Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 Fokus belajar
Akhir pekan akhirnya tiba. Untuk pertama kalinya sejak masuk kuliah, Alira bisa bernapas sedikit lega—tidak harus berangkat pagi-pagi dengan seragam casual kampus, tidak harus berhadapan dengan tatapan Clarisa, dan tidak perlu mendengar gosip mahasiswa lain tentang dirinya.
Namun, itu bukan berarti ia bisa bermalas-malasan.
Pagi itu, Alira sudah duduk di ruang kerja rumah besar Adrian, dengan setumpuk buku bisnis dasar, catatan kuliah, serta laptop yang menyala menampilkan jurnal online. Kacamata bulat yang baru ia beli semalam bertengger di hidungnya.
“Hmm… jadi kebutuhan primer, sekunder, tersier…,” gumamnya sambil mencoret-coret kertas. Tiba-tiba tangannya berhenti, lalu ia menambahkan gambar kartun stickman dengan tulisan kecil: *Aku butuh cinta Mas dingin, masuk kategori primer atau tersier ya?*
Alira menatap coretan itu beberapa detik, lalu ngakak kecil sendirian.
Dari ambang pintu, Adrian yang baru turun setelah jogging pagi, hanya bisa mengangkat alis. “Kamu ketawa sendiri, Alira?”
Alira sontak menutup bukunya dan menoleh. “Eh, Mas! Ini aku lagi belajar serius banget, sumpah.”
Adrian melangkah masuk, masih dengan kaos olahraga yang basah keringat. Sorot matanya menelusuri meja penuh kertas, lalu jatuh pada doodle kecil yang hampir tertutup tangan Alira.
“Serius belajar, tapi gambar orang-orangan kayak gitu?” tanyanya dingin.
Wajah Alira langsung merona. “Aduh, ketahuan! Itu cuma selingan biar otakku nggak tegang. Masa belajar mulu kayak robot.”
Adrian menghela napas, namun di sudut bibirnya ada tarikan samar yang sulit ditangkap. “Kalau otakmu gampang tegang, bagaimana mau bertahan di dunia bisnis?”
Alira mengedip nakal. “Makanya aku punya guru privat dingin yang bisa menegangkan sekaligus menenangkan.”
Adrian menghentikan langkahnya, menatapnya beberapa detik tanpa ekspresi jelas. “Alira…”
“Ya?” Alira menegakkan badan, pura-pura serius.
“Fokus belajar.”
“Siap, komandan!”
Sepanjang siang, Adrian sesekali melintas di ruang kerja itu. Setiap kali ia lewat, Alira selalu tampak serius mencatat, tapi tak jarang ia juga menggumamkan kata-kata aneh.
“Kalau produkku makanan, target pasarnya anak kos. Kalau produknya cinta, target pasarnya… ya Mas dingin ini.”
Adrian yang kebetulan lewat hanya berhenti sejenak, menatapnya datar, lalu lanjut berjalan.
Atau, saat ia mencoba memahami istilah ekonomi dasar, ia tiba-tiba berseru, “Mas! Elastisitas permintaan itu bukan tentang karet gelang, kan?”
Adrian yang sedang membaca koran di ruang tamu menutup lembaran perlahan. “Tentu saja bukan.”
Alira nyengir malu. “Ya kali aku kira kalau permintaan elastis itu bisa ditarik kayak karet. Untung aku nggak jawab gitu di kelas.”
Adrian menutup korannya, menatapnya lama, lalu berkata datar, “Kamu memang unik.”
Alira menepuk dadanya. “Untung unik, Mas. Kalau standar, Mas nggak bakal lihat aku.”
Adrian menoleh, seolah ingin menyangkal, tapi urung. Ia hanya berdiri lalu kembali ke ruang kerjanya.
Menjelang sore, Alira akhirnya berhenti belajar. Ia rebahan di sofa ruang keluarga sambil menonton drama Korea. Buku-buku berantakan di meja kecil depan sofa.
Adrian keluar dari ruang kerjanya, mengenakan kemeja santai. “Bukannya tadi kamu bilang mau serius belajar?”
Alira menoleh cepat, mulutnya masih penuh popcorn. “Iya! Tapi otak juga butuh hiburan, Mas. Ini bagian dari strategi belajar namanya "brain refreshment"
Adrian menatap layar TV sekilas, lalu duduk di kursi sebelahnya. “Drama Korea termasuk strategi belajar?”
“Tentu saja!” Alira mengangguk mantap. “Dari sini aku belajar negosiasi, konflik bisnis keluarga chaebol, dan… strategi rebutan cinta segitiga.”
Adrian menutup mata sebentar, jelas sedang menahan diri untuk tidak berkomentar lebih jauh.
Alira meliriknya sekilas, lalu tertawa kecil. “Mas, jangan pura-pura nggak suka. Aku yakin kalau aku paksa nonton bareng, Mas juga bakal ketagihan.”
Adrian membuka mata, menatapnya datar. “Jangan mimpi.”
“Baiklah, kita lihat saja nanti,” jawab Alira sambil kembali ke dramanya.
Saat malam tiba, Alira kembali ke ruang kerja dengan niat menutup catatan hari itu. Adrian sudah duduk di sana, sibuk memeriksa beberapa dokumen perusahaan.
Alira meliriknya sebentar, lalu memberanikan diri bertanya, “Mas, boleh nggak aku tanya sesuatu?”
Adrian mengangguk tanpa menoleh. “Tanya saja.”
“Menurut Mas… aku beneran bisa nggak sih masuk dunia bisnis? Maksudku, aku tahu aku masih kayak anak-anak, masih sering ngomong aneh. Tapi aku serius belajar, Mas. Aku nggak mau kalah sama Clarisa, apalagi dianggap cuma numpang nama.”
Adrian akhirnya menutup dokumennya dan menatap Alira. Sorot matanya tajam, tapi ada sedikit kelembutan yang jarang ia tunjukkan.
“Kalau kamu hanya ingin membuktikan sesuatu pada Clarisa, kamu akan kalah. Tapi kalau tujuanmu adalah membuktikan pada dirimu sendiri, kamu bisa menang.”
Alira terdiam, hatinya bergetar. “Jadi Mas percaya aku bisa?”
Adrian tidak langsung menjawab. Ia berdiri, berjalan ke arah jendela, lalu berkata pelan, “Aku percaya kalau kamu serius, kamu akan lebih kuat dari yang kamu kira.”
Alira menatap punggungnya, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, Adrian mengucapkan sesuatu yang bukan sekadar dingin, tapi memberi pengakuan tersirat.
“Mas…” suara Alira bergetar, namun ia segera menutupinya dengan tawa kecil. “Kalau gitu, aku janji bakal belajar mati-matian. Siapa tahu nanti aku bisa buka perusahaan saingan sama perusahaan Mas. Biar kita duel di meja rapat.”
Adrian menoleh sekilas, menatap wajah istrinya yang penuh semangat konyol. “Jangan terlalu muluk. Fokus dulu kuliahmu.”
“Tapi kan mimpi harus tinggi, Mas. Kalau jatuh, minimal nyangkut di dahan.”
Adrian menghela napas panjang, lalu kembali ke mejanya. Namun di wajahnya, samar-samar muncul senyum yang tidak ia sadari.
Malam itu, rumah besar yang biasanya sunyi oleh kesibukan Adrian terasa berbeda. Ada tawa, ada celetukan aneh, dan ada semangat baru dari Alira yang membuat suasana lebih hangat.
Meski Adrian tetap menjaga sikap dinginnya, ia tidak bisa menutup mata bahwa gadis polos namun keras kepala itu perlahan-lahan mulai mengguncang dinding tebal yang ia bangun selama ini.
Dan Alira sendiri, sambil menatap buku catatan penuh coretan lucu, berbisik pada dirinya:
"Clarisa boleh saja meremehkan. Tapi di sini, di rumah ini, aku akan tumbuh. Aku akan belajar, sampai suatu hari aku bisa berdiri sejajar dengan Mas Adrian, bukan hanya sebagai istri, tapi juga partner sejati."
Janga lupa like readers 🌹
coba klo dia klarifikasi dan membantah semua berita itu emangnya Adrian gak berfikir klo alira bakal liat berita yng di buat ulet bulu.
emang Adrian gak mikir klo alira bisa aja liat beritanya
dan emak lampir jangan-jangan klo si ulet bulu itu anak rahasia nya
greget aku sama Adrian bisanya cuma marah-marah sama ulet bulu tapi gak ada tindakan
gadis seceria seperti alira juga pasti akan tertekan di tambah masalah perjodohan emaknya terlalu ikut campur
salah sendiri kurang tegas sama ibunya sendiri dan mantan