sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 26
“Mau apa kamu ke sini?” tanya perempuan bermata juling itu. Tatapannya sinis, tapi suaranya terdengar seperti orang yang sedang kambuh ayan.
Melati berdiri di Loby kampus tampak mahasiswa yang lalu lalang berhenti seperti melihat sebuah pertunjukan, malas sekali rasanya bertemu janda yang justru membuat dirinya jadi janda. Udara panas siang itu membuat peluh menetes di pelipisnya, namun hawa tegang jauh lebih terasa dibandingkan panas matahari.
“Hey, janda! Jawab pertanyaanku!” hardik Mawar dengan nada tinggi.
“Aku jadi janda karena kamu,” ucap Melati tajam. “Bukan urusan kamu aku mau ngapain ke sini.”
Mawar tertawa sinis. “Kamu bilang bukan urusanku?” katanya sambil melipat tangan di dada. “Lihatlah baju kamu, atasan putih pakai rok hitam. Jelas sekali kamu mau bekerja di sini, kan?”
Melati bergumam dalam hati, wah, ternyata benar, dia bekerja di sini. Pantas saja Mbak Sumi sangat ingin aku melamar kerja di kampus ini. Rupanya, aku akan ditempatkan di tempat di mana Mawar bisa membuli aku setiap hari. Ia langsung waspada. Terlalu berlebihan, sih, tapi untuk seseorang yang trauma karena perundungan, wajar saja kalau pikirannya langsung penuh curiga.
“Kamu tahu,” kata Mawar dengan nada tajam, “di sini selain aku dosen, aku juga bagian penerimaan karyawan. Jadi kalau kamu mau kerja di sini, maka kamu harus bersujud padaku dan cium kakiku.”
Melati menghela napas berat. Ia datang ke kampus, tempat orang berpendidikan, tapi rasanya seperti kembali ke zaman kolonial atau zaman kerajaan, di mana seorang pekerja harus menyembah tuannya.
“Aku rasa tempat ini ortodoks sekali,” ujar Melati kesal.
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” tanya Mawar ketus.
Melati menatap Mawar dengan tajam. “Masih ada, ya, zaman seperti ini, di mana semuanya hampir dikerjakan oleh robot tapi masih ada sistem perbudakan. Aku merasa seperti kembali ke abad ke-18.”
“Diamlah! Tahu apa kamu tentang sejarah?” bentak Mawar dengan suara meninggi.
Melati tak menjawab. Beberapa mahasiswa yang sedang duduk di taman depan gedung fakultas mulai memperhatikan mereka. Ada yang berhenti di tangga, ada pula yang pura-pura sibuk dengan ponsel, padahal jelas sedang menguping.
“Jangan belagu kamu. Sudah bodoh, keras kepala lagi!” seru Mawar.
“Baiklah, Bu Dosen yang paling mengerti sejarah,” ucap Melati menantang. “Saya mau tanya. Tanggal 13 Oktober dua puluh tahun lalu ada peristiwa apa? Tiga puluh tahun lalu ada peristiwa apa? Atau pada abad ke-18 tanggal 13 Oktober ada peristiwa apa?”
Mawar memutar bola matanya. “Pertanyaan tidak penting. Aku calon doktor, tidak penting mengetahui hal itu.”
Melati mengangkat dagunya. “Seorang doktor tidak minat dengan sejarah, lalu mengatakan aku buta sejarah? Dosen macam apa kamu?”
“Melati!” bentak Mawar.
“Jangan marah, Bu Dosen yang mulia. Kibarkan saja bendera putih tanda kamu menyerah, dan berhentilah memandang rendah orang lain.”
“Berisik, Melati!” hardik Mawar, suaranya meninggi lagi. Niat hati ingin menghina Melati, tapi apa daya, Melati justru melontarkan rentetan pertanyaan yang tak mampu ia jawab.
“Berisik?” Melati mengulang kata itu. “Kamu seorang intelektual, seharusnya suka dengan kebisingan pengetahuan. Atau jangan-jangan kamu jadi doktor hasil nyogok, ya?”
“Itu fitnah, Melati! Pencemaran nama baik!”
“Pencemaran nama baik itu kalau tidak sesuai fakta. Aku hanya mengungkapkan kenyataan,” balas Melati dengan tenang.
“Kamu—!” bentak Mawar lagi. Matanya melotot, hampir saja keluar, untung ia memakai kacamata, jadi tidak terlalu terlihat.
“Jangan bentak aku,” kata Melati dingin. “Kalau kamu bisa jawab pertanyaanku tadi, aku akan sujud padamu.”
“Kapan aku menyuruh kamu sujud padaku?”
“Astaga, Ibu Dosen ini rupanya amnesia,” sahut Melati. “Bukankah tadi kamu bilang aku bisa kerja di sini asal aku sujud padamu?”
Melati menatap ke arah langit-langit gedung, menunjuk salah satu sudut. “Tuh, ada CCTV. Aku harap kamera itu juga bisa merekam suara.”
Tubuh Mawar tampak bergetar. Mahasiswa yang menonton semakin ramai. Beberapa dari mereka menahan tawa, sebagian lagi merekam diam-diam dengan ponsel.
“Oh, aku tahu, kamu hanya menggertakku, kan?” ujar Mawar mencoba membalik keadaan. “Kamu juga tidak tahu dua puluh tahun kebelakang ada peristiwa apa!”
Melati tersenyum tipis. “Aku ini bodoh, SMP pula. Wajar kalau aku tidak tahu. Tapi kamu itu dosen, memalukan sekali kalau pengetahuanmu dangkal.” Ia menatap Mawar lurus. “Tapi baiklah, aku akan jawab. Tanggal 13 Oktober dua puluh tahun lalu terjadi gempa bumi besar di India dan Pakistan. Delapan puluh enam ribu orang tewas. Dua puluh tahun lalu juga terjadi peristiwa Bom Bali. Banyak sekali yang meninggal.”
Melati mendekat satu langkah. “Gitu aja enggak tahu. Dasar amatiran.”
“Kamu!” Mawar mengangkat tangannya, wajahnya merah padam.
“Apa? Mau menampar aku?” tanya Melati tenang. “Jadi begini, ya, cara orang berpendidikan kalau kalah debat—main pukul?”
“Huuuuuu!” terdengar suara ejekan dari arah mahasiswa yang menonton.
“Pergi sana!” bentak Mawar akhirnya.
“Ya, pergilah. Ngapain juga aku di sini,” ucap Melati datar. Ia meraih tas tangannya yang diletakkan di kursi tunggu, lalu melangkah mantap menuju pintu keluar gedung fakultas,
Sudut bibir Melati melengkung, menampilkan senyum penuh kemenangan. Sementara itu, Mawar melangkah cepat menuju ruangan rektorat. Andai saja ada handuk, pasti sudah ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang memerah karena malu.
Melati berjalan santai menuju tempat parkir di sisi kampus. “Banyak jalan menuju Juventus, banyak jalan mencari uang,” gumamnya sambil tersenyum miris. Berbagai rencana berkelebat di kepalanya—mulai dari berjualan seblak, batagor, bahkan tahu bulat. Apa pun akan ia jalani demi bertahan hidup.
Ia mengenakan jaket lusuhnya, lalu menyalakan sepeda motor tuanya. Mesin meraung pelan, menandakan sudah lelah tapi masih setia menemaninya ke mana pun.
“Dasar orang bodoh, teramat bodoh,” gumam Melati dalam hati. “Padahal jawabanku tadi cuma ngarang, malah enggak bisa jawab. Aku belum menemukan lawan debat yang seimbang.” Ia terkekeh kecil sebelum akhirnya melajukan motornya ke luar gerbang kampus.
Di perjalanan, angin sore menyapu wajahnya. Bibir Melati pelan melantunkan hafalan Al-Qur’an. Sejak masa idah, ia bertekad memperbaiki diri, mendekat pada Tuhan, dan mencari kekuatan. Hidup memang tidak mudah. Bukankah ujian datang untuk ditempuh, bukan dihindari?
Namun, kantuk mulai menyerang. Semalaman ia bermain ponsel hingga hafalannya kacau. Pandangannya kabur, kelopak matanya terasa berat.
“Bruk!”
Sepeda motornya menabrak bagian belakang sebuah mobil sedan hitam yang sedang parkir di pinggir jalan.
“Astagfirullah…” bisiknya panik. Mobil itu tampak penyok, logonya terpampang jelas—Mercedes.
“Kenapa aku bisa lengah,” gumamnya putus asa.
Pintu mobil terbuka. Seorang pria tinggi besar keluar, mengenakan jas hitam rapi dan sepatu mengilap. Hidungnya mancung, pipinya berbrewok tipis. Dari tampilannya, ia tampak seperti lelaki Timur Tengah yang berwibawa.
Ia berjalan memeriksa bodi mobil, lalu melepas kacamata hitamnya. Tatapannya tajam mengarah pada Melati yang berdiri kaku.
Dada Melati berdebar hebat. Menggores mobil mewah jelas bukan perkara kecil.seperti menggores angkot
“Biayanya seratus juta,” ucap pria itu datar.