Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Savero yang Terpesona…
Suasana lantai kantor yang tadinya riuh oleh perubahan dadakan Jingga, ketikan keyboard, dan dering telepon mendadak seperti terhenti. Hanya suara langkah tegas yang menggema dari arah pintu membuat semua orang refleks menunduk. Tak ada yang berani bersuara, apalagi menatap lurus ke depan.
Savero baru saja kembali dari perjalanan dinas luar kota. Wajah tampan tegasnya tampak letih, tapi sorot matanya tetap tajam. Ia berjalan lurus, sikapnya dingin seperti biasa. Namun tepat ketika ia melintas di depan meja Jingga, langkahnya sempat melambat.
Matanya tanpa sadar terpaku.
Jingga yang sedang merapikan tumpukan kertas menoleh sekilas, dan saat itu pula Savero tercekat. Baru dua hari ia pergi, tapi seolah perempuan itu berubah total. Rambutnya terurai rapi, wajahnya segar dengan sentuhan tipis make up, dan senyum kecil di bibirnya justru membuatnya terlihat lebih… cantik.
Savero memandang terlalu lama. Bahkan ia sendiri tidak sadar tatapannya menelusuri wajah Jingga yang berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang mengganggu, membuat dadanya terasa tidak tenang.
Nisa, yang duduk tak jauh, menahan tawa melihat sepupunya itu bengong. Sedangkan Jingga buru-buru menunduk, pura-pura sibuk mengutak-atik penjepit kertas di mejanya. Pipinya justru merona, entah karena malu atau jengah diperhatikan begitu.
Barulah Savero tersadar. Ia berdehem keras, membuat beberapa staf terlonjak kaget. Dengan cepat ia melanjutkan langkah menuju ruangannya. Untung saja semua karyawan menunduk, sehingga hanya Nisa dan Jingga yang benar-benar menyadari momen canggung itu.
Begitu tiba di ruang kerjanya, Savero menjatuhkan diri ke kursi. Jemarinya mengetuk meja, pikirannya melayang pada wajah yang tadi ia lihat. Rona pipi, kilat mata, senyum samar, semuanya masih terbayang jelas.
“Tch… hanya dua hari aku pergi, dia bisa berubah begini,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Ia menghela napas panjang. “Tidak apa-apa kan kalau aku melihatnya lagi? Hanya untuk memastikan kalau make upnya tidak menor…”
Sebagai alasan, ia menyambar selembar kertas di mejanya, bahkan tak memperhatikan isinya, lalu kembali keluar.
“Kerjakan ini,” ucapnya singkat sambil menyodorkan kertas itu pada Nisa.
Nisa menatapnya curiga. “Baik, Pak. Tapi… kenapa Bapak repot-repot turun sendiri? Biasanya lewat sekretaris.” Tanya Nisa jahil.
“Sudah. Kerjakan saja.” Jawaban itu meluncur cepat, sementara matanya sempat melirik sekilas ke arah meja Jingga.
Dan momen setelah itu tetap berlanjut seperti yang tadi: Jingga tersipu, Nisa menahan senyum, dan Savero salah tingkah.
Begitu Savero berlalu dan pintu lift tertutup, suasana kantor kembali berdesis. Beberapa staf saling pandang, ada yang mengangkat alis, ada juga yang heboh berbisik-bisik. Jarang sekali bos besar turun hanya untuk menyerahkan selembar kertas.
Nisa sudah tak bisa menahan cekikikan. Ia beranjak dari kursinya, melangkah ringan ke arah meja Jingga sambil membawa kertas yang tadi disodorkan Savero.
“Eh, liat deh, Jingga,” bisiknya sambil menyodorkan kertas itu ke hadapan sahabatnya. “Tau nggak ini apa?”
Jingga mengerling sekilas lalu menatap Nisa bingung. “Agenda rapat? Terus kenapa? Itu kan kerjaan sekretarisnya, bukan kamu.”
“Nah itu dia!” Nisa menepuk pelan meja Jingga sambil menahan tawanya. “Apanya yang mau dikerjain coba? Nih liat, bahkan udah rapi dibuat sekretarisnya. Bos besar itu cuma nyari-nyari alasan biar bisa ngeliatin kamu, fix dia terpesona tuh.”
“Apaa?” Jingga hampir terbatuk saking kagetnya. Ia buru-buru merendahkan suara. “Nis, kamu waras nggak? Terpesona sama aku? Ih, jangan halu deh. Itu bos tiran loh. Kalo pun emang dia tadi ngeliatin, itu pasti dia lagi nyari-nyari kesalahanku biar bisa motong gaji, di depannya aku ini selalu salah, Nis. Bahkan mendadak cantik pun bisa jadi alasan buat nambah koleksi memo potongan gajiku.”
Nisa ngakak pelan, sampai-sampai harus menutup mulutnya dengan kertas. “Ya ampun, sumpah ekspresi dia tadi kebaca banget. Tatapan bengong, terus salah tingkah pas sadar lagi banyak orang. Jingga, kalo itu bukan modus, namaku bukan Nisa deh.”
Jingga mencibir, “Aduh, Nis. Jangan bikin gosip yang nggak-nggak. Dia tuh, kalo dikasih pilihan cuma ada dua makhluk hidup di dunia ini buat disukain, aku sama kodok, aku yakin dia lebih milih kodok. Udah jelas, udah pasti, udah fix.”
Ucapan itu bikin tawa Nisa hampir meledak lagi, tapi ia tahan, hanya geleng-geleng sambil nyengir. Dalam hati ia tahu, Jingga benar-benar salah paham. Tapi untuk saat ini, biarlah. Justru lucu melihat dua orang itu saling salah tafsir begini.
“Yaudah deh, terserah kamu, Neng Kodok,” ledek Nisa sambil mencubit pelan pipi Jingga. “Tapi aku kasih tahu, kamu jangan kaget kalau ternyata kodoknya yang jatuh cinta duluan sama kamu.”
Jingga langsung mendelik. “Apaan sih, Nis! Seriusan, aku bisa muntah loh dengernya.”
“Ya muntahnya di tempat lain aja, jangan disini, nanti bau.” Nisa nyengir, lalu kembali ke kursinya sambil menahan senyum puas.
Jingga menghela napas panjang, lalu menunduk pura-pura sibuk dengan dokumennya. Tapi pipinya tetap saja kemerahan, dan ia sendiri bingung kenapa.
Setelah Nisa kembali ke mejanya, Jingga masih saja diam memandangi tumpukan kertas di depannya. Senyumnya tadi sudah menguap, berganti dengan perasaan tak enak di dada. Tatapan Savero barusan… Nisa jelas melihatnya. Bagaimana kalau Nisa salah paham? Bagaimana kalau Nisa mengira Savero benar-benar menaruh hati padanya?
Jingga menggigit bibir, menunduk lebih dalam. Ia masih berpegang pada keyakinan lama: Savero dan Nisa punya hubungan spesial. Meski mereka berdua tak pernah mengaku terang-terangan, Jingga merasa sikap mereka terlalu akrab untuk sekadar atasan–bawahan. Dan kalau dugaan itu benar… bukankah situasi tadi bisa bikin Nisa terluka?
“Ya Tuhan…” Jingga berdesah pelan, jemarinya mengetuk meja tanpa pola. “Aku jangan sampai bikin Nisa kecewa. Dia satu-satunya orang yang masih di sisiku sekarang. Jangan sampai rusak gara-gara hal begini.”
Ia lalu memaksa dirinya menegakkan bahu, memasang wajah jenaka seperti biasa, seakan tak ada apa-apa. Tapi di balik senyum kecil yang ia pasang, hatinya berdenyut gelisah.
Di deretan kubikel seberang, dua pasang mata mengawasi dengan perasaan berbeda. Runa yang duduk di meja resepsionis pura-pura sibuk menata berkas, padahal matanya terus mengintai ke arah Jingga. Bibirnya mencebik, jelas tak suka melihat interaksi tadi.
“Dasar murahan,” gumam Runa pelan, cukup hanya Lidya di sampingnya yang bisa mendengar. “Baru dandan dikit aja, udah cari perhatian gitu sama Pak Savero. Aku jadi muak ngeliatnya.”
Lidya menahan senyum tipis, matanya menyorot penuh kebencian ke arah Jingga. “Santai, Run. Dia nggak akan lama di atas. Percaya aja, semua orang bisa jatuh dari puncak dengan cepat. Tinggal kita kasih dorongan kecil.”
Runa melirik sekilas, matanya berkilat puas mendengar ucapan itu. “Awas aja si Jingga itu. Habis dia nanti.”
Lidya mengangguk pelan, lalu meneguk kopinya dengan wajah pura-pura tenang. “Tenang aja. Aku sudah mulai. Gosip itu baru pemanasan. Sebentar lagi, semua orang akan benar-benar berbalik membencinya.”
Mereka berdua tersenyum samar, sama-sama merasa sudah berada di jalur yang benar untuk menjatuhkan Jingga.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya