Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Alea, bercampur dengan napasnya yang tersengal-sengal. Matanya memerah, sorot ketakutan yang selama ini ia pendam kini tak lagi bisa disembunyikan.
“Jangan takut… Aku Fandi. Beberapa hari lalu kita sempat bertemu,” ucap sosok di sampingnya. Suaranya terdengar lembut, tapi ada sesuatu di balik nada itu—seolah memaksa Alea untuk mempercayainya.
Perlahan, Fandi mengulurkan tangan, mencoba menyentuh jemari Alea yang gemetar hebat. Sentuhan itu seharusnya menenangkan… namun yang terjadi justru sebaliknya. Seperti sumbu yang tersulut api, ketakutan yang selama ini ia tahan pecah begitu saja.
Panik merambat cepat di seluruh tubuh Alea. Nafasnya tersengal-sengal. Matanya bergerak liar, menatap ke kanan dan kiri, mencari sosok Ibu Maisaroh—satu-satunya pelindung yang selalu ada di sisinya. Namun sampai detik itu, sosok yang ia harapkan belum juga muncul.
“Tenang… aku tidak akan menyakitimu,” suara Fandi kembali terdengar. Tapi kali ini, nada itu justru menambah sesak di dada Alea. Ada ketegangan samar di balik ucapannya, sesuatu yang membuat waktu terasa berjalan begitu lambat, menyiksa setiap detik yang berlalu.
Alea merasa terpojok, terperangkap di ruang sempit yang semakin menutup rapat. Tanpa pikir panjang, tubuhnya bergerak spontan. Ia bangkit berdiri dengan gerakan tergesa. Fandi sontak terkejut.
Infus di tangan Alea terlepas, bergoyang bebas, tetesan cairan berserakan di tanah. Ia melangkah terburu-buru, seolah hanya ingin pergi sejauh mungkin dari situasi yang mencekiknya, tak peduli rasa perih yang menjalar di punggung tangannya.
Namun tubuhnya terlalu lemah. Langkahnya terhuyung, napasnya terputus-putus. Lalu—satu batu kecil di hadapannya membuat segalanya hampir berakhir buruk. Alea tersandung, tubuhnya nyaris terjerembab ke tanah.
Hingga tiba-tiba, sebuah tangan sigap menyambarnya, menghentikan tragedi yang nyaris terjadi. Tangan itu datang begitu cepat, meraih pinggang Alea sebelum tubuhnya benar-benar terhempas. Satu tarikan kuat menghentikannya tepat di tepi selokan yang menganga, seolah memutus garis tipis antara hidup dan petaka.
Alea terdiam. Napasnya memburu, dadanya naik turun tak teratur. Ia hampir tak percaya ada tangan yang menopangnya—hangat, kuat, tapi sekaligus membuatnya gugup. Faizan, Sosok itu.
Dalam sekejap, Alea sadar siapa yang telah menyelamatkannya. Refleksnya bekerja lebih cepat dari pikirannya. Kedua tangannya mendorong dada bidang pria itu dengan panik, seolah sentuhan itu adalah bara api yang harus segera ia jauhi. Faizan terhuyung, langkahnya goyah sesaat, tapi tatapannya tetap tertuju pada Alea.
“Apa yang kau lakukan?!” Suara Faizan pecah, menusuk udara yang sempat hening. Tajam. Dingin. Seakan menembus lapisan hati yang paling rapuh.
Alea mematung. Ketakutan menyergapnya seperti bayangan pekat. Ia melangkah mundur, tubuhnya gemetar hebat, jantungnya berdegup tak terkendali. Saat mata mereka bertemu, Alea seperti terjebak—tak ada yang terdengar selain suara detak jantungnya sendiri dan sorot mata Faizan yang sulit ditebak, membuat ketakutannya semakin nyata.
Faizan merasakan getaran ketakutan yang begitu jelas dari genggaman tangan Alea. Jantungnya berdegup tak beraturan. Spontan, ia melepaskan pelukannya. Namun, tubuh Alea justru terkulai lemas, seolah semua tenaga meninggalkannya begitu saja.
“Alea!” Faizan dengan sigap kembali merengkuhnya. Panik dan cemas tergambar jelas di wajahnya. Namun, sebelum sempat ia berkata apa pun, Alea sudah tak sadarkan diri di dalam pelukannya.
Akhirnya, Ibu Maisaroh muncul, napasnya masih terengah-engah setelah kembali dari kamar mandi. “Faiz… apa yang terjadi dengan Alea?” tanyanya dengan suara bergetar.
Faizan menoleh, matanya menyala—campuran antara takut dan panik. “Mama dari mana saja? Dia hampir saja celaka, Ma!” ujar Faizan, berusaha menahan emosinya.
“Mama hanya ke kamar mandi sebentar…” suara Ibu Maisaroh lirih, nyaris tenggelam di antara detak jantung yang berpacu. Penyesalan yang begitu dalam tergambar jelas di wajahnya.
Faizan tidak menjawab. Rahangnya mengeras, matanya berkilat penuh emosi yang tertahan. Tanpa sepatah kata, ia mengangkat tubuh Alea yang lemas tak berdaya, seolah gadis itu bisa pecah kapan saja bila dipegang terlalu keras.
“Kau mau bawa mantu Mama ke mana, Faiz?!” suara Ibu Maisaroh pecah, panik bercampur takut, melihat Alea digendong putranya.
Namun, Faizan tetap diam. Langkahnya cepat, penuh tekad, menyusuri lorong rumah sakit menuju ruangan perawatan. Satu-satunya yang ada di benaknya hanyalah Alea—gadis itu harus segera mendapatkan pertolongan.
Waktu seakan berjalan begitu lambat. Tiga puluh menit terasa seperti seumur hidup sebelum akhirnya dokter keluar dari ruangan Alea. Wajahnya serius, sorot matanya penuh kehati-hatian saat berbicara.
“Mental pasien masih sangat lemah. Karena itu, penting untuk menjauhkan pasien dari segala hal yang berpotensi memicu ingatan tentang traumanya,” ucap dokter, setiap katanya terdengar berat, seperti menancap di hati semua yang ada di ruangan itu.
Sejak hari itu, Faizan mengambil keputusan berat: ia tak lagi menginjakkan kaki di rumah sakit. Semua tanggung jawab ia serahkan kepada Fandi. Bukan karena ia tak peduli—justru sebaliknya. Ia takut kehadirannya hanya akan membuka kembali luka yang berusaha Alea lupakan.
...----------------...
Bersambung...