Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Rumah Yang Tak Pernah Sama
Sudah tiga tahun berlalu sejak Angel dan Saka menikah. Tiga tahun yang penuh warna—tangis, tawa, kehilangan, dan pertumbuhan. Mereka bukan lagi pasangan yang terjebak dalam masa lalu. Kini, mereka adalah orang tua dari Amara, anak perempuan mereka yang semakin aktif dan penasaran dengan dunia.
Pagi itu, matahari menembus jendela dapur, menyinari meja yang sudah dipenuhi roti panggang, susu cokelat, dan potongan apel. Amara duduk di kursi tinggi, mulutnya belepotan selai stroberi.
“Mama, nanti aku sekolah beneran, ya?”
Angel mengangguk sambil mengikat rambut anaknya. “Iya, bentar lagi kamu masuk TK. Deg-degan?”
Amara cemberut. “Aku gak tahu. Tapi aku pengen temenan.”
Saka masuk dengan handuk di bahu, masih setengah kering setelah mandi. “Teman yang baik itu yang bisa main dan saling bantu, ya?”
Amara mengangguk sambil menyuap apel ke mulutnya.
---
Setelah mengantar Amara ke sekolah untuk uji coba pertama, Angel dan Saka duduk di mobil, terdiam sesaat.
“Dia cepat besar, ya,” gumam Saka.
Angel menyender ke kursi. “Baru kemarin rasanya kita panik gara-gara dia demam, sekarang udah bisa ngobrol, milih baju sendiri, bahkan protes kalau kita telat jemput.”
Saka menoleh. “Kamu masih kepikiran mau kerja lagi?”
Angel mengangguk pelan. “Ada tawaran ngisi kelas menulis rutin di kampus. Tapi aku takut gak bisa bagi waktu.”
Saka menggenggam tangannya. “Coba aja dulu. Kita atur bareng. Aku juga bisa bagi waktu dari proyekan.”
---
Kembali ke rumah, suasana hening tapi hangat. Angel membuka laptop dan membaca kembali outline kelas menulis yang diminta oleh dosen lamanya. Ia mulai merasakan kembali gairah yang dulu sempat padam. Tapi ada juga rasa takut. Takut tak lagi cukup baik, takut kehilangan momen tumbuh kembang Amara.
Saka melihatnya dari seberang meja. “Kalau kamu butuh waktu, ambil. Tapi jangan matikan nyala di dalam dirimu. Kamu punya banyak hal buat dibagikan ke dunia.”
Angel menutup laptopnya, menatap suaminya. “Aku gak tahu bisa seimbangin semuanya atau enggak.”
“Gak ada yang benar-benar seimbang, Yang. Tapi kita bisa belajar menjaga yang paling penting.”
---
Di kampus, hari pertama Angel mengajar kembali. Ia mengenakan blouse putih dan celana kulot hitam, rambut digerai alami. Ruang kelas itu kecil, tapi dipenuhi mahasiswa dengan wajah penuh semangat.
“Menulis bukan soal bakat. Tapi soal keberanian mengakui isi hati,” katanya membuka kelas.
Sementara itu, Saka di rumah menggambar sketsa mainan edukatif yang sedang ia rancang bersama tim komunitas desain. Ia juga menyiapkan makan siang untuk Amara, yang sebentar lagi akan dijemput dari sekolah.
Waktu berjalan cepat. Angel dan Saka mulai membentuk ritme baru. Pagi untuk keluarga, siang untuk kerja masing-masing, malam untuk kembali saling cerita.
---
Suatu hari, saat mereka sedang menikmati makan malam, Amara tiba-tiba bertanya, “Kenapa Papa sama Mama bisa saling sayang?”
Angel dan Saka saling pandang, lalu tertawa.
Saka menjawab, “Karena dulu Papa dan Mama pernah saling marah, saling ninggalin… tapi akhirnya sadar, gak ada yang bisa gantiin satu sama lain.”
Amara manggut-manggut. “Aku juga sayang Papa Mama.”
Angel mencium pipi anaknya. “Dan kami sayang kamu. Banget.”
---
Namun, kehidupan tidak selalu mulus. Suatu malam, saat Angel pulang dari kelas malam, ia menemukan Saka tertidur di ruang tamu dengan sketsa berserakan. Ada bekas air mata di pipinya.
Angel membangunkannya perlahan. “Sayang, kenapa?”
Saka membuka mata pelan. “Proyek mainan edukatif kita ditolak investor. Katanya terlalu idealis, gak komersial.”
Angel duduk di sebelahnya. “Tapi itu bukan berarti idemu jelek. Mungkin belum saatnya.”
Saka menatap istrinya. “Aku cuma... lelah. Kayaknya selalu harus berjuang keras buat sesuatu yang kadang gak dianggap.”
Angel memeluknya. “Tapi kamu gak sendirian. Aku di sini. Dan kamu itu gak cuma pekerja. Kamu suami yang baik. Ayah yang luar biasa. Gagal di proyek gak bikin kamu gagal jadi manusia.”
---
Beberapa minggu kemudian, Saka akhirnya menerima tawaran kerja freelance dari lembaga pendidikan anak. Mereka tertarik mengembangkan idenya, tapi dengan pendekatan yang lebih realistik. Saka sempat ragu, tapi Angel mendukung penuh.
“Kadang kompromi bukan bentuk menyerah. Tapi jalan tengah buat mimpi tetap hidup.”
Saka tersenyum, mencium kening istrinya. “Kamu selalu jadi suara warasku.”
---
Hari-hari berlalu. Angel semakin sibuk, Saka juga. Tapi mereka mulai belajar manajemen waktu yang lebih matang. Ada kalanya mereka hanya sempat bertukar pelukan lima menit di pagi hari. Tapi lima menit itu, cukup buat mengingatkan: mereka tetap satu tim.
Suatu sore, mereka mengajak Amara ke taman. Angel membawa buku gambar, Saka membawa layang-layang kecil. Amara berlari dengan tawa yang mengisi udara.
Angel menatap Saka. “Ingat waktu pertama kita ketemu lagi setelah sekian tahun?”
Saka tersenyum. “Ingat. Kamu masih semarah dulu.”
Angel tertawa. “Tapi sekarang aku lebih sering marahnya karena kamu suka lupa naro handuk sembarangan.”
Saka pura-pura tersinggung. “Itu kebiasaan kreatif.”
Mereka tertawa. Dan itu cukup. Untuk merayakan bahwa mereka sudah jauh dari luka, tapi tetap merawatnya. Karena luka itu yang mempertemukan mereka lagi.
---
Malam itu, setelah Amara tidur, Angel dan Saka duduk di balkon, menyeruput teh hangat.
“Kamu pernah ngebayangin hidup kita bakal kayak gini?”
“Gak pernah. Tapi aku bersyukur.”
Saka menatap Angel. “Besok kita punya jadwal padat. Tapi malam ini… mau kamu tahu, aku gak akan pernah bosan memilih kamu. Setiap hari.”
Angel memegang tangannya. “Dan aku akan selalu jawab ‘ya’. Bahkan di hari-hari tersulit.”
Mereka diam sejenak, lalu memandangi langit malam.
“Rumah ini gak pernah sama sejak kamu datang,” kata Saka pelan.
“Dan rumah itu bukan cuma bangunan. Tapi kamu,” bisik Angel.
Mereka duduk lebih lama malam itu. Tak ada kata lagi, hanya rasa. Karena kadang, cinta tak harus dijelaskan. Cukup dirawat. Hari demi hari.
---
Beberapa minggu kemudian, Angel merasa kelelahan yang tidak biasa. Ia mulai merasa mual setiap pagi, dan tubuhnya terasa lebih sensitif. Tanpa memberitahu siapa pun, ia membeli test pack.
Dua garis merah muncul.
Ia terdiam cukup lama, hingga air mata jatuh satu per satu.
Saat Saka pulang, ia menemukan Angel duduk di sofa, wajahnya campuran antara bahagia dan takut.
“Aku hamil,” katanya pelan.
Saka menatap Angel dengan mata yang membesar. Lalu ia memeluknya erat. “Beneran?”
Angel mengangguk. “Aku takut. Takut ngulang rasa kehilangan lagi.”
Saka mencium keningnya. “Kita kuat sekarang. Apa pun yang terjadi, kita hadapi sama-sama.”
---
Hari demi hari kehamilan berjalan. Amara juga mulai belajar jadi calon kakak. Ia membacakan buku cerita untuk adiknya, meskipun kadang ia sendiri belum paham isi ceritanya.
Pada usia kandungan lima bulan, Angel sempat mengalami flek. Malam itu mereka langsung ke rumah sakit. Rasa trauma masa lalu membuat malam itu jadi mencekam.
Di ruang tunggu, Saka memeluk Angel erat. “Kalau kamu butuh nangis, nangis aja. Aku ada.”
Untungnya, kondisi janin stabil setelah diperiksa. Dokter menyarankan Angel untuk lebih banyak istirahat.
---
Kabar kehamilan itu juga membawa kabar lain: tawaran proyek besar untuk Saka dari luar negeri. Saka sempat mempertimbangkan.
Angel, yang kini lebih tenang, berkata, “Kalau kamu yakin itu baik buat masa depan kita, jalanin. Aku bisa urus semuanya di sini.”
Saka menatapnya dalam. “Aku gak pengen ninggalin kamu pas kamu lagi hamil.”
“Dan aku gak pengen kamu berhenti bermimpi karena aku. Kita jalanin ini sama-sama, kan?”
Akhirnya, Saka memilih bekerja remote dari Indonesia dan tetap ikut mendampingi masa kehamilan Angel. Ia percaya, kebersamaan mereka adalah prioritas.
---
Hari demi hari, rasa syukur makin besar. Mereka belajar bahwa rumah bukanlah tempat yang selalu senyap dari masalah. Tapi tempat di mana masalah disambut dengan keberanian, bukan ketakutan.
Dan cinta mereka, bukan cinta yang mudah. Tapi cinta yang tahan uji.
Cinta yang bertumbuh. Bersama waktu. Bersama luka. Bersama harapan.
...****************...
ayo ramein dan like serta komen luv 🤍