Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Bayangan Permusuhan
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas sawah Desa Qinghe. Para petani membawa cangkul, anak-anak kecil berlarian di jalanan desa, dan suara pedagang sayur menggema di udara. Bagi kebanyakan orang, hidup tetap sama—sederhana dan damai.
Namun, bagi Xiao Feng, segalanya berubah.
Di dalam tubuhnya kini bersemayam percikan api hangat: Nyala Api Kehidupan. Ia bisa merasakan setiap tarikan napas membawa energi tipis yang mengalir di nadinya. Luka di bahunya sembuh lebih cepat dari biasanya, dan tubuhnya terasa lebih ringan.
“Hanya percikan kecil, tapi rasanya seakan aku punya dunia baru dalam diriku,” gumamnya sambil mengepalkan tangan.
Wu Zhen berdiri di dekatnya, memperhatikan dengan mata tajam.
“Jangan terlalu senang dulu. Api kecil mudah padam jika kau lengah. Ingat, musuhmu bukan hanya binatang buas atau alam liar, tetapi juga manusia.”
Xiao Feng menoleh. “Manusia?”
Wu Zhen menatap ke arah desa, di mana beberapa anak desa sedang berbisik sambil melirik ke arah mereka.
“Ya. Dan kadang… manusia bisa lebih berbahaya daripada binatang buas.”
Di sisi lain desa, Li Shen duduk di beranda rumah besar milik keluarganya. Wajahnya masih menyimpan dendam.
“Ayah, kau dengar? Bocah miskin itu… Xiao Feng… sekarang belajar kultivasi dengan orang asing tua itu!”
Ayahnya, Li Kang, kepala desa sekaligus orang paling berkuasa di Qinghe, mengangkat alisnya.
“Hmph, hanya bocah miskin. Apa yang bisa ia lakukan? Kultivasi bukan untuk rakyat jelata. Tanpa sumber daya, ia tak akan berkembang.”
Namun Li Shen tak puas. “Tidak, Ayah. Aku melihat sendiri! Dia bertarung dengan seekor serigala hutan kemarin dan menang! Bagaimana mungkin seorang pengemis bisa mengalahkan binatang buas? Jika dibiarkan, suatu hari dia bisa menjadi ancaman bagi kita!”
Li Kang terdiam, wajahnya menggelap. Ia tahu anaknya manja, sering melebih-lebihkan. Tapi jika kabar itu benar, maka keberadaan Xiao Feng memang bisa mengganggu keseimbangan kekuasaan mereka di desa.
“Ayah… izinkan aku memberi pelajaran pada bocah itu,” pinta Li Shen dengan nada penuh kebencian.
Li Kang tersenyum tipis, dingin. “Baiklah. Tapi jangan gegabah. Kita harus tahu dulu seberapa jauh kekuatannya. Malam ini, kirim beberapa orang untuk mengujinya.”
Malam tiba. Bulan sabit menggantung di langit, cahayanya redup. Xiao Feng duduk di depan pondok Wu Zhen, bermeditasi. Nyala Api Kehidupan berputar pelan di dalam tubuhnya, membuat aliran Qi terasa lebih stabil.
Namun, dari balik pepohonan, beberapa bayangan bergerak diam-diam. Empat pria dewasa berpakaian hitam muncul, masing-masing membawa tongkat kayu dan parang pendek.
Salah satunya berbisik, “Itu dia bocahnya. Ingat, jangan bunuh. Tuan Li hanya ingin dia dipukul agar jera.”
Mereka melangkah keluar dari kegelapan.
Xiao Feng membuka matanya, merasakan aura asing. Jantungnya berdegup cepat. “Siapa kalian?”
Pria berpakaian hitam terdepan menyeringai. “Kami hanya ingin memberimu pelajaran kecil. Kau terlalu berani berlagak sebagai kultivator di desa ini. Lebih baik kau berhenti sebelum terlambat.”
Xiao Feng menggertakkan gigi. Ia tahu siapa dalangnya. “Li Shen…” gumamnya lirih.
Tanpa banyak bicara, salah satu pria melompat maju, mengayunkan tongkatnya. Xiao Feng berguling menghindar, lalu menendang kaki penyerangnya. Tendangannya lemah, tapi cukup membuat pria itu terhuyung.
Namun yang lain langsung menyerbu. Parang pendek berkilat di bawah cahaya bulan, mengarah ke pundaknya. Xiao Feng menangkis dengan tangan kosong, tapi luka lama di bahunya terbuka kembali. Darah segar mengalir.
Rasa sakit itu hampir membuatnya jatuh. Tapi di dalam dirinya, percikan kecil itu menyala lebih terang, seperti merespons tekadnya.
“Aku tidak boleh kalah di sini…” pikirnya.
Ia mengalirkan Qi ke tangan, lalu meninju dada lawannya. Meski kecil, pukulan itu membuat lawannya terhuyung mundur dengan wajah kaget.
“Anak ini… benar-benar punya Qi!” salah satu pria berteriak.
Ketika lawan berikutnya datang, Xiao Feng berteriak keras. Qi di tubuhnya mengalir deras, percikan kecil di dantiannya bergetar… lalu seberkas api samar menyala di kepalan tangannya!
Tinju itu menghantam dada musuh. Api kecil memang tidak membakar, tapi panasnya cukup membuat pria itu menjerit kesakitan.
“Apa itu tadi?! Api?!” teriak salah satu yang lain.
Xiao Feng terengah-engah, tubuhnya gemetar karena tenaga hampir habis. Tapi matanya bersinar terang.
“Ini… Nyala Api Kehidupan… Aku berhasil menyalakannya ke dunia nyata!”
Saat salah satu pria bersenjata hendak menghabisinya dengan parang, tiba-tiba angin kencang berhembus. Bayangan Wu Zhen muncul di antara mereka, tongkat kayu musuh itu patah hanya dengan kibasan tangannya.
“Mengganggu muridku di tengah malam? Hmph, nyali kalian besar juga.”
Para pria langsung pucat. Mereka tahu orang tua ini bukan orang biasa. Tanpa bicara, mereka segera kabur ke kegelapan.
Wu Zhen menatap Xiao Feng. Tubuh kecil itu penuh luka, tapi ia masih berdiri dengan mata penuh tekad.
“Guru… aku berhasil… aku benar-benar menyalakan api itu,” katanya terengah.
Wu Zhen mengangguk puas. “Ya. Tapi ingat, ini baru permulaan. Kau harus siap, Xiao Feng.”
Xiao Feng mengepalkan tangannya, menatap ke langit berbintang.