Cerita ini mengisahkan perjalanan lima teman—Aku, Danang, Rudi, Indra, dan Fandi—yang memutuskan mendaki Gunung Lawu. Namun, perjalanan mereka penuh ketegangan dan perdebatan sejak awal. Ketika mereka tiba di pasar aneh yang tampaknya terhubung dengan dimensi lain, mereka terperangkap dalam siklus yang tidak ada ujungnya.
Pasar Setan itu penuh dengan arwah-arwah yang terperangkap, dan mereka dipaksa untuk membuat pilihan mengerikan: memilih siapa yang harus tinggal agar yang lainnya bisa keluar. Ketegangan semakin meningkat, dan mereka terjebak dalam dilema yang menakutkan. Arwah-arwah yang telah menyerah pada pasar itu mulai menghantui mereka, dan mereka semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan. Setelah berjuang untuk melarikan diri, mereka akhirnya sadar bahwa pasar setan itu tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Keputusasaan semakin menguasai mereka, dan akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka ternyata tidak pernah keluar dari pasar setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pradicta Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penglihatan Mengganggu
Aku terbangun tengah malam dengan perasaan yang aneh. Rasanya tubuhku kaku, seolah ada sesuatu yang menghalangi untuk bergerak. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 2:03 pagi. Suara jangkrik dari luar rumah terdengar nyaring, namun ada hening yang lebih dalam, yang membuat suasana semakin menekan.
Aku merasakan ada yang berbeda. Tiba-tiba, bayangan itu muncul lagi di kepalaku—bayangan pria tua dengan wajah pucat dan senyum menyeramkan. Dalam kegelapan, aku mencoba menenangkan diri, berusaha untuk tidur kembali, tetapi mataku tetap terjaga. Seolah ada yang mengawasi, ada yang terus mengikuti.
Tiba-tiba, aku mendengar suara yang sangat samar, seperti langkah kaki pelan yang mendekat. Aku menoleh ke jendela kamar tidurku, dan saat itulah aku melihatnya.
Bayangan pria tua itu, tepat di luar jendela. Hanya berdiri di sana, menatapku dengan mata kosong yang gelap. Aku terdiam sejenak, berusaha memastikan apakah aku benar-benar melihatnya atau itu hanya imajinasiku. Namun, semakin aku menatap, semakin jelas bayangan itu terlihat. Sosoknya hanya diam, menatapku dengan tatapan kosong yang penuh misteri dan ketakutan.
Jantungku berdegup kencang. Aku ingin berteriak, tetapi suara itu seperti terhenti di tenggorokan. Aku berusaha untuk bergerak, tetapi tubuhku terasa beku. Tidak bisa. Tidak bisa bergerak. Bayangan itu tetap di sana, berdiri tegak di luar jendela, seolah menunggu sesuatu. Mungkin aku, mungkin yang lain. Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku tak bisa tinggal diam.
Dengan segala kekuatan, aku berlari keluar dari kamar tidur, menuruni tangga, dan menuju pintu depan rumah. Aku ingin memastikan apa yang aku lihat, ingin tahu apakah ini hanya halusinasi atau kenyataan yang semakin mengerikan. Ketika aku sampai di luar, udara malam yang dingin langsung menyambut, mengiris kulitku. Namun, yang lebih mengiris adalah rasa takut yang mulai menguasai setiap inci tubuhku.
Aku berlari ke halaman depan, berusaha mengejar bayangan itu, tetapi yang aku temui hanyalah keheningan malam yang begitu pekat. Bayangan pria tua itu hilang, lenyap tanpa jejak. Tidak ada siapa-siapa di sekitar rumah, hanya pohon-pohon yang bergoyang oleh angin yang seolah berbisik. Jantungku masih berdegup kencang, napasku terengah-engah.
Aku berdiri di tengah halaman, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Apakah itu benar? Apakah aku benar-benar melihatnya? Atau ini hanya imajinasi yang dipicu oleh rasa takut yang semakin mendalam? Tapi bayangan itu begitu nyata, begitu jelas. Sosok pria tua itu, dengan senyum yang selalu membuat perasaan ini semakin buruk.
Aku menoleh ke belakang, melihat rumah yang masih tampak gelap, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Rasa takut itu semakin membengkak, membesar, dan aku mulai merasakan ketidakpastian yang semakin dalam. Aku berlari kembali ke rumah, menutup pintu dengan kencang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan itu tidak hilang begitu saja. Tidak pernah hilang.
Pagi berikutnya, aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi semalam kepada teman-temanku. Mereka semua mendengarkan dengan penuh perhatian, namun ada keraguan yang tercermin di wajah mereka. Rudi, Indra, dan Danang terlihat cemas, sementara Fandi hanya terdiam, matanya tampak kosong, seperti sedang merenung jauh.
“Lo yakin lo nggak ngelihat halusinasi? Kan udah lama kita nggak ke sana, nggak ada alasan kenapa itu bisa terjadi,” kata Rudi, mencoba untuk masuk akal.
Tapi aku bisa melihat dari sorot matanya bahwa dia pun ragu, seolah dia juga merasa ada yang aneh. “Gue ngerasain hal yang sama,” kata Danang pelan, memecah keheningan. “Gue juga mulai liat hal-hal aneh sejak kemarin. Semalam, gue denger suara langkah kaki di belakang gue, tapi pas gue liat… nggak ada siapa-siapa.”
Indra menatap kami semua dengan cemas. “Gue denger bisikan aneh di telinga gue, kayak ada yang nyebut nama gue. Dan lo tahu sendiri, gue bukan orang yang gampang takut. Tapi kali ini, ada yang salah.”
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Bayangan itu yang aku lihat semalam, senyuman pria tua itu yang tidak pernah bisa aku lupakan—semuanya terasa semakin nyata, semakin dekat. Kami memang sudah kembali dari pasar setan itu, tetapi apakah kami benar-benar keluar? Apakah kami benar-benar bebas?
Danang menghela napas panjang, kemudian dia berkata, “Mungkin kita belum benar-benar keluar dari sana. Mungkin pasar itu masih mengikat kita, meskipun kita sudah di sini.”
“Lo maksud apa?” tanya Fandi, yang sejak tadi diam saja, seolah memikirkan sesuatu yang dalam.
“Gue merasa, pasar itu nggak cuma tempat fisik. Itu mungkin kayak dimensi lain yang kita bawa ke sini. Kayak ada yang mengikuti kita. Seperti kita terjebak dalam kenangan yang nggak bisa lepas,” jelas Danang dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.
Kami semua terdiam mendengarnya. Apa yang Danang katakan terasa masuk akal. Pasar setan itu bukan hanya tentang tempat. Itu lebih dari itu—itu tentang pilihan yang kami buat, tentang perasaan yang kami bawa pulang, dan tentang arwah-arwah yang terperangkap. Bahkan setelah kami meninggalkan tempat itu, apakah kami benar-benar keluar dari sana?
“Kita nggak bisa terus begini,” kata Indra, matanya penuh keresahan. “Mimpi buruk itu terus datang, suara tawa itu, dan sekarang penglihatan seperti yang lo alami. Apa kita harus kembali ke sana? Apa itu satu-satunya cara buat berhenti dihantui semua ini?”
Aku menatap mereka semua. Perasaan takut itu masih ada, membekas di hati kami. Kami semua merasa terperangkap dalam dimensi yang tak bisa kami pahami, di antara dunia nyata dan dunia pasar setan itu. Aku tahu kami harus kembali ke sana, mencari jawaban, mencari tahu apakah kita benar-benar sudah bebas atau hanya terjebak dalam ilusi.
“Kalau kita nggak kembali,” kata Rudi dengan suara penuh tekad, “kita nggak akan pernah tahu. Kita nggak bisa terus hidup dalam ketakutan dan kebingungan ini. Kita harus cari cara buat mengakhirinya.”
Kami semua saling pandang, saling membaca ketakutan yang sama di mata masing-masing. Keputusan ini tidak akan mudah. Pasar setan itu sudah mengubah kami, dan kami tahu, jika kami kembali, kami mungkin tidak akan pernah bisa keluar lagi. Namun, di dalam hati kami, ada rasa yang lebih kuat—keinginan untuk memahami, untuk menemukan jalan keluar, meskipun itu berarti menghadapi ketakutan terbesar kami.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Kita akan kembali. Kita harus menemukan cara untuk mengakhirinya. Dan kali ini, kita nggak boleh gagal.”
Semua setuju dengan keputusan itu, meskipun wajah kami dipenuhi kecemasan. Kami tahu ini akan menjadi perjalanan yang lebih berat dari sebelumnya, tetapi kami tidak bisa hidup dalam bayangan itu selamanya. Pasar setan mungkin telah mengikat kami, tetapi kami masih punya harapan—harapan bahwa kami bisa mengakhiri siklus ini.
Kami berdiri bersama, bersiap untuk perjalanan berikutnya. Keputusan sudah diambil, dan kami tahu kami tak bisa lagi mundur. Dengan hati yang berat, kami melangkah maju, menuju tempat yang mengerikan itu, tempat yang tak pernah benar-benar kami tinggalkan.