Pada abad ke-19, para ilmuwan yang tergabung dalam ekspedisi arkeologi internasional menemukan sebuah prasasti kuno yang terkubur di reruntuhan kota tak bernama, jauh di tengah gurun yang telah lama dilupakan waktu. Prasasti itu, meski telah terkikis oleh angin dan waktu, masih menyimpan gambar yang mencengangkan, yaitu sebuah batu segi enam besar, diukir dengan tujuh warna pelangi. Setiap sisi batu itu dihiasi lukisan rumit yang menggambarkan kisah kelam peradaban manusia, seolah menjadi cermin dari sisi tergelap hati nurani.
Nila Simbol kerakusan, Ungu simbol nafsu, Kuning simbol ketamakan, Hijau simbol kemalasan, Biru simbol Iri hati, Orange simbol keangkuhan, Dan terakhir merah simbol amarah
Tadi setiap lambang yang mengartikan masalah ini ada sebuah kekuatan, yang Sangat besar dalam setiap kristal membuat banyak orang saling berebut dan dizaman modern kristal itu dikabarkan sudah terpisah menjadi 7
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahmi Juliansyah N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 Ramalan Dibalik Panggung
Beberapa hari setelah Elric datang sebagai siswa pindahan, ia sekarang terkenal dengan ketampanan dan kepintarannya, walau teman sebangkunya tahu dia sifatnya dongo. Itu cuma agar Alice tertarik padanya, walau usahanya Alice tidak peduli dan hanya berbincang dengan Andrew. Lalu Elric dengan kesalnya hanya bisa duduk, karena ia sendiri merasa masuk jebakan bukannya ia yang dapat menjebak. Awalnya ia kira sekolah ini hanya sekolah gede biasa di negara Indanavia, tapi sekolah ini banyak sekali pengaman di mana-mana. Kalau melakukan hal yang mencurigakan itu sangat berbahaya.
"Hah… merepotkan…!!"
"Yoo… Elric, gimana nasibmu setelah mencoba?!" kata Zenia, teman sebangkunya yang suka panas-panasin dia.
"Pagi-pagi kau sudah mengejekku ya, Zenia?!!"
"Ga kok… cuma nanya, kok ngamuk," kata Zenia sambil tertawa.
Setelah ia tertawa, Zenia pun duduk sambil mengeluarkan bola kaca tembus yang membuat Elric bingung sejak kapan ia punya gituan. Elric bertanya ke Zenia apa itu dan Zenia menjawab, "Ya… bola ramalan!" kata Zenia sambil mengelap bola itu. Elric kaget, ia nggak tahu kalau Zenia suka ramal-ramalan padahal sifatnya sangat gaduh. Zenia yang mendengar itu sedikit kesal dan menjawab kalau aku tuh peramal, kalau nggak percaya tanya ke lain.
Lalu datang seorang yang merupakan ketua kelas. Di kelas itu ia bernama Rio dan ia berkata kalau Zenia itu benar-benar peramal loh, walau masih pemula, omongnya ke Elric.
"Ohh… nenek peramal toh dirimu!!" kata Elric sambil tersenyum.
Zenia yang mendengar itu sangat kesal dan berkata kalau ia bukan nenek-nenek. Rio yang melihat itu coba menghentikan pertengkaran mereka, tapi bingung. Lalu terlintas kata kalau bagaimana jika Elric mencoba diramal oleh Zenia, siapa tahu membantu dan Zenia dapat menunjukkan keahliannya.
"Eh… emang nih orang ramalannya tepat atau hampir tepat, bukan peramal KW kan," kata Elric dengan tatapan curiga. Tapi ada satu orang yang berkata kalau ia berhasil dapat kunci atau barangnya yang hilang.
Zenia mengelus bola kaca beningnya dengan gerakan lambat, matanya memicing fokus. Cahaya pagi dari jendela memantul di permukaan bola itu, menimbulkan pantulan samar seperti kabut. Suasana kelas yang tadinya riuh pelan-pelan mereda karena beberapa murid penasaran ikut mengintip.
“Baiklah, Elric… mari kita lihat,” ucap Zenia dengan nada dibuat-buat misterius.
Elric hanya bersandar di kursi, kedua tangan disilangkan, pura-pura santai walau matanya diam-diam melirik bola itu.
Dalam bola kaca, Zenia mulai melihat bayangan samar. Semakin ia fokus, bayangan itu menjadi lebih jelas—sebuah tempat bercahaya terang dan panas tapi sekitar ada badai salju, cahaya matahari tertutup awan, dan… Elric. Ia melihat Elric berdiri sangat dekat dengan seorang gadis berambut panjang pirang kecokelatan, wajahnya jelas Alice.
Dan di bayangan itu, Elric memegang tangan Alice erat-erat yang hampir jatuh, tatapan matanya penuh… sesuatu. Tapi saat Zenia berusaha menelusuri lebih jauh, bayangan itu bergoyang—tiba-tiba muncul kilatan cahaya seperti benturan emosi kuat, membuat Zenia terlonjak sedikit.
Murid-murid di sekitar langsung berbisik-bisik. “Wih, ada apa tuh?!” “Mukanya Zenia kayak liat hantu.”
Zenia menarik napas cepat, lalu menatap Elric dengan serius. “Aku… aku melihat sesuatu. Kau… akan memegang tangan Alice, dan—”
Belum sempat Zenia menyelesaikan kalimatnya, Elric sudah berdiri, senyum tipisnya muncul. “Heh… itu saja sudah cukup.”
“Eh, tapi aku belum—”
Namun Elric sudah berbalik, melangkah cepat keluar kelas. Tatapannya berubah dari malas menjadi penuh tekad licik. “Kalau ramalan itu benar, berarti waktuku akan datang. Dan aku akan memastikannya terjadi lebih cepat.”
Ia berjalan cepat menyusuri koridor, melewati beberapa siswa yang menoleh penasaran. Langkahnya tak berhenti sampai ia tiba di depan pintu ruang aula panggung sekolah. Dari dalam terdengar suara latihan ekskul drama—suara tertawa, kursi bergeser, dan arahan sutradara.
Elric berdiri di depan pintu itu, menatap papan bertuliskan Sedang digunakan oleh Ekskul Drama. Sebuah senyum licin terbentuk di wajahnya. “Ternyata… di sinilah kau, Alice.”
Tangannya perlahan menyentuh gagang pintu, siap masuk.
"Kau sedang apa, bang… mau nonton ekskul drama?" tanya Hercu dengan suara berat, tapi nada santainya seperti biasa.
Elric yang kaget sedikit menoleh. “Eh… iya, cuma… liat-liat.”
“Daripada liat dari luar kaya gitu, ayo mending masuk. Kebetulan lagi latihan,” ajak Hercu sambil menepuk pundaknya pelan. Tanpa sempat menolak, Elric sudah digiring masuk aula.
Begitu pintu dibuka, terdengar suara ramai latihan ekskul drama. Di depan, panggung kecil sudah dipenuhi properti dan beberapa siswa berlatih sambil tertawa. Alice berdiri di tengah, memberikan arahan dengan ekspresi serius—jelas dia sutradaranya.
"Lalu ketua ekskul Alice dari 10 keputusan, ia sedang melatih para siswa!!" kata Hercu.
Tapi pandangan Elric langsung berubah saat melihat Andrew muncul dari arah gudang properti sambil membawa beberapa barang, lalu menghampiri Alice. Mereka berbicara akrab, dan itu membuat Elric refleks mengepalkan tangan di saku celananya.
"Kalau itu siapa… di sini?!"
"Oh… bang Andrew. Ia sering kunjungan aja ke sini, bantu kekasihnya Alice di sini. Plus, emang ekskul drama tuh sering minta bantuan sama ekskul musikal, yang di mana Andrew lah ketuanya."
"Hemm… gitu!! Ada lagi?" kata Elric dengan muka cemberut.
Hercu lanjut mencoba menjelaskan detail tentang ekskul itu. “Hem… Nah, biasanya mereka latihan seminggu tiga kali. Kadang kalau mau tampil, latihannya sampai sore…”
"Abang tertarik nggak…?"
Elric cuma menjawab asal, “Iya… iya…”
Padahal pikirannya tak lepas dari Alice dan Andrew.
“Mau gabung? Soalnya ekskul drama ini lumayan rame, banyak event. Dan abang murid pindahan itu kan?” tanya Hercu lagi.
"Hemm… iya. Aku pasti sudah terkenal?!"
"E… gimana bang, mau gabung?!" kata Hercu dengan tatapan harapan.
Elric menoleh singkat, pura-pura mikir. “Boleh… kebetulan aku juga bingung mau pilih apa."
Tak lama, Hercu memberinya formulir pendaftaran. Elric mulai menulis, walau matanya masih sesekali melirik Alice.
Tiba-tiba—
BRAK!
Pintu aula terbuka cukup keras. Semua orang menoleh, termasuk Elric, dan muncul seorang yang memiliki aura membunuh yang besar. Lalu orang-orang dari ekskul drama panik bukan main, karena yang datang itu adalah Siti.
Ia juga merupakan anggota 10 keputusan dari keputusan keuangan. Ia yang mengatur keuangan setengah dari Academy Indoage, bahkan jika ada sponsor ia yang pegang kendali. Kali ini ia datang bukan bermaksud bertamu, tapi bertanya.
"Alice… Andrew… apa-apaan maksud permintaan kalian ini?"
"Permintaan?! Apa ga bisa ya." Kata Andrew sambil nyengir.
"Bukannya nggak bisa, tapi apa-apaan dengan jumlahnya dan untuk apa? Bukannya kau masih punya yang tahu lalu—"
"Sudah sedikit rusak, Siti… sulit," kata Alice.
"Ya kalau sedikit mending minta dana perbaikan, bukan beli baru. Kenapa sih kalian mentang-mentang ekskul kebanggaan sekolah malah semena-mena minta barang?"
Siti menatap Alice dan Andrew tajam, matanya menyipit seakan sedang menghitung setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. Suasana aula yang sebelumnya riuh langsung berubah tegang. Bahkan suara gesekan kursi pun terdengar jelas.
“Aku sudah bilang, Alice…” suara Siti berat tapi tegas. “Kalian boleh jadi ekskul kebanggaan sekolah, tapi itu bukan alasan buat minta dana sebesar ini. Apalagi… alasannya beli barang baru padahal yang lama cuma sedikit rusak.”
Andrew mencoba menyela, “Tapi, Siti, kalau kita pakai yang lama—”
Siti langsung mengangkat tangan, memotong kalimatnya. “Andrew, aku paham kalian mau hasil terbaik. Tapi kalau sedikit rusak, ya diperbaiki. Bukan buang-buang anggaran. Kita ini bukan sekolah yang duitnya nggak habis-habis. Ada prioritas lain.”
Alice menghela napas, masih mencoba menjelaskan, “Kalau diperbaiki, waktunya nggak akan cukup sebelum pentas bulan depan. Dan—”
“Dan apa?!” Siti mendekat, jarak wajahnya tinggal beberapa langkah dari Alice. “Dan kalian mau pakai uang sekolah seenaknya, sementara ekskul lain harus potong biaya sampai setengah?! Aku lagi kesal, tau nggak? Rhidos baru saja bikin proyek ngawur yang nyedot setengah budget kegiatan semester ini, sekarang kalian ikut-ikutan minta macam-macam!”
Beberapa anggota ekskul drama saling pandang, sebagian memilih pura-pura sibuk beresin properti. Elric hanya mengamati, bibirnya tersenyum tipis melihat betapa Alice yang biasanya tegas kini malah terpojok.
"Ahh… Alice-ku," kata Elric kecil walau sedikit terdengar Hercu.
Siti menghembuskan napas keras, lalu melangkah mundur sambil menunjuk formulir permintaan dana yang dibawa Andrew. “Pokoknya, permintaan ini nggak akan aku ACC. Kurangin anggarannya, tulis ulang dengan nominal yang wajar. Kalau nggak, lupakan.”
Ia berbalik menuju pintu, tapi sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi, matanya menyapu seluruh ruangan. “Ingat, ini acara bukan cuma soal kalian. Ini untuk seluruh sekolah. Jangan bikin aku datang kedua kali untuk masalah yang sama.”
Dengan langkah cepat, Siti keluar dari aula, meninggalkan suasana yang hening dan sedikit mencekam.
Andrew menggaruk belakang kepalanya, Alice menghela napas panjang, menarik mengingatkan ku dengan… pikir Elric soal seseorang yang juga merupakan pemegang keuangan di kerajaan yang juga rada mirip. Dan sekarang ia malah juga ikut takut sama Siti, dan juga memberikan formulir pendaftaran yang sudah selesai diisi.
"Selamat bergabung… maaf ya, baru masuk udah liat kaya begitu," kata Hercu.
"Tenang, sudah biasa aku melihat begitu!"
"Hemm… ramalan sudah memastikan kalau aku pasti akan dapat ia. Tunggu saja, Andrew, kau akan kalah."
Lalu Hercu heran kenapa ia bicara sendiri Mulu.