Olivia Wijaya, anak kedua Adam Wijaya Utama pemilik perusahaan Garda Utama, karena kesalahpahaman dengan sang Ayah, membuat dirinya harus meninggalkan rumah dan kemewahan yang ia miliki.
Ia harus tetap melanjutkan hidup dengan bekerja di Perusahaan yang Kevin Sanjaya pimpin sebagai bos nya.
Bagaiman selanjutnya kisah Oliv dan Kevin.. ??
Hanya di Novel " My Perfect Boss "
Follow Me :
IG : author.ayuni
TT : author.ayuni
🌹🌹🌹
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayuni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Keesokan harinya di Sanjaya Group
Siang itu, jarum jam baru menunjukkan pukul dua lewat lima belas. Matahari sudah tinggi, memantulkan cahaya ke dinding kaca ruang kerja Kevin di lantai 9.
Di atas meja, tumpukan berkas laporan proyek belum tersentuh.
Namun pikirannya bukan di situ. Ia baru saja menerima pesan singkat dari HRD yang melaporkan program magang sudah dimulai hari ini, orientasi hari kemarin berjalan lancar.
Kevin menutup laptopnya perlahan, lalu menekan tombol interkom.
“Rey, ke ruangan saya sekarang.”
Suara beratnya terdengar tenang, tapi ada nada tegas yang membuat siapa pun tahu ini bukan panggilan santai.
Beberapa menit kemudian, Rey masuk dengan membawa tablet di tangan.
“Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Kevin menatapnya sekilas sebelum menjawab, "Gimana orientasi anak-anak magang kemarin?”
Rey berdiri tegak, mencoba menjaga ekspresinya tetap netral.
“Berjalan lancar, Pak. Total ada delapan mahasiswa, empat dari universitas mitra lama kita, dan empat dari universitas baru, yaitu Universitas Nusabuana.”
Kevin mengangguk kecil sambil memutar pulpen di tangannya.
“Universitas Nusabuana?” nada suaranya datar, tapi matanya menatap lurus ke arah Rey.
“Baru dengar nama kampus itu. Bagus nggak kampusnya?”
Rey tersenyum tipis.
"Cukup bagus, Pak. Banyak anak berbakat di bidang desain dan komunikasi. Mereka akan kita tempatkan di divisi kreatif sesuai kebutuhan proyek.”
Kevin menyandarkan diri ke kursi, menatap langit-langit sebentar, lalu kembali fokus.
“Baik. Pastikan mereka diarahkan dengan benar. Saya tidak mau anak magang cuma datang untuk ‘nempel nama besar’ perusahaan.”
“Tentu, Pak. Saya sudah minta tim desain menyiapkan proyek kecil untuk mereka mulai minggu depan.”
Kevin mengangguk lagi, tapi kemudian diam. Ada jeda panjang.
Sebuah keheningan yang membuat Rey sedikit tegang ia tahu, biasanya kalau Kevin diam seperti ini, berarti pikirannya sedang memutar sesuatu yang lebih dalam.
“Aneh juga ya…” Kevin akhirnya berkata pelan.
“Biasanya saya tahu detail setiap universitas mitra kita. Tapi kali ini saya bahkan tidak sempat lihat daftar pesertanya" ucapnya lagi.
Rey menatapnya sebentar, lalu menunduk. Dalam hati, ia berkata 'baguslah kalau kamu belum tahu, Pak'
Kevin melanjutkan, suaranya kini lebih lembut, hampir seperti gumaman.
“Entah kenapa, saya hanya merasa hari ini, hari kemarin.. suasananya beda. Dari pagi, saya merasa seperti ada sesuatu yang aneh.”
Rey menelan ludah pelan, menjaga ekspresinya tetap tenang.
“Mungkin karena Bapak belum istirahat cukup. Setelah rapat sore nanti, sebaiknya pulang lebih cepat Pak"
Kevin menghela napas pelan. “Ya… mungkin".
“Baiklah, kirimkan daftar peserta magang ke meja saya sore ini. Saya mau lihat profil mereka satu-satu.”
Rey terdiam sesaat. Ia tahu ini akan datang cepat atau lambat
saat Kevin membaca nama “Olivia Wijaya” di daftar itu.
“Baik, Pak. Saya siapkan datanya terlebih dahulu" ucap Rey sopan.
Saat Rey keluar dari ruangan, ia sempat menatap pintu ruang CEO yang tertutup rapat di belakangnya. Ia tahu, ketika pintu itu terbuka lagi, sesuatu pasti akan berubah.
Rey kembali berjalan menuju ruangannya, sebenarnya profil peserta magang sudah siap di meja nya sejak beberapa hari yang lalu, namun bukan karena tidak sempat, ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk di serahkan kepada Kevin.
***
Sore hari nya, ruang kerja Kevin dipenuhi sinar matahari yang memantul di kaca besar. Udara terasa tenang, namun tumpukan berkas yang ada di mejanya masih seperti tadi siang, belum Kevin sentuh sama sekali.
Beberapa menit kemudian, Rey masuk membawa map profil mahasiswa magang yang diminta Kevin tadi siang.
“Sore Pak” ucapnya sopan.
“Ini data peserta magang yang Bapak minta tadi siang"
Kevin mengangguk singkat tanpa menatapnya.
"Baik, simpan saja di meja.”
Rey menaruh map itu perlahan, lalu berdiri di tempat, tak langsung pergi. Ia menatap punggung Kevin sesaat ada sedikit rasa cemas di dadanya.
“Rey?” suara Kevin memecah lamunannya.
“Iya, Pak?”
“Ada apa, masih ada perlu dengan saya?”
“Ah, tidak Pak. Saya hanya... memastikan semua data sudah lengkap"
Kevin membuka map itu tanpa curiga. Lembar pertama berisi daftar nama universitas, lalu daftar mahasiswa. Ia membaca cepat pandangannya bergulir santai, sampai tiba di halaman kedua.
Tiba-tiba tangannya berhenti. Matanya terpaku pada satu nama.
Olivia Wijaya – Universitas Nusabuana – Desain Grafis.
Senyap.
Ruangan itu seolah berhenti bernafas.
Kevin menatap nama itu lama. Ia bahkan tak sadar jarinya sedikit menekan kertas itu kuat-kuat.
“Rey…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Rey menunduk sedikit. “Iya, Pak?”
“Ini… benar?” tanya Kevin.
Rey mengangguk pelan. “Iya, Pak. Itu data resmi dari pihak kampus.”
Kevin terdiam.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit ruangan seperti mencari jawaban di antara udara yang tiba-tiba terasa sempit. Nama itu nama yang sudah berbulan-bulan ia pikirkan, tapi juga terus ia rindukan.
“Olivia…” gumamnya pelan, suara nyaris tak terdengar.
Rey berpura-pura sibuk dengan tabletnya, tapi sesekali melirik ke arah Kevin yang kini menatap kosong ke depan.
“Dia magang di mana?” tanya Kevin akhirnya, masih dengan suara rendah.
“Divisi desain kreatif, Pak. Saya… yang mengatur penempatannya.”
Kevin menatap Rey tajam, tapi bukan dengan amarah, lebih ke rasa ingin tahu bercampur bingung.
“Kamu tahu dia dari awal, ya?”
Rey menarik napas.
“Baru tahu setelah pihak kampus kirim daftar, Pak".
Kevin tertawa kecil tapi itu bukan tawa bahagia. Lebih seperti tawa getir.
"Benar Rey? Ini bukan rencana kamu kan?"
Hiaakk
Hening sejenak. Rey pun terdiam, memang benar ini rencananya.
Lalu Kevin bangkit, berjalan ke arah jendela. Tangannya bersedekap, pandangannya jauh ke luar gedung, ke arah langit yang sudah berubah warna.
“Dia magang kesini tanpa saya tahu sebelumnya"
Rey menunduk, menahan rasa iba.
“Pak…”
Kevin memotong pelan.
“Tidak perlu bilang ke dia kalau saya tahu. Biar aja dulu.."
Rey mengangguk. “Baik, Pak.”
Beberapa detik berlalu dalam diam. Lalu Kevin menatap kembali ke mejanya, ke nama itu yang kini seolah berdenyut di atas kertas. Ia mengulurkan tangan, merapikan map itu dengan hati-hati, seperti takut merusaknya.
“Kali ini… saya harap saya bisa melihat kamu tanpa harus kehilangan lagi".
🌹🌹🌹
Jangan lupa dukung author dengan vote, like dan komennya ya..❤️