Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 28. Upgrade Diri
Seperti biasa, Arunika sudah bersiap usai Subuh. Ia sudah terbiasa mandi sebelum pukul lima. Menurut kesehatan, hal itu baik untuk melancarkan peredaran darah. Rambutnya masih basah, bunyi mesin hairdryer memekakkan telinga pagi itu. Arunika ingin rambutnya segera kering, ia tidak suka seragamnya basah karena tetesan air dari helai rambutnya.
Usai rambutnya kering, Arunika menyisir rapi dan membiarkannya tergerai. Purnomo sudah duduk di kursinya sambil menikmati teh hangat.
“Sebentar lagi tengah semester. Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya, Nak?” tanya Purnomo tanpa menoleh.
“Sudah, Yah. Dosen juga sudah kasih kisi-kisinya,” jawab Arunika.
Eka yang baru saja keluar dari dapur ikut nimbrung, suaranya setengah protes.
“Wah, enak banget zaman sekarang. Dulu Bunda boro-boro dikasih kisi-kisi. Dosennya galak banget!”
Purnomo terkekeh, melirik istrinya.
“Ya, wajar. Almarhumah Ibu kan emang galak. Bahkan almarhum Ayah aja sering kalah.”
Arunika membelalakkan mata, baru tahu.
“Nenek dulu dosen, Bun?”
“Iya, Nak,” sahut Purnomo singkat.
Percakapan itu terputus saat Purnomo menutup cangkir tehnya.
“Ayo, kita berangkat!” katanya sambil berdiri.
Bekal Arunika sudah siap dalam tas. Eka mengantar keduanya sampai pintu rumah. Setelah berpamitan, mobil keluarga itu melaju pelan keluar halaman.
Sepanjang perjalanan, tak banyak percakapan. Arunika memang mirip ayahnya, sama-sama terbiasa dengan diam. Setibanya di kampus yang masih sepi, Arunika turun setelah mencium punggung tangan Purnomo.
“Nanti Ayah jemput agak terlambat ya, mungkin sekitar setengah jam. Kamu tunggu di ruang pembinaan mahasiswa,” ujar Purnomo mengingatkan.
“Iya, Ayah,” jawab Arunika patuh.
“Ayah akan menghubungimu.”
“Iya, Ayah,” ulangnya lagi.
Purnomo menatap putrinya sebentar sebelum mobil melaju pergi. Ada kepercayaan penuh dalam tatapan itu. Arunika menghela napas panjang.
“Aku akan jaga kepercayaanmu, Yah,” gumamnya dalam hati.
Ia berjalan ke kelas lebih awal. Ruangan masih sepi, ia duduk di barisan paling depan dan membuka buku. Tak lama, Medi masuk sambil tersenyum. Raka bahkan sempat mampir hanya untuk memastikan Arunika sudah datang.
“Ah, kamu sudah di dalam!” katanya lega, sebelum berlari lagi ke kelasnya sendiri.
Jam pelajaran pun dimulai. Dosen pertama masuk, memberi materi padat tanpa jeda. Satu jam kemudian, dosen berikutnya hadir—seorang profesor wanita dengan suara tegas.
“Pagi, anak-anak!”
“Selamat pagi, Prof!” jawab mahasiswa serentak.
Profesor itu meletakkan map di mejanya lalu tersenyum kecil.
“Sebentar lagi memang tengah semester. Kelulusan masih jauh, tapi ada kabar penting untuk kalian. Saat ini, ada sebuah perusahaan besar yang mengadakan event kompetisi proposal tender, dan diumumkan ke seluruh universitas di Jakarta.”
Ia membagikan selebaran. Suasana kelas langsung riuh. Medi dan Arunika membaca selebaran itu dengan seksama. Hadiahnya fantastis. Nama perusahaan yang menjadi sponsor itu pun membuat Arunika tercekat—ia mengenalnya. Itu perusahaan tempat ayahnya bekerja.
“Wah, bisa jadi peluang kita nih!” seru beberapa mahasiswa.
“Tumben nggak pakai ordal,” sindir salah seorang dengan nada sinis.
“Ini perusahaan swasta, Bro. Kalau pemerintah mungkin lah…” sahut yang lain.
“Nggak juga ah, swasta juga punya ahli waris kali,” timpal lainnya lagi.
“Cukup!” tegas sang profesor, menenangkan.
“Kali ini, kompetisi itu sekaligus jadi tugas kalian. Buatlah proposal dengan skala perusahaan. Ajak teman-temanmu yang berkompeten untuk bergabung. Kalian bisa cari detail link-nya di internet,” jelasnya.
Kertas selebaran di tangan Arunika bergetar halus. Dadanya sesak.
Kompetisi itu bukan sekadar tugas. Itu adalah jalan yang secara tidak langsung menautkan dirinya dengan dunia ayahnya..
“Med, mau gabung sama aku nggak?” tawar Priscilla sambil mendekati.
Medi melirik sekilas, lalu menjawab mantap, “Aku gabung sama Arunika!”
“Hah? Sama dia?” Priscilla menatap tak percaya. “Yakin?”
“Iya!” angguk Medi, kali ini lebih tegas. Tatapannya sekilas menoleh ke Arunika yang masih tenggelam dalam pikirannya.
Priscilla mendengus kesal. “Oke, jangan nyesel ya!” katanya sinis sebelum berbalik pergi, meninggalkan Medi yang tetap berdiri di sisi Arunika.
Bel tanda selesai kuliah berbunyi. Dosen keluar, membiarkan para mahasiswa berembuk menentukan kelompok masing-masing. Suasana kelas riuh, beberapa mahasiswa langsung berebut mencari rekan yang dianggap “kuat” di bidang bisnis.
Tiba-tiba, seorang mahasiswa lain masuk dengan terengah-engah. Nafasnya memburu, matanya membelalak.
“Woi! Katanya bukan kelas ini aja yang dapet selebaran itu!” serunya lantang.
“Hah? Maksudnya?”
“Seluruh anak Ekonomi, anak Perkembangan Usaha, bahkan senior-senior juga dapat!” jelasnya, membuat kelas sontak gaduh.
“Wah… saingan kita banyak dong!” keluh salah satu mahasiswa dengan wajah lemas.
“Iya,” timpal mahasiswa lain, “yang dipilih itu proposal dengan tender terbaik, punya peluang nyata, plus koneksi yang bagus!”
“Mana kita punya semua itu!” seru yang lain kesal, nada suaranya bercampur putus asa.
“Mereka juga nggak punya, kan? Mereka juga belum kerja ...," Keheningan tiba-tiba menyelimuti saat suara pelan Arunika terdengar.
Semua kepala sontak menoleh. Seisi kelas terdiam, menatap Arunika yang tak biasanya bicara di forum terbuka. Ada aura percaya diri yang berbeda kali ini.
Keheningan yang tercipta membuat Arunika sedikit canggung. Jari-jarinya meremas kertas selebaran itu erat-erat, tapi ia tetap melanjutkan.
“Bedanya cuma … siapa yang mau usaha lebih keras. Siapa yang bisa baca peluang, itu yang menang!"
Arunika terkejut mendengar suaranya yang kuat dan tegas. Medi berseri, ia memeluk Arunika.
"Puji Tuhan! Kau bisa juga!' serunya.
"Wah .. Arunika!" beberapa mahasiswa bertepuk tangan. Hanya Arunika yang malu dengan pujian itu.
Beberapa mahasiswa lain hanya saling pandang, ada yang meremehkan, ada juga yang mulai berpikir ulang. Namun ucapan Arunika tadi seperti menyisakan gema tersendiri di kelas.
“Kamu sadar nggak, Nik? Barusan kamu ngomong di depan semua orang, dan mereka dengerin!' ujar Medi lagi.
Arunika tersipu, menunduk. “Aku cuma… nggak mau mereka langsung nyerah sebelum mulai.”
“Itu namanya leadership,” kata Medi mantap.
'Jangan mundur Nik!" lanjutnya. .
Mereka keluar kelas, seperti janjinya pada sang ayah. Arunika menunggu kedatangan Purnomo di ruang pembinaan mahasiswa. Tadinya Medi mengajak ke rumahnya. Tapi, langsung ditolak Arunika.
'Ayah suruh aku nunggu di sini. Jadi aku di sini!" ujarnya.
'Kamu kan bisa bilang via ponsel!' bujuk Medi.
"Maaf Med. Ini adalah tugas kecil yang Ayah berikan. Apa aku bisa dipercaya atau tidak!" jawab Arunika dan Medi meninggalkan dirinya.
Tak lama Purnomo datang setelah memberitahu kedatangannya via ponsel. Arunika juga mengatakan jika dirinya sudah menunggu di ruang pembinaan.
Arunika keluar ruangan bersamaan dengan kedatangan Purnomo. Raka sebenarnya dari tadi ingin masuk ruangan itu. Tapi, langkahnya langsung dicegah oleh Medi sebelum gadis itu pulang.
'Dia sedang diberi mandat oleh ayahnya. Jangan rusak kepercayaan Ayah Arunika dengan kehadiranmu di sana. Walau hanya menemani Arunika!" tandasnya tegas.
Raka menatap kendaraan itu sampai menghilang dari pandangannya. Ia menghela nafas panjang.
'Aku menunggumu Run ...," ujarnya pelan.
Bersambung
Ah ...
Next?
sudahlah Aru,bukan menyuruh melupakan Raka,tapi stop berharap pada apa yg sudah tidak bisa d harapkan,apa kamu siap andai dia bilang sudah menikah,sudah punya kehidupan lain,atau paling banter dia sudah d jodohkan,ntah apapun itu,
siapkah kamu Aru???!!!
yuhuuu
kamu d manaaaaa
Aru rindu niiiih
kamu jahara ikh
😄😄✌️
Arunika n Media hebat!!!
selamat y buat xan berdua n tetap semangat