Di suatu hari paling terpuruk di hidup Dinda, dia bertemu dengan seorang wanita paruh baya. Wanita tua yang menawarkan banyak bantuan hanya dengan satu syarat.
"Jadilah wanita bayaran."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WB&CEO BAB 27 - Mencari Perlindungan
Sementara itu, di sebuah rumah sakit seorang pria duduk dengan gusar menunggu seorang gadis yang dia tabrak mendapatkan penanganan. Lamunannya buyar ketika dia mendengar suara lembut bergumam di sampingnya.
"Semoga dia baik-baik saja," gumam Jia, istri dari pria itu, Alex Carter.
"Iya Mom," jawab Alex.
Meski berulang kali berusaha menenangkan diri, tetapi Alex juga khawatir, takut jika terjadi sesuatu dengan gadis itu. Ketika mengangkat tubuhnya ke dalam mobil, Alex melihat darah di kepalanya. Bisa jadi dia terluka parah dan harus operasi. Tapi itu masih mending, bagaimana jika sampai merenggut nyawa?
Tidak, tidak, dia pasti selamat. batin Alex.
Tak lama kemudian, pintu IGD dibuka dari dalam. Alex dan Jia bergegas menghampiri dokter wanita yang baru keluar dari ruangan itu.
"Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya Jia dengan cepat.
"Dia masih pingsan, tapi detak jantungnya sudah stabil," terang dokter.
"Syukurlah." Alex dan Jia bernafas lega.
"Kami boleh melihatnya Dokter?" tanya Alex.
"Tentu saja. Mari silakan masuk!" Dokter tersenyum dan mengajak Alex serta Jia ke dalam ruangan.
Alex dan Jia bergegas menghampiri wanita malang yang belum siuman itu. Mereka memindai kaki dan tangan gadis ini yang memiliki banyak luka. Selain itu, juga ada perban yang membalut keningnya.
"Dokter, luka di kepalanya itu apa ... parah? Apa harus operasi?" tanya Jia.
"Tidak Nyonya, sekedar luka ringan. Cukup diobati saja, tidak perlu operasi," jawab dokter.
Jia tersenyum mendengar jawaban itu. Barusan dia sempat gelisah melihat kepala yang dibalut perban, takut jika luka itu mengakibatkan gegar otak. Tapi ternyata bukan luka berat, bahkan kata dokter hanya cukup dengan obat.
Tadi, mobil yang dibawa Alex memang melaju dengan kecepatan rendah, dan wanita itu sendiri sendiri yang sengaja menabrakkan diri. Lecet-lecet yang dia dapat karena terpental cukup jauh, sedangkan benturan dengan mobil tidak mengakibatkan apa pun.
Akan tetapi, kondisi Dinda belum membuat dokter merasa lega, justru merasa bingung dan iba. Pasalnya dari hasil pemeriksaan yang ia lakukan, ada hasil yang cukup mencengangkan.
Sebenarnya hanya pihak keluarga yang berhak tahu dengan hasil tersebut, tapi saat ini keluarga pasien belum bisa dihubungi. Dia kecelakaan tanpa membawa identitas apa pun. Sedangkan di sisi lain, pihak penabrak siap membayar semua administrasi. Alhasil, dokter memutuskan untuk memberitahukan hasil itu pada mereka.
"Luka-luka pasien memang ringan, tapi ... dia harus dirawat lebih lama," kata dokter. Dia menatap Alex dan Jia secara bergantian.
"Kenapa begitu dokter? Apa ada masalah dengan organ dalamnya?" tanya Alex.
"Jika benar, cepat tangani saja Dokter. Kami yang akan menanggung biayanya asal dia selamat." Jia turut menyela.
"Tidak, bukan begitu." Dokter menggeleng. "Dari pemeriksaan barusan, saya menemukan hal lain. Pasien baru saja mengalami kekerasan seksual. Kondisi fisik dan mentalnya kurang bagus, jadi harus dirawat dalam beberapa hari," sambungnya.
"Hah!" Alex dan Jia sangat terkejut. Mereka saling pandang dan kemudian menatap Dinda dengan perasaan iba.
"Jika begitu, maka lakukan yang terbaik Dokter. Kami percayakan semuanya kepada Anda," kata Alex beberapa saat kemudian, setelah tersadar dari keterkejutannya.
"Kasihan dia, masih muda tapi mengalami hal tragis. Semoga nanti pelaku segera ditemukan agar bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya," ujar Jia tanpa mengalihkan pandangan.
"Mudah-mudahan dia lekas sadar. Jadi, kita bisa menghubungi pihak keluarga dan membantunya menangani masalah ini." Dokter menjawab sambil tersenyum.
Alex dan Jia menanggapi ucapan dokter dengan anggukan.
Setelah cukup lama melihat keadaan Dinda, Alex keluar dan duduk di kursi tunggu. Sementara Jia, tetap di dalam ruangan dan menemani gadis ini.
Sekitar satu jam kemudian, mata Dinda mulai mengerjap seiring jari-jarinya yang bergerak pelan.
Setelah berhasil membuka mata dengan sempurna, Dia melirik ke sana kemari. Slang infus serta aroma disinfektan yang khas, membuatnya sadar bahwa itu adalah ruangan di rumah sakit.
Dinda lantas memejam. Dia mengingat-ingat kejadian terakhir yang membuatnya terbaring di sana.
Liora, Nyonya Gaida. batin Dinda dengan perasaan takut.
Dia ingat bagaimana orang suruhan mereka mengejarnya tanpa ampun. Sampai akhirnya dia menyerah dan menabrakkan diri pada mobil yang melintas.
Siapa yang membawaku ke sini? batin Dinda lagi.
Kemudian dia memindai setiap jengkal ruangan, lalu matanya terpaku pada sosok wanita yang sedang duduk di sudut ruangan. Wanita yang tak lain adalah Jia sedang fokus dengan ponselnya, jadi tidak sadar jika Dinda sudah siuman.
Apa dia orang yang menabrakku? Dinda kembali bergelut dengan batinnya.
"Saya di mana?" Dinda membuka suara dan langsung menarik perhatian Jia.
Dengan cepat Jia beranjak dan menghampiri Dinda.
"Kamu sudah sadar Nak? Maaf ya, tadi Tante dan suami Tante nggak sengaja menabrak kamu," ucap Jia dengan lembut.
"Menabrak?" Dinda mengernyit sambil menatap Jia. Dalam waktu singkat sudah terselip rencana dalam otaknya.
"Iya Nak. Tapi kami benar-benar nggak sengaja. Kami janji akan bertanggung jawab sampai kamu sembuh. Oh ya, boleh tahu siapa namamu dan di mana rumahmu? Sejak tadi Tante belum bisa menghubungi keluargamu Nak," jawab Jia.
Cukup lama Dinda terdiam, tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya matanya yang menelisik sosok Jia. Melihat kebaikan yang terpancar jelas dari sorot mata Jia, Dinda semakin yakin untuk menjalankan rencananya. Bukan bermaksud jahat, melainkan mencari perlindungan dari kejahatan Liora dan Gaida.
"Rumah, keluarga ...ahh." Dinda menjawab sambil memegangi kepala, seolah merasakan sakit yang amat kuat.
Dinda sengaja berpura-pura amnesia agar mendapat pertolongan. Dengan begitu, dia tidak sendirian lagi, dan Gaida tidak akan mudah mencelakainya. Terlebih jika tidak tahu di mana keberadaannya.
"Nak kamu kenapa? Apa yang terjadi?" Jia mulai panik.
"Sakit." Dinda pura-pura merintih.
"Sebentar Tante panggilkan dokter," kata Jia.
Dengan cepat Jia keluar ruangan dan meminta tolong perawat untuk memanggilkan dokter.
"Apa yang terjadi?" tanya Alex saat melihat kepanikan istrinya.
"Dia barusan sadar Dad, tapi kepalanya langsung sakit saat kutanya siapa namanya," jawab Jia.
"Lalu bagaimana?"
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa."
Pembicaraan mereka terhenti ketika dokter sudah tiba. Jia kembali ikut ke dalam ruangan, sedangkan Alex tetap menunggu di luar.
Dokter langsung memeriksa keadaan Dinda, yang saat ini terus memegangi kepala.
"Sama sekali tidak ingat siapa nama Anda Nona?" tanya dokter.
"Tidak." Dinda menggeleng sambil menangis. Dia ingin meyakinkan mereka bahwa ingatannya memang bermasalah.
"Ya sudah, tenang dulu. Jangan dipaksa mengingat. Nanti kami bantu pelan-pelan," terang dokter dan kemudian ditanggapi dengan anggukan oleh Dinda.
"Jadi bagaimana Dokter?" Jia bertanya dengan harap-harap cemas.
"Pasien mengalami amnesia. Kita tidak bisa memaksa ingatannya karena akan berakibat buruk. Tapi, hasil pemeriksaan cukup normal. Jadi, kemungkinan besar ini tidak berlangsung lama."