NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:964
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28. Sosok berjas

Malam itu, rumah terasa tenang. Aku, Wita, Kak Joan, dan Gilang duduk di ruang keluarga setelah makan malam, masing-masing sibuk dengan laptop dan ponsel. Untuk pertama kalinya, suasananya terasa normal… atau setidaknya aku mencoba meyakinkan diriku begitu.

Sampai tiba-tiba, angin di luar berhembus lebih kencang.

Lampu teras berkedip dua kali sebelum normal lagi. Aku mengangkat kepala, merasa ada yang aneh. Lalu, samar-samar, terdengar suara langkah sepatu di luar pagar. Perlahan, berirama.

Aku berdiri, melangkah ke jendela ruang tamu. Tirai ku geser sedikit, dan di bawah cahaya lampu teras, aku melihatnya.

Pria berjas gelap itu—orang yang tadi siang mendatangiku di kantor—berdiri tepat di depan gerbang.

Matanya menatap lurus ke arah rumah, senyumnya tipis seperti sebelumnya. Dia tidak berusaha masuk… karena aku tahu, pagar gaib mencegahnya. Tapi entah bagaimana, aku bisa merasakan auranya menekan, meski jarak kami cukup jauh.

Kak Joan berdiri cepat di belakangku, mengikuti arah pandangku. Begitu melihat pria itu, rahangnya langsung mengeras, tatapannya tajam.

“Siapa dia?” suaranya rendah, penuh waspada.

Aku menelan ludah. “Orang yang tadi siang datang ke kantor… dia bilang bisa ‘membantu’ aku. Tapi rasanya… nggak beres.”

Gilang ikut mendekat, wajahnya serius. “Dia manusia?”

Aku mengangguk pelan. “Kayaknya iya… tapi auranya… beda.”

Kak Joan berdiri di depanku, tubuhnya sedikit membungkuk seolah jadi tameng. Matanya tak lepas dari pria itu. “Dia nggak bisa masuk, kan?”

Aku menggeleng. “Nggak… pagar gaibnya masih kuat. Tapi entah sampai kapan.”

Wita, yang sedari tadi ikut memperhatikan dari belakang, menggenggam lenganku erat. “Nad… gue nggak suka tatapannya. Dia kayak… tahu sesuatu yang kita nggak tahu.”

Pria itu hanya berdiri di sana, tidak bergerak, hanya sesekali melirik ke arah pagar. Lalu tatapannya kembali pada rumah… pada aku.

Dan meskipun kami berada di balik dinding dan tirai, aku bisa mendengar suaranya di kepalaku. “Pagar tak akan selamanya melindungimu… Putri Darah.”

Aku terlonjak kecil, memegang kepalaku. Joan langsung menoleh. “Nad? Dia ngomong sesuatu?”

Aku mengangguk pelan. “Dia… bicara di kepalaku.”

Wajah Joan makin tegang. Ia berdiri lebih tegak, menatap pria itu dengan sorot mata tajam, hampir seperti ancaman. Gilang juga berdiri di sisiku, jelas siap jika situasi memburuk.

Pria itu akhirnya melangkah mundur. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia mengangkat dua jarinya ke pelipisnya, seperti memberi salam sinis, lalu menghilang di balik kegelapan jalan.

Rumah kembali sunyi, tapi ketegangannya tetap menggantung.

Kak Joan menarik napas panjang, lalu memelukku erat. “Mulai sekarang, kamu nggak boleh sendirian. Dimana pun. Aku nggak peduli.”

Aku menatap matanya, yang biasanya tenang tapi kini dipenuhi amarah dan proteksi. “Kamu… marah?”

Dia mengangguk kecil. “Bukan cuma marah… aku nggak suka ada yang mengincar kamu, apalagi yang bisa berdiri seenaknya di depan rumah kita.”

Wita menatap kami berdua. “Kalau orang itu bisa bicara di kepala Nadia… apa dia juga bisa tembus pagar itu nanti?”

Aku menatap ke arah pintu depan, perasaan tak nyaman kembali mengalir. “Aku… nggak tahu. Tapi aku rasa, ini baru permulaan.”

Saat semua sudah tidur, aku kembali terjaga. Seperti ada yang menarikku untuk keluar dari kamar.

Saat aku membuka pintu, Ningsih sudah berdiri di lorong. Rambut panjangnya bergerak pelan meski tidak ada angin. Di sebelahnya, pemuda berblangkon penjaga muncul, matanya biru terang menatapku serius.

“Ayo ikut,” suara Ningsih bergema di kepalaku. “Kami harus jelaskan siapa pria itu… sebelum dia dapat apa yang dia mau.”

Aku mengikutinya keluar rumah. Di halaman belakang, cahaya bulan terasa lebih terang dari biasanya. Pemuda berblangkon itu berdiri di depanku, kedua tangannya bersedekap.

“Aku akan bicara langsung,” suaranya dalam dan beraksen Jawa halus. “Pria yang mendatangimu itu… bukan sekadar manusia. Dia adalah keturunan Sentana Hitam.”

Aku mengerutkan kening. “Sentana… apa?”

Pemuda itu menatapku lekat. “Sebuah garis keturunan kuno. Mereka adalah manusia yang bersekutu dengan makhluk gaib sejak ratusan tahun lalu. Keluarga mereka mengikat perjanjian: sebagai imbalan kekuatan dan umur panjang, mereka… menyediakan jiwa-jiwa sebagai persembahan.”

Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering. “Dan dia… mendekati aku karena…?”

Ningsih melangkah maju, suaranya lembut tapi menusuk. “Karena darahmu, Putri Darah. Darah keraton yang kau warisi dari ayahmu… itu ‘wangi’ bagi dunia kami. Dan bagi keturunan Sentana Hitam, darahmu jauh lebih berharga. Jika mereka bisa mengikatmu, atau mempersembahkanmu… mereka akan mendapatkan kekuatan yang bahkan bisa menandingi para dukun hitam.”

Aku mundur setapak, jantungku berdegup kencang. “Jadi… dia mau… menjadikan aku…?”

Pemuda berblangkon itu mengangguk pelan. “Entah sebagai persembahan… atau sebagai pundi energi mereka. Dua-duanya sama buruknya. Karena itu dia berusaha mendekat, bukan memaksa… untuk membuatmu percaya dulu.”

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku, berusaha mengatur napas. “Berarti… selama aku punya darah ini… aku bakal terus jadi target?”

Ningsih mendekat, tangannya yang pucat menyentuh pundakku ringan. “Ya. Sampai kau belajar menguasainya. Darah itu bukan kutukan… tapi juga bukan anugerah kalau kau tidak tahu cara menggunakannya.”

Pemuda berblangkon itu menambahkan, matanya tajam. “Dan mulai sekarang… pria itu tidak akan menyerah. Karena kau bukan hanya Putri Darah… tapi juga gerbang. Lewatmu, mereka bisa memanggil sesuatu yang lebih besar.”

Aku tertegun. “Gerbang…? Maksudnya apa?”

Dia tidak menjawab langsung. Hanya menatap bulan lama, lalu berkata pelan, “Nanti… kau akan tahu. Tapi bersiaplah. Dia akan kembali. Dan kali berikutnya… dia tidak akan sendirian.”

\=\=\=\=\=\=

Pagi itu, rumah terasa terlalu sunyi. TV menyala menayangkan acara pagi, tapi tak ada yang benar-benar memperhatikan. Aku, Kak Joan, Gilang, dan Wita duduk di ruang keluarga. Di luar, angin bertiup pelan, membuat suara dedaunan terdengar jelas.

Aku sudah lama menahan rahasia ini, tapi sejak pria misterius itu berdiri di depan pagar semalam… aku nggak bisa lagi diam.

Aku mematikan TV. Bunyi “klik”-nya terdengar terlalu keras di ruangan yang hening. Semua langsung menoleh padaku.

“Aku… ada sesuatu yang harus kalian tahu,” kataku pelan.

Sebelum aku bicara lebih jauh, lampu gantung di ruang tamu bergetar pelan. Tidak ada angin, tapi rantainya berayun perlahan. Kami semua sempat menoleh, tapi tak ada yang bicara.

Aku menarik napas panjang. “Papah… sebenarnya keturunan keraton Jawa. Garis darahnya… bukan sembarangan. Aku nggak pernah peduli sebelumnya, tapi ternyata… darah itu yang bikin semua makhluk… dan orang seperti pria semalam… ngincer aku.”

Suara TV yang mati terasa digantikan suara ketukan samar di jendela. Wita langsung meraih tanganku erat, matanya membesar.

“Lo bercanda, kan? Jadi… semua ini karena darah lo?”

Aku mengangguk. “Darahku… katanya ‘wangi’. Buat makhluk gaib, itu energi. Buat manusia kayak pria itu… darahku bisa jadi kunci buat dapat kekuatan besar. Kalau mereka berhasil… entah dijadiin persembahan, atau… sesuatu yang lebih buruk.”

Suasana makin hening. Gilang menatapku tajam. “Berarti… mereka nggak bakal berhenti ngejar lo?”

Aku menunduk. “Sampai aku belajar ngendaliin darahku. Kalau nggak… mereka akan terus datang. Setiap hari. Mungkin… sampai ke tempat kerja, atau bahkan saat kita lagi tidur.”

Saat aku bicara, suara ketukan di jendela terdengar lagi. Lebih keras. Semua menoleh bersamaan. Tapi saat kami lihat… tak ada siapa pun di luar.

Kak Joan langsung meraih tanganku. Suaranya pelan tapi tegas. “Mulai sekarang… kamu nggak boleh sendirian. Di mana pun. Dan kalau mereka mau datang setiap hari… biar aku yang berdiri paling depan.”

Malam itu, udara di rumah terasa berat… seperti dinding-dindingnya menyimpan sesuatu yang tidak terlihat.

Angin tidak berhembus, tapi tirai jendela bergerak pelan sendiri. Lilin-lilin yang kupasang bersama Ningsih sore tadi berkelip, seolah ditiup dari dalam.

Ketukan itu datang lagi. Tiga kali. Pelan tapi menekan. Tok… Tok… Tok…

Aku berdiri di tangga, melihat ke bawah. Kak Joan membuka pintu sedikit, sementara Gilang berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras. Wita menggenggam tanganku erat.

Di ambang pintu, dia berdiri. Pria berjas hitam itu. Senyumnya tipis, matanya gelap, tatapannya menembus ke arahku di atas tangga.

“Aku cuma ingin bicara, Putri Darah,” suaranya halus, seperti tamu sopan. Tapi hawa di sekitarnya dingin… dan bayangan di belakangnya bergerak sendiri, seperti kabut yang hidup.

Kak Joan menahan pintu, suaranya rendah. “Dia nggak akan ikut kamu. Pergi sekarang juga.”

Pria itu menghela napas ringan, lalu menatapku lagi. “Kau tahu, pagar gaib ini tidak akan bertahan selamanya. Darahmu… akan memanggilku. Cepat atau lambat.”

Lilin-lilin padam bersamaan. Rumah tenggelam dalam kegelapan. Hanya cahaya dari luar yang menyinari sedikit sosoknya. Dari balik kabut, aku mendengar suara berat yang familiar… suara auman.

Seketika, bulu kudukku merinding. Harimau putih itu muncul. Sosoknya besar, bulu berkilau samar dalam gelap, mata tajamnya menatap langsung pada pria berjas itu.

“Akhirnya… kau datang juga, Penjaga,” pria itu tersenyum tipis. “Tapi tak ada yang bisa melindungi darah ini selamanya.”

Auman menggema keras. Suara itu terdengar jelas oleh semua orang—Joan, Gilang, dan Wita menutup telinga, kaget.

“Apa-apaan itu?!” teriak Gilang.

“Lo semua nggak lihat?!” seruku, mataku terpaku pada sosok harimau dan dukun berjas yang saling menatap.

Joan menoleh ke arahku, wajahnya tegang. “Nad… ada apa? Siapa yang bersuara barusan?!”

Sebelum aku bisa jawab, harimau itu menerjang. Gerakannya cepat, seperti kilatan putih. Suara cakar menyayat udara terdengar jelas, meski tak ada yang bisa melihatnya selain aku dan dukun itu.

Pria berjas terhuyung ke belakang, tubuhnya terhempas ke tanah di luar rumah. Darah gelap menetes dari lengannya. Dia meringis… tapi senyum itu tetap ada.

Rasanya… deja vu.

Aku teringat jelas kejadian di restoran dulu—dukun pemilik penglaris hampir melukaiku, dan kejadian itu juga dipenuhi darah serta hawa gelap yang sama.

Pria berjas itu menatapku dari tanah, suaranya rendah tapi menusuk.

“Jadi ini caramu melindungi diri, Putri Darah? Mengandalkan makhluk yang bahkan teman-temanmu tak bisa lihat?”

Harimau itu mengaum lagi, suara menggema membuat dinding rumah bergetar. “Mundurlah, keturunan Sentana Hitam. Kau tak diinginkan di sini.”

Joan menggenggam lenganku, suaranya tegang. “Nad… apa yang terjadi? Siapa yang ngomong barusan?!”

Aku hanya bisa berbisik, mataku tak lepas dari kedua sosok itu. “Penjagaku… dia di sini. Kalian cuma bisa dengar suaranya.”

Pria berjas itu berdiri perlahan, darahnya menetes ke tanah. Kabut hitam di sekitarnya mulai surut, seperti tertarik ke bumi.

Dia menatapku sekali lagi, senyum itu tidak hilang meski wajahnya pucat.

“Kau bisa sembunyikan darahmu… tapi aromanya tidak akan hilang. Kau akan mencariku sendiri… pada waktunya.”

Dia berbalik, langkahnya perlahan menjauh. Kabut ikut menghilang bersamanya.

Rumah kembali hening. Lilin-lilin menyala kembali dengan sendirinya.

Tapi hawa dingin itu tetap menggantung, membuat aku sadar—ini belum berakhir.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!