NovelToon NovelToon
THE MASK OF SILENCE

THE MASK OF SILENCE

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Reinkarnasi / Kelahiran kembali menjadi kuat / Akademi Sihir
Popularitas:218
Nilai: 5
Nama Author: MishiSukki

Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.

Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.

Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.

Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?

Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Hujan dan Bayang-Bayang Keadilan

Hujan mengguyur kota dengan derasnya, membasahi jalanan yang memantulkan kilau lampu neon. Bangunan-bangunan megah berdiri kokoh, menantang langit kelabu, sementara di sudut-sudut gelapnya, kehidupan manusia yang tersisih berjuang dalam keputusasaan yang tak berkesudahan.

Kota ini adalah ladang para dewa palsu—pejabat korup, pengusaha rakus, dan orang-orang kaya yang menganggap diri mereka berada di atas segalanya. Tapi mereka salah. Mereka semua hanyalah boneka yang menari di atas benang-benang keserakahan.

Malam ini, benang-benang itu akan putus. Malam ini, dia akan berburu.

Di dalam sebuah ruangan gelap di lantai paling atas sebuah gedung terlantar, seorang pria duduk di depan layar komputer. Cahaya monitor yang dingin menerangi wajahnya yang tirus, menampakkan mata tajam yang menatap data-data berserakan.

Rekening bank rahasia, bukti transaksi haram, daftar nama mereka yang berlumuran dosa—semua itu adalah peta harta karun yang menjijikkan, dan dia tahu persis di mana harus menggali.

Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, menari-nari bagaikan pemain piano yang gila. Dia meretas sistem keamanan yang konon tak tertembus, menyebarkan kebenaran ke dalam jaringan layaknya virus yang mematikan. Biarkan mereka melihat, biarkan mereka panik.

Biarkan mereka melihat bayangan kematian yang kini mengikuti langkah kaki mereka. Dan ketika mereka ketakutan, dia akan datang.

Mereka menyebutnya monster, iblis, hantu yang memburu para penguasa. Tapi dia bukan itu semua. Dia adalah keadilan yang tidak bisa dibeli, algojo bagi mereka yang mengira diri mereka abadi. Tidak ada pengampunan, tidak ada negosiasi. Hanya ada satu hukum yang berlaku baginya: darah akan mengalir. Malam ini, dan seterusnya.

Di balik kehidupan malam yang kelam, yang diselimuti oleh cahaya kota modern tahun 3200 M, Noir hanyalah seorang pria biasa yang baru dewasa, berusia 23 tahun. Ia menjalani hidupnya sebagai karyawan rendahan di sebuah perusahaan besar.

Setiap hari, ia bangun pagi dengan tubuh terasa remuk, pergi bekerja bagaikan zombie yang digerakkan oleh rutinitas, lalu pulang larut malam dengan tubuh lelah dan pikiran kosong. Rutinitas itu berulang tanpa akhir, seakan hidupnya hanyalah roda yang terus berputar tanpa tujuan.

Namun di balik wajahnya yang tenang dan matanya yang sepekat malam, Noir menyimpan luka yang tak terhapuskan. Seumur hidupnya, ia hanya merasakan kesakitan—diperalat, dihina, diinjak-injak oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan harta. Dunia ini tidak pernah memberinya kesempatan untuk bernapas. Ia hanya catur di papan permainan mereka.

Hujan rintik-rintik jatuh di atap rumah kecilnya, mengalun seperti bisikan lirih kenangan yang enggan pergi. Di dalamnya, Noir duduk diam di kursi reyot, tangannya menggenggam secarik foto usang. Kesunyian dan bayang-bayang masa lalu kini menjadi satu-satunya teman yang setia.

Ia pernah mencintai, mencintai dengan segenap hidupnya. Ia pernah menanam harapan dalam setiap langkahnya. Namun, harapan itu terkubur bersama jejak kaki sang istri yang memilih pergi. Katanya, cinta butuh lebih dari sekadar janji dan ketulusan. Katanya, cinta juga butuh kemewahan.

Noir masih ingat bagaimana wanita itu, yang pernah ia panggil dengan penuh kasih, mengemasi barangnya tanpa ragu. Meninggalkan rumah ini, meninggalkan dirinya, meninggalkan anak mereka yang bahkan belum bisa mengucapkan kata 'ayah' dengan sempurna. "Maaf," hanya itu yang wanita itu katakan, sebelum pergi dalam taksi yang melaju tanpa menoleh ke belakang, tanpa memedulikan hati yang hancur.

Kini Noir sendiri. Bukan benar-benar sendiri, karena ada anaknya yang masih terlelap dalam buaian malam. Namun, sepi yang menyelimuti hatinya terasa lebih menggema daripada suara tangis anaknya. Ia memandangi foto itu sekali lagi, menatap senyuman yang dulu adalah dunianya.

Ia ingin marah, ingin membenci, namun hatinya hanya mendekap luka tanpa dendam. Barangkali, cinta sejati adalah ketika kau tetap mendoakan seseorang yang telah meninggalkanmu.

Bahkan di tempat kerja pun Noir tak menemukan kedamaian. Setiap hari, ia hanya menjadi sasaran ejekan dan hinaan. Atasannya memandangnya dengan sebelah mata, menuntut lebih tanpa pernah memberi penghargaan. Rekan-rekannya tak berbeda. Mereka adalah serigala-serigala yang menunggu saat yang tepat untuk menerkam.

"Kau masih di sini? Kupikir kau sudah menyerah dan pergi," kata salah satu rekan kerjanya dengan tawa mengejek.

Noir hanya diam. Ia tahu, kemiskinan adalah dosa di mata mereka. Tak ada yang peduli bahwa ia bekerja lebih keras dari siapa pun. Tak ada yang peduli bahwa ia menanggung seorang anak seorang diri. Yang mereka lihat hanya seorang pria gagal, seseorang yang layak diinjak tanpa rasa kasihan.

Tapi Noir tetap bertahan. Bukan karena ia kuat, melainkan karena ia tak punya pilihan lain. Ia bekerja demi anaknya, demi memastikan ada makanan di meja kecil mereka, demi memastikan bahwa setidaknya ada secercah harapan, sekecil apa pun itu.

Ia menghadapi layar monitor dengan mata yang lelah. Setumpuk berkas tergeletak di mejanya, menunggu untuk diselesaikan. Kantor sudah hampir sepi, hanya tersisa suara dentingan keyboard dan dengungan lampu neon yang samar. Atasannya baru saja datang, melemparkan dokumen tambahan ke mejanya tanpa peduli apakah Noir masih sanggup atau tidak.

"Lembur lagi. Aku ingin semua ini selesai besok pagi. Jangan pulang sebelum beres," suara dingin itu menusuk seperti pisau tumpul yang menggores daging.

Tak ada tawaran, tak ada pertimbangan. Hanya perintah. Noir ingin membantah. Namun, ia tahu kata-katanya hanya akan berakhir menjadi bahan ejekan. Seperti sebelumnya. Seperti setiap kali ia mencoba membela dirinya sendiri.

Rekan-rekannya sudah pulang sejak tadi, meninggalkannya seorang diri di ruangan yang terasa semakin dingin. Beberapa dari mereka bahkan sempat tertawa sebelum pergi, melontarkan kalimat yang menyayat tanpa mereka sadari.

"Dasar pecundang, kau kerja mati-matian tapi tetap miskin."

"Mungkin istrimu benar meninggalkanmu."

Noir menggenggam pulpen di tangannya, berusaha menahan gemuruh di dadanya. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tak boleh jatuh. Belum. Masih ada satu nyawa yang bergantung padanya, satu nyawa yang harus ia lindungi dari kejamnya kota ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!