Tidak terpikirkan oleh Sabrina lulus kuliah kemudian menikah. Pertemuanya dengan Afina anak kecil yang membuat keduanya saling menyayangi. Lambat laun Afina ingin Sabrina menjadi ibu nya. Tentu Sabrina senang sekali bisa mempunyai anak lucu dan pintar seperti Afina. Namun tidak Sabrina sadari menjadi ibu Afina berarti harus menjadi istri Adnan papa Afina. Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Mampukah Sabrina berperan menjadi istri Adnan dan menjadi ibu sambung Afina???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpesona.
Sabrina bersama bibi memasak hingga sore hari karena setelah pengajian nanti para tamu akan makan bersama. Kue sudah selesai dikemas kemudian dimasukkan ke dalam kardus besar agar ringkas.
"Ina, taplak nya aku pasang di meja makan ya?" Prily membantu mengerjakan yang ringan-ringan saja.
"Iya Pril," Sabrina menghampiri Prily membantu membuka taplak yang lama, menggantinya dengan yang baru. Setelah menyingkirkan tisue, sendok dan tempat roti.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
"Mama..." Sabrina tersenyum segera menyambut kedatangan mertuanya. Papa Rochmat dan mama Fatimah ternyata yang datang. Di ikuti tiga orang pria yang menggotong kardus besar tampak hati-hati karena berisi nasi box.
"Di simpan dimana ini Bu?" tanya kurir pada Fatimah.
"Oh di sebelah sini saja, Pak," Sabrina menunjuk tempat kosong yang tidak jauh dari meja prasmanan.
"Bunda kamu belum datang In?" Mama Fatimah mengedarkan pandangan hanya ada Prily.
"Belum Ma, tadi saya telepon katanya sedang dalam perjalanan," tutur Sabrina.
"Kamu teman Sabrina ya?" tebak mama Fatimah.
"Iya Bu" Prily tersenyum menyandak telapak tangan Fatimah kemudian menciumnya.
"Terimakasih ya kamu sudah membantu menantu saya." Fatimah mengulas senyum.
"Sama-sama Bu," Prily kemudian melipat tisue untuk membungkus sendok, kemudian meletakkan di sudut meja makan.
"Ya Allah, In... kamu terlihat lelah sekali," kata Fatimah sejak tadi baru menatap seksama wajah menantunya.
"Nggak kok Ma," Sabrina hanya tersenyum. Wajar jika tampak lelah, sejak bangun subuh tadi belum istirahat. Di tambah lagi memikirkan suaminya yang masih ngambek. Sejak tadi siang belum juga menyapa turun ke bawah. Entah apa yang di lakukan suaminya di kamar, Sabrina sendiri belum sempat menengoknya semenjak pertengkaran tadi siang.
Sabrina mengikuti Mama Fatimah ke dapur.
"Loh, kalian memasak juga? Mama kan sudah memesan nasi box," mama Fatimah menelisik baskom-baskom yang berisi beberapa masakan dan semua nya sudah matang.
"Iya Ma, tapi kata Mas Adnan, setelah pengajian prasmanan dulu" jujur Sabrina. Sambil membuat minuman untuk mertuanya.
"Ya Allah... Kenapa kalian nggak kasih tahu Mama, mama kan harusnya bisa datang kesini sejak pagi membantu kamu In," sesal Fatimah.
"Tidak apa-apa Ma, toh masakanya sudah matang," Sabrina menjawab sambil tersenyum.
"Terus Adnan kemana?" tanya papa Rachmad.
"Mas Adnan istirahat Pa, capek banget kayaknya sejak pulang dari kampus tadi siang," Sabrina menjawab.
"Ma... Pa... minum dulu," Sabrina segera membawa minuman ke ruang tamu lalu menemani mertuanya ngobrol sebentar sambil meluruskan kaki.
"Afina belum bangun," tebak mama Fatimah sudah tahu cucunya jika siang hari pasti tidur sampai ashar.
"Belum Ma, kalau gitu... saya tinggal sebentar ya," Sabrina ke lantai atas setelah dijawab mertuanya. Ia akan segera mandi, membangunkan Afina dan juga shalat ashar.
Sabrina mendorong handle pintu perlahan melirik suaminya sekilas ternyata sudah bangun. Bersamaan dengan itu, Adnan pun melirik Sabrina. Namun Sabrina melengos kesal. Adnan tiduran meninggikan bantal dengan kaki bertumpang lutut sambil memainkan benda pipih entah apa yang sedang di otak atik pria itu.
Duh bahagianya pria itu, tidak tahu jika di bawah sejak pagi, istrinya sedang di sibukkan dengan segudang pekerjaan. Keduanya saling mendiamkan rupanya masih kukuh dengan ego masing-masing.
Sabrina melewati suaminya begitu saja, tidak berniat untuk menyapa. Toh tadi siang sudah berusaha meluruskan permasalahan, tetapi ternyata suaminya itu tidak menggubris. Dan jika suaminya itu menyadari kesalahan seharusnya ke bawah menemuinya bukan malah mengurung diri di dalam kamar. Seperti remaja yang sedang galau.
Adnan sebagai pria matang diusianya seharusnya tahu, bagaimana cara menyikapi permasalahan. Bukan seperti anak remaja yang baru belasan tahun.
Sabrina membuka lemari memilih baju gamis yang kira-kira pantas untuk acara pengajian nanti malam menempelkan di dada.
Tanpa Sabrina Sadari Adnan memperhatikan dari belakang. Sebenarnya bibirnya gatal ingin menyapa namun rasa gengsi lebih dominan.
Adnan menatap istrinya yang sudah mengalungkan handuk di leher. Senyum tipis terukhir di bibir Adnan. Ia membayangkan jika istrinya nanti selesai mandi dan hanya mengenakan handuk pasti akan terpampang jambu air, walaupun ukurannya sedang, namun jika dipetik dan menggigitnya pasti rasanya manis. Adnan menelan saliva 🤭🤭🤭.
Namun senyum itu seketika menghilang kala istrinya membawa baju gamis itu ke kamar mandi. ( Rasain Nan, makanya jangan suka menyakiti hati istri)
Sabrina mengguyur tubuhnya dengan air dingin merasakan sensasi segar dalam pori-pori kulit.
Menuang sampo dalam telapak tangan kemudian menggosok kepala. Tidak perlu lama mandi karena masih banyak yang harus ia kerjakan. Setelah mengeringkan rambut dan badan ia segera mengenakan pakaian kemudian kembali ke luar.
Adnan masih dalam posisi semula menatap Sabrina sudah dalam keadaan rapi. Dengan handuk yang ia lilitkan di kepala sungguh pria itu segera ingin memeluknya karena makin terpesona oleh kecantikan istrinya. Namun Sabrina sama sekali tidak menoleh justeru melewatinya ke luar dari kamar. Adnan hanya bisa memandang Istri nya hingga menutup pintu.
"Sayang... bangun yuk" Sabrina membangunkan Afina dengan cara mematikan ac cara paling mudah untuk membangunkan anak sambungnya itu.
"Masih ngantuk Bun," kata Afina serak kas bangun tidur.
"Eh mandi yuk, Nenek sama kakek sudah menunggu di bawah loh," Sabrina menyelipkan rambut Afina di samping telinga.
"Ya deh" kata Afina kemudian turun dari ranjang.
"Ini handuknya selesai mandi baru kita shalat bareng," Sabrina menyerahkan handuk lalu menunggu Afina selesai mandi sambil menyiapkan baju muslim setelan yang lucu.
10 menit kemudian. "Hiii dingiiinn..." hanya memakai handuk Afina sudah ke luar menggigil bukan karena sakit, namun karena kedinginan.
"Dingin ya, sini segera pakai baju," Sabrina memberikan bedak dan kaos dalam. Afina memang sudah terbiasa memakai pakaian sendiri tentu tidak sulit baginya.
"Papa nggak ikut shalat Bun?" tanya Afina merasa aneh. Sebab biasanya mereka shalat berjamaah jika kebetulan Adnan sedang di rumah.
"Papa sudah shalat kali, ayo sekarang kita shalat, nggak boleh buang waktu lagi," titah Sabrina.
"Bun Fina pakai kerudung yang mana?" tanya Afina setelah melipat mukena lalu membuka lemari yang berwarna pink itu.
"Suka-suka Fina mau pakai yang mana, kalau bingung, cari saja yang sesuai dengan warna baju," saran Sabrina. Afina pun sudah mendapatkan kerudung warna senada kemudian memakainya dibantu Sabrina.
"Sekarang Afina ke bawah dulu ya, Bunda mau pakai kerudung dulu," kata Sabrina setelah Afina sudah rapi.
"Okay... Bun" Afina menuruni tangga. Sementara Sabrina kembali ke kamar ambil kerudung panjang dari lemari. Adnan pun ternyata sedang mengenakan pakaian.
Sabrina melewati begitu saja kemudian duduk di depan cermin. Ia membuka lilitan handuk di kepala kemudian menggerakan hingga rambut panjangnya yang masih basah memengenai tangan Adnan.
Lagi-lagi Adnan menelan ludah kala Sabrina menyisir rambut panjanganya tampak seksi.
.
lbh gk nyambung lg 🤣🤣🤣🤣
hajar bello