Dua tahun Sitha dan Danu berpacaran sebelum akhirnya pertunangan itu berlangsung. Banyak yang berkata status mereka lah yang menghubungkan dua sejoli itu, tapi Sitha tidak masalah karena Danu mencintainya.
Namun, apakah cinta dan status cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan?
Mungkin dari awal Sitha sudah salah karena malam itu, pengkhianatan sang tunangan berlangsung di depan matanya. Saat itu, Sitha paham cinta dan status tidak cukup.
Komitmen dan ketulusan adalah fondasi terkuat dari sebuah hubungan dan Dharma, seorang pria biasalah yang mengajarkannya.
Akankah takdir akhirnya menyatukan sepasang pria dan wanita berbeda kasta ini? Antara harkat martabat dan kebahagiaan, bolehkah Sitha bebas memilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengutarakan Niat Baik
Selang sepekan berlalu, kali ini Dharma berinisiatif mengajak Sitha untuk menikmati malam minggu bersama. Jika sebelumnya adalah menonton wayang, kali ini Dharma memiliki satu tujuan berbeda. Hal yang memang seharusnya harus segera Dharma sampaikan kepada Sitha.
Sama seperti sebelumnya, Dharma berani meminta izin kepada Rama Bima dan Bu Galuh untuk mengajak Sitha bermalam mingguan. Dharma juga memberitahu dengan jujur bahwa tempat yang mereka kunjungi adalah sebuah restoran bergaya Kolonial atau rumah Belanda di Solo.
"Kalau sama Mas Dharma, Rama itu percaya. Yang penting hati-hati," kata Rama Bima.
"Matur nuwun nggih Bapak."
Sama seperti biasanya, ketika mengajak Sitha pergi bersama Dharma memakai sepeda motor miliknya. Padahal Dharma bisa memakai mobil keluarganya sebentar, tapi Dharma enggan, dia lebih menyukai perjalanan berdua menaiki sepeda motor. Sitha juga tidak keberatan membonceng Dharma sepanjang perjalanan.
"Yang sudah dipercaya sama Rama," kata Sitha dengan bercanda.
"Kalau sudah dipercaya malahan berat, Dek. Harus menjaga kepercayaan yang sudah Bapak dan Ibu berikan," balas Dharma.
Sitha kemudian naik dan membonceng pemuda itu. Namun, kali ini Sitha meminta izin. "Mas, izin pegang pundaknya sebentar yah?"
"Boleh, Dek."
Ya, tangan Sitha memegang pundak Dharma, lalu dia memposisikan diri untuk membonceng motor matic dengan body yang besar itu. Memang kalau naik langsung, rasanya terlalu tinggi sehingga Sitha berpegangan di bahu Dharma.
"Makasih, Mas. Berat yah?"
Pemuda itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak berat sama sekali kok, Dek. Kita berangkat sekarang yah? Supaya pulangnya enggak kemalaman. Membawa main anak gadis orang jangan pulang malam-malam," katanya.
Sitha tersenyum saja. Walau sudah berboncengan, tapi Sitha mengambil jarak untuk duduk di belakang saddle itu. Tidak berpegangan badan Dharma juga. Hanya sesekali Sitha berpegang di bagian belakang saddle dan sesekali merapikan rambutnya yang panjang.
Hanya beberapa puluh menit, sekarang mereka sudah tiba di Rumah Makan dengan gaya Kolonial itu. Dharma bahkan meminta helm yang Sitha kenakan. "Sini helmnya, Dek ... biar aku simpan," katanya.
Sitha melepas helm itu dan memberikannya kepada Dharma. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih. "Makasih, Mas Dharma. Aku merapikan rambut dulu yah Mas? Mau sisiran sebentar boleh?"
"Boleh, aku tungguin."
Lalu, mereka masuk ke restoran itu. Dharma sengaja memilih tempat duduk yang tidak begitu ramai dan menghadap ke jalan utama. Lampu-lampu khas Eropa menggantung di atap, dengan sentuhan furniture yang sesuai dengan konsepnya. Sitha mengamati restoran yang memang indah itu.
"Pernah ke sini sebelumnya?" tanya Dharma.
Dengan cepat Sitha menggelengkan kepalanya. "Justru malahan belum."
"Pesen aja, apa pun boleh kok."
Sitha tersenyum sembari membuka buku menu. Lalu, dia bertanya "Rib Eye Meltique dan Es Floral Blue boleh, Mas?" tanyanya.
"Boleh saja. Yang lebih mahal juga boleh kok," balas Dharma.
Sitha menggelengkan kepalanya. Sejak dulu memang dia tidak tertarik dengan makanan yang serba mahal. Namun, memang diinginkan saja. Atau justru lebih suka wisata kulineran dengan Rama dan Ibunya.
Ketika menunggu makanan disajikan, keduanya sesekali bersitatap netra dan saling canggung. Ada senyuman, tapi buru-buru ditahan. Benar-benar kikuk satu sama lain. Apalagi dengan posisi duduk berhadap-hadapan seperti ini membuat semakin salah tingkah jika kedua mata saling pandang.
Makanan dan minuman kemudian disajikan, Dharma kemudian berbicara kepada Sitha. "Dek, mungkinkah kalau pria biasa sepertiku yang tidak memiliki embel-embel ningrat dan tidak kaya harta memiliki niat untuk meminang kamu yang sejatinya adalah putri ningrat?"
Dharma sudah menyusun kata-kata itu sejak beberapa hari sebelumnya. Dharma sangat tahu diri bahwa dirinya hanya pria biasa, bukan berdarah biru dan tidak kaya harta layaknya keluarga Sutjipta. Akankah pria dari kalangan rakyat biasa seperti dirinya bisa meminang seorang putri ningrat?
Sitha menatap Dharma untuk sesaat, lalu dia berbicara lagi kepada Dharma. "Kamu menaruh hati kepada seorang putri ningrat, Mas?" tanya Sitha perlahan.
Dharma diam sejenak. Jujur, dia sangat takut untuk ditolak. Apalagi perbedaan jauh di antara dirinya dan Sitha.
Lalu, ada sebuah kue yang sangat cantik. Ukurannya tak begitu besar, tapi dekorasinya bunga-bunga yang indah. Sitha kemudian bertanya.
"Kue untuk siapa, Mas? Dalam rangka apa?" tanyanya.
"Untuk kamu, Dek."
Lalu, karyawan resto itu membakar bagian atas kue. Ya, itu adalah flash cake. Bukan hanya memantik api, tapi merekam video atas kue itu. Lapisan putih di atasnya ketika tersulut api mulai terbakar dan tertera pesan indah yang bersembunyi di kue itu.
"Menikahlah denganku."
Kedua mata Sitha berkaca-kaca. Dia benar-benar tidak menyangka, Dharma akan mengutarakan isi hatinya. Bahkan, Dharma menyodorkan sebuah kotak yang bertahtakan cincin di sana.
"Mungkin gegayuhanku terlalu tinggi. Aku sadar diri sepenuhnya bahwa aku hanyalah pria biasa, tidak memiliki darah bangsawan, tidak memiliki harta kekayaan yang berlimpah. Aku juga tidak bisa menjanjikan banyak hal, tapi seumur hidupku, aku pastikan akan mencintaimu dengan tulus, memenuhi tanggung jawabku sebagai seorang suami. Tulisan dalam cake ini juga tidak diakhiri dengan tanda tanya, karena aku tidak bertanya. Melainkan, aku meminta kepadamu untuk menikahlah denganku, Dek Sitha," kata Dharma.
Sitha tersenyum walau sesungguhnya dia berurai dengan air mata. Perasaan yang selama ini mengatakan bahwa Dharma memiliki rasa kepadanya ternyata benar ada. Sekarang pria itu benar-benar mengutarakan maksud hatinya.
"Jika memang kamu menolak, tidak apa-apa. Sebab, sepenuhnya aku sadar diri bahwa aku hanya rakyat biasa yang bisa saja tidak sepadan denganmu."
Sitha kemudian menatap Dharma sesaat. "Mas Dharma serius?"
"Ya, sangat serius," balasnya.
"Aku sendiri tidak pernah memperkarakan perihal harta, tahta, bahkan kasta. Namun, beranikah Mas Dharma berbicara langsung kepada Rama dan Ibu? Memintalah kepada Rama dan Ibu. Jika memang Rama dan Ibu merestui, aku akan bersedia. Namun, aku tidak ingin berlama-lama pacaran, jika memang serius langsung menikah saja," kata Sitha.
"Baik, aku akan meminta langsung kepada Rama dan Ibu. Adakah syarat lain? Aku juga berencana tidak ingin pacaran, lebih baik berpacaran setelah menikah. Lalu, sekarang apakah aku ditolak?"
Sitha kemudian tersenyum. "50% yah, Mas. Kalau Rama dan Ibu boleh dan setuju, aku bersedia. Pakaikan cincin ini di hadapan Rama dan Ibuku."
Dharma kemudian menganggukkan kepalanya. Kotak cincin yang semula terbuka itu dia tutup kembali, lalu dia simpan. Pasti Dharma berani. Tidak mungkin Dharma akan melakukan semuanya ini tanpa keberanian yang sudah dia pupuk di dalam hatinya.
"Dek, kalau nanti Rama dan Ibu kamu sudah setuju. Aku ajak ke rumahku yah. Kenalan sama Bapak, Ibu, adikku dan keluarganya. Mau kan?"
Sitha menganggukkan kepalanya. "Iya, aku mau."
Keduanya saling melempar senyuman. Setidaknya sudah ada jawaban 50% dari Sitha. Untuk menggenapkan menjadi 100% adalah dengan meminta langsung kepada Rama Bima dan Bu Galuh. Dharma pasti akan melakukannya. Perjuangan kali ini bukan sebatas mendaki gunung atau menyebrangi lautan, tapi untuk menyatu dua hati, Drama sungguh-sungguh akan berani. 💗💗
sehat2 mba Sitha..