Dalam hidup terkadang kita tidak bisa memaksakan kehendak meskipun ingin. Rasa ingin memiliki yang begitu besar harus mengalah pada takdir dan kenyataan yang tidak sejalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri_1987, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Dering ponsel di meja mengalihkan perhatian Reyna kembali. Banyak sekali pesan dan panggilan dari orang yang sama sejak ia menyalakan ponselnya. Dan orang itu kembali menghubungi. Dimas, dengan tidak lelahnya dia tetap mengajak Reyna untuk bertemu.
Reyna bingung berpikir keputusan apa yang harus ia ambil. Mengakhiri hubungan terlarang ini sudah pasti. Reyna tidak mau menyembunyikannya lebih lama lagi. Reyna harus segera memutuskan sebelum ada orang yang mengetahuinya.
Tapi bertemu dan bertatap muka dengan Dimas?
Tidak....sebisa mungkin Reyna akan menghindarinya.
Reyna sudah bisa menebak apa yang akan terjadi jika dia menyanggupi ajakannya untuk bertemu. Pasti akan ada drama pertengkaran yang terjadi. Dimas tidak bisa menerima dan Reyna pun akhirnya menyerah dan kembali luluh lagi di hadapannya. Bukankah selalu saja seperti itu?
Ya....adegan-adegan seperti itu selalu berulang. Menatap mata Dimas adalah kelemahan bagi Reyna. Mungkin lebih baik berbicara tanpa bertemu.
Reyna menunggu Dimas untuk menghubungi kembali. Reyna sengaja tidak mau untuk menghubunginya lebih dulu. Reyna masih perlu banyak waktu untuk menguatkan hati.
Reyna sebenarnya masih belum rela untuk mengakhiri hubungannya dengan Dimas. Wanita itu masih berharap dirinya dan Dimas masih bisa bersama. Tapi tidak untuk kali ini, Reyna harus benar-benar rela. Perihal sakit hati, itu sudah biasa. Reyna sudah pernah mengalaminya bukan? Walaupun dengan tertatih Reyna masih mampu berdiri sampai saat ini.
["Alhamdulillah, Rey! Akhirnya aku bisa menghubungimu. Kamu kemana saja? Sejak kemarin aku mengkhawatirkanmu,"] suara Dimas langsung terdengar begitu Reyna mengangkat telponnya.
["Sejak kemarin kamu membuatku hampir gila. Kamu tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Semalam hampir saja aku nekad mendatangi rumahmu. Untung saja aku masih bisa berpikir jernih.]
Reyna masih belum bersuara. Membiarkan Dimas menumpahkan semua perasaannya lebih dulu. Reyna diam, menguatkan hati. Karena ia pasti menangis selepas ini.
[Rey... Aku minta maaf soal kemarin. Membiarkanmu pulang sendiri. Sherin tiba-tiba..."]
["Mas...."]
Dimas terdengar menarik nafas. [Ya..."]
[Sudah ya, Mas....."]
[Reyna....."]
["Cukup sampai di sini saja."]
Dimas cukup lama terdiam. Reyna memberi waktu agar Dimas bisa mencerna kalimatnya.
["Rey, maksudmu kita....."]
["Iya, kita sudahi saja semuanya. Kamu kembali pada istrimu. Bahagiakan Sherin, Mas! Berusahalah untuk mencintai dia, menjadikan dia satu-satunya. Jadikan kehamilan Sherin sebagai alasan untuk Mas Dimas lebih menyayanginya. Aku salah sudah hadir di tengah-tengah kalian."]
[Reyna....! Kamu bercanda 'kan?]
["Tidak, Mas. Kita sudah terlalu jauh menyimpang. Sebelum tersesat, pulanglah! Pulanglah ke tempatmu yang seharusnya. Tempatmu bukan bersamaku!"] Reyna berharap tidak ada getar dalam suaranya.
["Jangan bercanda, Rey! Tidak lucu."]
["Aku serius!"]
["Kalau kamu marah soal kemarin aku minta maaf, Rey! Aku salah membiarkanmu sendiri. Tapi kamu harus tahu, itu bukan mauku. Ada Sherin!"]
["Aku tahu, Mas. Aku tahu!"]
["Jangan berkata seperti itu lagi! Aku nggak suka."]
["suka tidak suka memang ini yang akan terjadi. Aku ikhlas melepasmu, Mas! Kita tidak usah bertemu lagi. Seandainya kita tidak sengaja bertemu, anggap saja kita hanya orang asing yang tidak saling mengenal. Mas Dimas jangan menghubungi aku lagi!"]
["Reyna....!"]
Masih terdengar suara Dimas saat Reyna mengakhiri sambungan telpon secara sepihak. Reyna sudah tidak mau mendengar rayuan-rayuan dari Dimas lagi yang nanti membuatnya bimbang dalam.mengambil keputusan. Berpisah lebih baik. Bukan hanya untuk Reyna, tapi untuk semuanya.
Air mata Reyna yang sejak tadi ditahan akhirnya luruh juga. Reyna akan menangis sepuasnya hari ini. Besok ia berharap air matanya tidak akan kembali mengalir. Dan Reyna akan baik-baik saja. Kembali menjalani hidup seperti sebelum kehadiran Dimas. Reyna pasti bisa!
*****
Reyna menjalani hari dengan berat setelah memutuskan berpisah dari Dimas. Suasana hati yang tidak mendukung membuatnya mengambil cuti mengajar untuk beberapa hari.
Reyna tidak bersemangat menjalani aktivitas, juga ditambah kondisi badan yang semakin melemah. Reyna kembali jatuh seperti waktu itu. Bedanya, dulu ia bisa membagi kesedihan dan keluh kesah pada ibunya. Tapi sekarang Reyna harus menyembunyikannya serapat mungkin.
Bu Lastri sudah memaksa Reyna untuk pergi ke dokter, tapi ia menolaknya dengan berbagai macam alasan. Akhirnya Bu Lastri menyerah juga dan menyuruhnya banyak istirahat.
Reyna harus bisa bangkit, tidak boleh terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. Tidak ada gunanya. Dengan mengumpulkan semangat, Reyna akan pergi mengajar pagi ini. Dia sudah merasa lebih baik daripada kemarin.
"Yakin mau pergi juga?" Bu Lastri bertanya saat melihat Reyna berkemas. "Kamu masih kelihatan pucat, Ndhuk!"
"Reyna sudah merasa lebih baik, Bu. Nggak enak sama yang lain kalau kelamaan nggak masuk. Apalagi Reyna kan masih terhitung baru di sana. Masa kebanyakan liburnya. Kangen juga sama anak-anak."
Reyna tidak berbohong. Memang benar dia merindukan anak-anak itu. Terutama Vania. Sejak awal anak itu sudah menarik perhatian Reyna. Wajah cantik yang mirip papanya mungkin bisa mengobati sedikit rindunya pada Dimas.
Tidak mudah bagi Reyna untuk mengeluarkan Dimas dari hatinya. Apalagi baru beberapa hari. Tapi Reyna tetap yakin, perlahan tapi pasti dia bisa menghapus nama Dimas dan menggantinya dengan yang lain. Dokter Irfan misalnya.
Tapi.... Mungkinkah? Dokter Irfan adalah paman dari Sherin. Luka Reyna tidak akan segera sembuh jika dia tetap menghubungkan diri dengan orang- orang terdekat Sherin dan Dimas.
Reyna tidak memungkiri jika Dokter Irfan telah berhasil menancapkan pesonanya dalam hati. Pembawaannya yang selalu tenang dan berkharisma membuat siapapun akan merasa nyaman jika berada di dekatnya. Begitu pula yang Reyna rasakan. Tapi semua pesona Dokter Irfan seolah tertutup dengan rasa cintanya yang menggebu terhadap Dimas.
Dokter Irfan hanya sesekali menghubungi Reyna setelah mengungkapkan perasaannya pada malam itu. Dia sibuk dengan berbagai macam seminar yang harus dihadirinya di berbagai kota.
Keraguan pada perasaan Dokter Irfan padanya kadang muncul. Dia tidak seperti pria kebanyakan yang selalu memberi perhatian khusus pada gadis yang diincarnya.
Terakhir Dokter Irfan menghubungi Reyna saat sedang mengikuti seminar di Solo. Dan itu pun sudah seminggu yang lalu.
"Pesan taksi saja, Ndhuk! Ibu nggak tega kalau kamu bawa motor sendiri."
"Sampun, Bu! Sebentar lagi datang kok."
Bu Lastri menatap Reyna dalam. Seolah mencari sesuatu yang dapat dibacanya dari dalam mata anak perempuannya.
Reyna sadar, kalau sebenarnya Ibunya mengetahui kalau dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Perasaan seorang Ibu memang tidak dapat dibohongi. Walaupun Reyna sudah berusaha tampak biasa saja di depan Bu Lastri, Reyna tahu Ibunya pasti bisa merasakannya.
*****
Mendengar tawa ria anak-anak sedikit dapat memperbaiki suasana hati Reyna. Berinteraksi dengan mereka, mengajari mereka bernyanyi, ikut bermain bisa membuatnya lupa sejenak sakitnya patah hati yang sedang ia alami.
Pikiran Reyna dapat teralihkan, tidak melulu memikirkan hal yang sama setiap hari. Harus sabar, karena rasa itu tidak serta merta hilang dalam kurun waktu yang sebentar.
Yang pasti Reyna harus memantabkan hati, tidak boleh goyah lagi hanya karena melihatnya mengulurkan tangan kembali. Reyna sudah siap dan pasti bisa.
Reyna menemani Vania yang sedang menunggu jemputan datang. Gadis kecil itu tak hentinya bercerita. Vania gadis manis dan ceria. Sifatnya lembut persis seperti Sherin, Mamanya. Tapi dia akan berusaha sekuat tenaga jika sedang menginginkan sesuatu. Sifatnya yang tidak gampang menyerah seperti Dimas.
Perpaduan yang unik, sifat gigih dibalut dengan kelembutan. Reyna yakin, suatu hari nanti Vania akan menjadi gadis yang mempesona dan mempunyai prinsip yang kuat.
Reyna mengalihkan perhatiannya saat sebuah Honda Jazz putih milik Sherin memasuki area parkir sekolah. Reyna yang sudah sejak tadi khawatir jika yang menjemput Vania hari ini Dimas, menghembuskan nafas lega. Sherin tampak anggun berjalan menuju tempat mereka menunggu.
"Maaf, Mama terlambat, Nak!" Sherin mengelus rambut putrinya. "Nggak marah 'kan?"
Gadis kecil berkuncir dua itu menggeleng, "Kan ada Bunda Reyna, Ma! Jadi Vania nggak bosan."
Reyna tertawa lirih menanggapi ocehan Vania. Sherin mengalihkan tatapannya ke arah Reyna. Matanya menyipit memperhatikan, seperti akan memberi penilaian dengan barang yang kini tengah dilihatnya.
"Mbak Reyna kok pucat? Sakit ya?"
"Sudah merasa lebih baik kok, Rin. Memang kemarin sempat ijin cuti beberapa hari. Sekarang Alhamdulillah sudah lebih sehat."
"Iya, Ma. Bunda Reyna nggak mengajar lama, Vania kan kangen jadinya." Vania menimpali.
"Terima kasih atas perhatian Vania sama Bunda ya!" Reyna mengelus puncak kepalanya.
"Doakan Bunda Reyna sehat terus, biar bisa tetap mengajar Vania dan teman-teman di sekolah!" Vania mendongak menatap mamanya dengan mengangguk mantab.
"Mbak Reyna sudah mau pulang?" Sherin mengalihkan perhatiannya pada Reyna. "Biar aku antar sekalian!"