "Ck, ya udah kalau itu yang kamu mau."
***
"Bu guru Maria!" Nathael berlari pelan sambil memegangi tali Tobi. Senyumnya melebar, menghampiri sosok guru yang begitu dekat dengannya.
"Hai, Nael... kamu lari pagi bareng Papa?" matanya mencari sosok dibelakang anak ini, namun tak ada siapapun. Sampai akhirnya jawaban Nathael membuatnya berdecak kesal bukan main. "Iya, tapi hari ini Mama juga ikut."
Ck. Ngapain sih wanita gila itu harus ikut.
Maria ikut menunduk menyamakan tingginya dengan Nathael. Senyum dan suaranya terdengar lembut. Begitupun dengan tangannya yang memegang bahu Nathael. "Nael nggak takut sama Mama lagi?"
Sontak bocah itu menggeleng tanpa ragu. "Enggak, soalnya Mama udah berubah jadi baik." senyum tulus terlukis lewat wajah polosnya, dan itu membuat Maria mengepalkan tangan.
Dia membelai rambut Nathael perlahan, berusaha untuk mempengaruhi pikiran yang masih polos itu. "Tapi waktu itu Mama pernah cerita sama Bu guru. Katanya dia cuma pura-pura baik sebelum ninggalin Nael."
"Ninggalin? memangnya Mama mau pergi kemana buk guru?"
Maria mengedikkan bahu, pura-pura memikirkan jawaban dengan benar. "Entahlah, Hmm... mungkin Mama mau pergi sama selingkuhannya itu?" matanya mengerjap pada Nathael, memasang ekspresi prihatin.
Anak itu terdiam tanpa bisa merespon. Wajah bingungnya membuat Maria semakin gencar memberi sugesti buruk lainnya. Ia membelai wajah Nathael, dan terus bicara omong kosong. "Makanya Nael nggak boleh terlalu dekat sama Mama karena dia bilang dia akan ninggalin Nael ketika udah sayang dan dekat sama dia."
Anak itu sulit bernafas, matanya fokus pada Maria. Dia mulai terpengaruh dan itu terlihat dari matanya yang mengembun. "Buk guru cuma mau ngingetin Nael, Bu guru sayang sama Nael." ia memeluk Nathael, memanfaatkan kelemahan hati yang dimiliki seorang anak kecil.
Tangannya mengelus punggung Nathael, sambil membisikkan sesuatu ditelinga nya. "Jangan kasih tau ke orang lain ya? ini rahasia kita berdua." pelukan yang terasa tak sama itu membuat Nathael sadar. dia melepasnya dan menatap Maria penuh tanya. "Tapi Mama udah janji sama Nael. Mama nggak akan pergi ninggalin Nael lagi."
Tangan Nathael digenggam oleh Maria, matanya makin dalam dan dekat untuk mempengaruhi. "Sayang, kamu ingat kan? waktu itu jelas-jelas Mama kamu ribut sama Papa dan dia teriak pengen cerai dan pergi sama selingkuhannya. Nggak ada yang nggak mungkin."
Nathael menelan ludah, nafasnya mendadak tercekal. Tobi sampai bisa merasakan perubahan mood majikannya. "Ma–mama mau ninggalin Nael. Gimana ini buk guru, Nael nggak mau Mama pergi." matanya sudah berkaca-kaca siap luruh kapan saja.
Maria tersenyum senang. Sudut bibirnya sampai terangkat karena puas. Ia membawa Nathael ke dalam pelukannya, mencoba jadi tempat paling nyaman setelah kegelisahan yang dia rasakan karena Mamanya sendiri. "Tenang saja, Buk guru selalu ada untuk Nael. Buk guru nggak akan ninggalin Nael."
Entah kenapa tangis yang mulai ditahan Nathael akhirnya pecah juga. Bocah itu menangis dalam pelukan Maria dan berhasil membuat wanita itu tersenyum menang.
"Nael..."
Panggilan yang lembut itu menyadarkan Nathael. Ia mengangkat pandangan dan melihat sosok Mama dan Papanya yang berdiri tepat didepannya. Tanpa tunggu lama dia langsung lari dari pelukan Maria dan beralih sambil tersenyum. "Mama!"
Bocah itu langsung berlari dan memeluk Mamanya. Dia meninggalkan Maria begitu saja. "Mama disini sayang, Mama nggak akan pernah ninggalin Nael." tangannya menyeka air mata Nathael, dan memberinya senyum hangat.
Anala menatap Maria dengan tajam, rahangnya mengeras kuat. Begitu beralih pada Nathael, sorot itu langsung melunak. "Nael ikut Papa dulu ya, ada yang mau Mama bicarakan dengan buk guru."
Maria terlihat kaget hingga matanya melotot. "Sejak kapan, kalian—?" pupilnya bergetar saat Mata Elliot memandangnya penuh benci.
"Jadi selama ini kamu yang udah memperburuk kondisi Nael? kamu ngasih dia sugesti jelek tentang Anala?"
Maria menegang, tangannya bergetar begitu suara Elliot menyerangnya dengan dingin. Ia menggeleng cepat, tangannya berusaha meraih lengan Elliot. "Elliot, kamu salah denger. Aku—" Anala menepisnya cepat. "Nggak usah pegang-pegang suami orang! benar-benar nggak tau malu!"
"El, tolong bawa Nael pergi dari sini. Aku mau bicara serius sama perempuan gatal ini."
"Nggak usah, biar aku aja yang urus—" Elliot mau nahan bagaimana pun pokoknya Anala tidak peduli. Urusannya dengan Maria harus diselesaikan sekarang, dan itu bukan urusan Elliot. "Nggak! ini urusanku sama dia. Kamu nggak usah ikut campur."
Elliot mengalah, dia bawa Nathael dan Tobi untuk sedikit menjauh dari perdebatan dua orang disana. Nathael masih sesekali menangis sementara Tobi jadi bingung dengan situasi yang dialami tuannya.
Plak
Tepat setelah anak dan suaminya tak lagi terlihat, Anala menampar Maria cukup kasar. Beberapa orang sampai terkejut dan melotot. "Dasar gila! kamu mau mempengaruhi anakku dengan cara menjijikkan kayak gini?"
Maria mengangkat pandangan memberikan seringai merendahkan pada Anala. "Lalu kamu mau apa? asal kamu tau, yang menghancurkan mental Nathael itu kamu sendiri, bukan orang lain!" tangannya menunjuk dada Anala cukup kasar.
"Iya aku tau itu salah ku, tapi aku udah berubah. Kamu nggak berhak mempengaruhi anakku kayak gitu."
Tanpa rasa sungkan atau ragu, sudut bibirnya terangkat. ia membisikkan sesuatu ditelinga Anala. "Kenapa nggak boleh? kamu pikir siapa yang selama ini menemani anak dan suami kamu waktu kamu sibuk selingkuh?"
Anala menggeleng tak percaya pada apa yang keluar dari mulut Maria. Tatapannya berubah makin tajam, tak ada keramahan yang tersisa. "Kalau begitu sebutkan berapa harganya, aku akan bayar semuanya."
Maria menatap Anala dengan pandangan nyalang. Tangannya bersedekap dada dengan percaya diri. "Suami kamu. Aku mau Elliot."
Anala mengerjapkan matanya, perlahan ada rasa getir dari hatinya. "Jangan bercanda! istri mana yang mau memberikan suaminya? Kamu bisa dapatkan pria yang lain, yang mencintai kamu. Bukan malah berharap sama suami orang."
Maria terkekeh pelan, seringai jahatnya membuat bulu kuduk merinding. "Kamu sendiri yang bilang, terus sekarang kamu pura-pura lupa?"
Secara tiba-tiba sebuah ingatan masalalu lewat begitu saja layaknya suara radio rusak. "Kamu mau jadi istrinya? silahkan. Kalau bisa bujuk dia supaya perceraian ini terjadi lebih cepat. Saya udah muak sama dia dan juga anak cerewet itu."
Suara itu membuat hatinya teriris. Pupil matanya mengecil begitupun dengan rasa dingin yang menjalar di sekujur tubuhnya. "A–aku nggak tau apa yang terjadi, tapi aku mohon Maria, tolong jangan perburuk kondisi Nael. Aku nggak mau dia mimpi buruk lagi."
"Kamu yang membuat dia mengalami trauma, bukan aku!"
Anala memegang kepalanya yang berdenyut, jantungnya memanas seperti ada sesuatu yang akan meledak. "Aku juga tau itu, dan selama ini aku berusaha buat memperbaiki semuanya. Tolong jangan ganggu keluargaku lagi."
Namun, Maria malah terkekeh pelan. Suaranya tegas dengan tatapan tak mau kalah. "Keluarga? kamu bahkan nggak layak menyebut kata itu."
Anala makin merasa terpojok, rasa bersalah yang singgah dihatinya tak dapat dienyahkan. Bersamaan dengan rasa takutnya, langkah berat terdengar mendekat. Maria refleks menahan nafas saat sebuah tangan besar menarik Anala pelan ke belakangnya.
"Apa kamu sudah selesai mempermainkan perasaan anak saya?" ucapannya pelan, namun teramat tajam. "Nael sampai takut Mama-nya pergi, itu karena kamu yang sengaja tanamkan di kepalanya?"
Maria mencoba tetap kuat, tapi bibirnya bergetar. "A–aku cuma bilang yang—"
"Selama ini saya anggap kamu teman, tapi ternyata kamu berniat menyakiti anak saya. Apa kamu pikir selama ini saya berhutang budi atas semua perlakuan yang kamu berikan?" nada suaranya tetap santai, tapi siapapun bisa merasakan luapan amarah yang tertanam dalam setiap katanya.
"Sekarang dengar baik-baik, apapun yang kamu lakukan untuk saya dan sampai kapanpun itu, kamu nggak akan pernah jadi bagian dari hidup saya."
Dagunya terangkat sedikit, rahangnya tegas, dan ucapannya mengakhiri tanpa kompromi. "Menjauh. Itu peringatan pertama dan terakhir dari saya!"
Maria menggeleng tak percaya, bibirnya terbata untuk bicara. "Elliot, kamu nggak tau. Aku selalu..."
"Selalu apa?" potong Anala cepat. "Selalu mengharapkan Elliot meninggalkan anak dan istrinya? kalau begitu silangkan terus berharap sampai mati!"
Cahaya pagi rasanya membakar. Maria tertunduk dengan mata memerah. Bukan karena sedih, tapi karena ia tau bahwa ia telah kalah. "Setelah apa yang sudah aku lakukan untuk kamu, sekarang—"
Anala terus memotong ucapan Maria, dia tidak tahan lagi dengan semuanya. "Pergi Maria! jangan ganggu keluargaku lagi!" suaranya sedikit tinggi hingga beberapa orang mulai mendengar pembicaraan mereka.
"Bukannya itu dokter Maria?" beberapa ibu-ibu mulai berbisik sambil mengamati apa yang terjadi diantara dua kubu disana. "Kamu dengar tadi wanita itu bilang apa? katanya dokter Maria menganggu keluarganya, apa dokter Maria seorang pelakor?"
Tubuh Maria menegang, rasa malu menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menatap sekitar yang kini memberikan atensi penuh penasaran pada dirinya. Ia menegak ludah dengan kasar, tangannya meremas ujung bajunya.
Ia menutupi wajahnya dengan topi dan mengambil langkah kasar dengan bahu gemetar. "Kalian keterlaluan!" katanya terakhir sebelum pergi.
Begitu sosok Maria menghilang, Anala akhirnya merasakan lututnya melemas. Nafasnya berat hingga jemarinya ikut mendingin. Elliot meliriknya sekilas lalu segera menahan tubuhnya yang mulai kehilangan keseimbangan.
"Kamu oke?"
Anala menggeleng cepat, mulutnya sampai merengek dengan cukup keras. "Nggak oke." mewekan itu bikin Elliot panik, entah bagaimana harus menghiburnya. Tapi dibalik itu, ia tersenyum merasa lega.