Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seekor Burung Kecil
Seperti biasa, pulang sekolah Bintang mendapati Mamanya sudah menunggu di gerbang. Talita berdiri dengan senyum penuh kasih sayang, lalu segera merentangkan tangan untuk memeluk anaknya. “Bagaimana hari ini, Bintang? Menyenangkan atau tidak?” tanyanya lembut, seperti sebuah doa yang selalu ia ulang tiap kali menjemput.
Bintang menunduk sebentar, menyembunyikan gelombang perasaan yang bergemuruh di dadanya. Ia ingin bercerita, ingin meluapkan isi hatinya yang tertekan setelah membaca surat rahasia itu. Namun ia tahu, Mama Talita sudah terlalu banyak menanggung beban, bekerja keras membersihkan rumah besar Tuan Angkasa, merawat Tuan Langit, kadang mendapat bentakan dan kemarahan, lalu berdiam dengan air mata di kamar. Bintang tidak sanggup menambah luka itu. Jadi ia tersenyum kecil, memeluk Mamanya erat, lalu berkata singkat, “Hari ini menyenangkan, Ma.”
Mereka pun pulang naik motor ojek langganan. Seperti biasa, Bintang duduk di tengah, diapit bapak tukang ojek di depan dan Mama Talita di belakang. Embusan angin terasa sejuk, dan dekapan lembut Mamanya di punggung memberi rasa hangat yang menenangkan. Dalam hati, Bintang berbisik “Kalau aku bisa menyimpan rahasia ini selamanya, asal Mama tetap tersenyum, aku rela.”
Namun malamnya, rahasia itu kembali menghantam pikirannya. Saat lampu kamar padam, rasa sepi menyelimuti, dan air matanya tak terbendung. Ia menangis keras, tubuh kecilnya bergetar. Talita yang mendengar segera menghampiri, panik sekaligus cemas. Ia menggendong Bintang, mengusap kepalanya, lalu membawanya keluar kamar. “Sayang, ada apa? Ceritakan sama Mama, ya,” bujuknya.
Bintang menggeleng kuat-kuat. Ia tak bisa, mulutnya seolah terkunci oleh janji pada dirinya sendiri. Ia hanya menangis semakin keras. Talita menatapnya dengan bingung, hatinya ikut perih. Ia pikir ini hanyalah tantrum anak kecil, mungkin lelah atau mimpi buruk. Jadi ia mencoba menenangkan dengan belaian, bisikan, dan janji-janji kecil. Tapi tangis itu tak juga reda.
Keributan itu akhirnya terdengar sampai ruang kerja. Angkasa keluar dengan wajah meradang. Suaranya tajam menusuk udara malam. “Talita! Kenapa kau tidak bisa menenangkan anak ini? Apa yang sebenarnya kau lakukan?”
Talita terdiam, tersudut. Ia hanya bisa menggenggam erat bahu Bintang, takut sekaligus bingung.
Angkasa melangkah cepat, lalu meraih Bintang dari pelukan Talita. Dengan sigap ia mengajaknya duduk di ruang kerjanya. Aneh, tapi Bintang yang tadi meraung di pelukan Talita, kini perlahan mereda di pangkuan Angkasa. Angkasa menyalakan layar tablet, memutar animasi fabel kesukaan anak-anak. Diiringi suara narasi hewan-hewan lucu, tangis Bintang berangsur padam. Ia menyandarkan kepala di dada Angkasa, tersedu-sedu kecil hingga akhirnya terdiam.
Talita berdiri di depan pintu, menyaksikan pemandangan itu dengan hati yang campur aduk. Ada kelegaan karena Bintang sudah tenang, tapi juga sesak karena Angkasa selalu menyalahkannya, seolah semua tangisan dan kesedihan anak itu adalah kesalahannya seorang.
Di sisi lain, Angkasa tak mau mengaku. Tapi jauh di lubuk hati, ada sesuatu yang bergetar saat Bintang berhenti menangis dalam dekapannya. Sesuatu yang asing, yang selama ini ia tolak, rasa memiliki.
Di ruang kerja yang remang, suara animasi mengalun pelan dari tablet.
Di tepi hutan, ada seekor ‘burung kecil’. Ia lahir saat badai besar melanda. Sarangnya terhempas angin, dan ia jatuh sendirian. Burung kecil sering merasa sedih.
“Kenapa aku lahir begini? Kenapa aku tidak seperti burung lain yang punya sarang hangat?” katanya dalam hati.
Suatu hari, burung kecil berteduh di bawah pohon raksasa yang tinggi sekali.
Pohon itu berkata dengan suara lembut,
“Burung kecil, jangan sedih. Memang benar kau lahir saat badai. Tapi justru karena badai itu, sayapmu jadi lebih kuat. Kau terbiasa melawan angin sejak kecil.”
Burung kecil terkejut. “Benarkah aku kuat?”
“Tentu saja,” kata pohon. “Kau bisa terbang tinggi, lebih tinggi dari burung manapun. Dan kau bisa bernyanyi indah, membuat semua makhluk di hutan bahagia.”
Burung kecil pun tersenyum untuk pertama kalinya. Ia berlatih terbang setiap hari, berani melawan angin. Hingga akhirnya, ia benar-benar bisa terbang tinggi sekali, sambil bernyanyi dengan suara yang merdu.
Semua hewan di hutan senang mendengar suaranya. Tak ada lagi yang peduli bagaimana ia lahir. Mereka hanya melihat burung kecil yang hebat dan membawa kebahagiaan.
Bintang menatap layar itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasakan sesuatu yang sama. Ia juga merasa sendirian… merasa dirinya anak yang datang begitu saja, tak diharapkan, bahkan mungkin menjadi penyebab kesedihan Mamanya.
Namun perlahan, dalam hatinya muncul bisikan penghiburan, meskipun ia lahir dengan cara yang berbeda, itu tidak membuatnya kurang berharga. Justru karena itulah ia bisa tumbuh jadi anak yang kuat, istimewa, dan penuh keberanian. Orang tidak akan menilainya dari bagaimana ia lahir, tapi dari siapa dirinya sekarang, anak pintar, baik hati, dan selalu membawa senyum untuk Mama.
Bintang menatap lebih lama ke layar, seakan burung kecil dalam cerita itu sedang berbicara langsung padanya. “Jangan sedih dengan asal-usulmu. Simpan itu sebagai cerita saja. Yang terpenting adalah masa depanmu, yang akan selalu penuh cahaya… sama seperti burung kecil yang akhirnya terbang tinggi.
Bintang memanglah ajaib, balita itu dapat mengambil hikmah dalam cerita fabel sederhana.
Malam semakin tinggi, lama Bintang duduk di pangkuan Angkasa, Bintang merasa aneh. Ada rasa hangat, berbeda dengan dekapan Mama Talita yang penuh kelembutan. Pelukan Angkasa keras, agak kaku, tapi membuat Bintang seperti dilindungi oleh dinding kokoh. Ia mendengar detak jantung Angkasa dari dada tempat kepalanya bersandar. Detak itu kuat, tegas… dan tanpa sadar, menenangkan.
Bintang menoleh sekilas ke wajah Angkasa. Ada keraguan di sana, ada rasa ingin bertanya. Namun bibir mungil itu tak sanggup bicara. Ia hanya menghela napas kecil, lalu memeluk lebih erat lengan Angkasa. Dalam diam, Bintang merasakan sesuatu yang tak bisa ia sebutkan, kehangatan yang selama ini ia rindukan, kehangatan seorang ayah yang sebenarnya sangat dekat, tapi jauh oleh rahasia.
Angkasa menunduk sejenak, menatap anak kecil itu yang akhirnya terlelap dengan mata bengkak. Ada perasaan aneh menggelitik hatinya, perasaan yang ia tolak, tapi semakin hari semakin sulit ia abaikan.
makasih sudah mampir