Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Andry
"Kamu yang sabar dulu, Bang.sekarang om Rakha sudah berhasil papa singkirkan. Tapi masih ada satu lagi om kamu." Jawab Andry.
"Tapi mau sampai kapan aku ada diluar?"
"Secepatnya papa akan bereskan."
Rizal mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan emosi. "Papa selalu bilang secepatnya, secepatnya! Tapi nyatanya aku terus diasingkan. Semua orang mandang aku kayak sampah."
Andry menarik napas panjang, menepuk bahu anaknya. "Dengar, Bang. Semua ini strategi. Papa gak bisa langsung menantang keluarga besar. Kalau kita salah langkah, mereka makin menjatuhkan kita. Papa sudah singkirkan Om Rakha dari lingkaran utama, itu satu langkah besar. Tinggal satu lagi—Om Dwiki. Selama dia masih ada, kita susah untuk mendapatkan lagi."
"Dan Emily?" Rizal menyela dengan mata berkilat penuh dendam. "Aku gak akan pernah berhenti sampai dia jadi milikku. Semua orang boleh menghalangi, tapi aku gak peduli. Bahkan Om Rakha sekalipun."
Andry menatap anaknya dengan sorot yang tajam.
"Bang, kamu harus sabar. Jangan bikin gerakan gegabah. Papa tahu sakitnya dijauhi, tapi kalau kamu terus bikin ulah, keluarga besar makin punya alasan buang kamu. Biarkan papa yang atur jalannya. Kamu tunggu waktu yang tepat."
Rizal tersenyum miring, namun senyum itu lebih mirip ancaman. "Baiklah, Pa. Tapi kalau kesempatan datang, aku gak akan tinggal diam. Emily... suatu hari akan jadi milikku."
Andry terdiam, hatinya sendiri bimbang. Ia tahu anaknya sudah terlalu dalam dikuasai amarah, tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya menghentikannya.
Rizal duduk di kursi tamu, wajahnya penuh kesal. Dia melempar ponselnya ke arah meja kerja Andry.
"Kenapa kamu lempar?" Andry menatap tajam ke arah Rizal.
“Suruh siapa papa nyuruh aku pergi lagi ke luar negeri? Sampai kapan aku harus sembunyi kayak pengecut?” Rizal menghentakkan kaki.
Andry menatapnya tajam.
"Kamu kira gampang? Rakha sudah mulai curiga. Kalau kamu masih di sini, cepat atau lambat dia akan menemukan kamu. Dan kalau itu terjadi, habis sudah semua rencana kita."
Rizal mengepalkan tangan. "Tapi aku benci, Pa! Kenapa aku harus selalu jadi yang disingkirkan? Bukannya kita punya hak juga di keluarga ini?"
Andry berdiri, menepuk bahu putranya dengan penuh tekanan. "Kamu harus sabar. Ini hanya sementara. Kalau Om Dwiki sudah berhasil papa singkirkan, jalan kita akan lebih mudah. Kamu bisa kembali dengan nama baru, posisi baru. Ingat, anakku, semua ini demi masa depanmu dan demi keluarga kita."
Rizal mendengus kasar, tapi akhirnya mengangguk berat hati. "Baiklah. Tapi aku gak akan diam selamanya."
Andry tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. "Bagus. Sekarang kamu kemasi barang-barangmu. Malam ini juga kamu berangkat. Papa sudah siapkan orang untuk mengurus tiket dan identitas baru."
Tanpa mereka sadari, Bi Esih, asisten rumah tangga di rumah Andry, tengah berdiri di balik pintu, menahan napas. Ia semula hanya ingin mengantarkan teh, tapi telinganya tak sengaja menangkap percakapan berbahaya itu.
Ya Allah... ini rahasia besar sekali, batinnya gemetar.
Namun baru beberapa langkah ia mundur, lantai kayu berderit pelan.
"Siapa di luar sana?!" suara Andry menggema tajam.
Rizal spontan berdiri, matanya menyapu sekitar dengan waspada.
Bi Esih menutup mulut, berusaha menahan napas agar tidak ketahuan. Ia segera berlari ke arah dapur lewat lorong kecil yang jarang dilewati. Untunglah, saat Andry membuka pintu, lorong itu sudah kosong.
"Hanya kucing, mungkin..." gumam Rizal mencoba meremehkan.
Andry masih menatap curiga ke arah lorong gelap.
Tapi aku yakin ada yang dengar.
***
Bi Esih segera menaruh teh hangat yang sudah dibuatnya. Lalu ia berlari kecil ke kamarnya di bagian belakang rumah, napasnya masih terengah. Tangannya gemetar saat menutup pintu.
Astaghfirullah... kalau Tuan Andry tahu aku dengar pembicaraan itu, habis aku.
Ia menunduk, lalu mengeluarkan ponsel bututnya dari bawah bantal. Jarinya ragu menekan nomor satu-satunya orang yang ia percaya: Murni, sepupunya yang bekerja di rumah Rakha.
Tidak lama, panggilan tersambung.
"Murni, jangan kaget, ya. Aku harus bicara cepat."
"Lho, kenapa, Esih? Suara kamu kayak orang habis lari," jawab Murni khawatir.
Rani menoleh ke kanan-kiri, memastikan pintu terkunci rapat. Suaranya diturunkan serendah mungkin.
"Aku dengar percakapan Tuan Andry sama anaknya... Rizal. Mereka rencana mau singkirin Tuan Dwiky dan juga masih ingin mendekati Neng Emily. Terus Rizal disuruh pergi keluar negeri malam ini juga. Murni, ini bahaya besar."
Murni terdiam sesaat, jantungnya ikut berdegup. "Ya Allah... jadi benar, ya, mereka lagi main sesuatu di belakang keluarga besar?"
"Iya, Mur. Kamu harus hati-hati. Jangan bilang siapa-siapa kalau info ini dari aku. Nyawaku bisa melayang kalau mereka tahu." Suara Rani bergetar, hampir menangis.
Murni menggigit bibir. Ia tahu ini bukan kabar sepele. "Tenang, Sih. Aku akan cari cara supaya Tahu Rakha tahu tanpa menyebut namamu. Yang penting kamu jaga diri kamu dulu."
"Baik... tolong, Mur. Jangan sampai salah langkah. Aku mohon."
Belum sempat Murni menjawab, dari luar terdengar suara langkah berat mendekati kamar Esih.
Astaghfirullah... itu langkah Tuan Andry!
Rani buru-buru menutup telepon, menyelipkan ponsel di bawah kasur. Dadanya serasa mau pecah saat suara ketukan keras menggema.
"Esih! Kamu di dalam?" suara Andry terdengar mencurigakan.
Esih menggenggam tangannya erat-erat, menahan gemetar. "I.. iya, Tuan! Tadi saya habis ke belakang, maaf tidak sempat jawab," jawabnya terbata.
Hening sejenak. Lalu Andry hanya berdeham.
"Hm. Besok pagi bersihkan ruang kerja saya. Jangan ada satu pun berdebu."
Langkahnya menjauh.
Esih langsung jatuh terduduk di lantai, menahan degup jantungnya yang tidak beraturan.
***
Pagi hatinya, Rakha sedang duduk di teras rumah sambil membaca laporan kerja ketika salah satu asisten rumah tangganya, Murni, terlihat ragu-ragu ingin bicara.
"Pak..." suara Murni bergetar.
Rakha menoleh, menutup map yang ada di tangannya. "Ada apa, Bi? Kok kelihatan tegang begitu?"
Murni menelan ludah, lalu memberanikan diri.
"Saya sebenarnya gak enak ngomong, Pak. Tapi karena ini menyangkut keluarga... saya rasa bapak harus tahu. Sepupu saya kerja di rumahnya Pak Andry."
Rakha mengernyit. "Sepupu kamu?"
"Iya, Pak. Dia sudah lama kerja di sana, dan... dia sering cerita ke saya. Katanya belakangan Pak Andry sering rapat diam-diam sama Mas Rizal."
Rakha langsung meletakkan map di meja, sorot matanya tajam penuh curiga.
"Rapat diam-diam? Bahas apa?"
"Sepupu saya gak berani dengar terlalu jelas, Pak. Tapi yang dia tangkap... Pak Andry berencana ‘menyingkirkan’ Tuan Dwiki, dan Mas Rizal terus menyinggung soal Neng Emily." Murni menunduk, takut dengan reaksi Rakha.
Rakha mengepalkan tangan, wajahnya berubah dingin. "Jadi benar dugaan saya... Andry gak pernah berhenti main di belakang."
Murni menambahkan cepat, "Tolong jangan bilang siapa-siapa soal saya, Pak. Kalau keluarga Tuan Andry tahu saya yang bocorin, sepupu saya bisa bahaya."
Rakha berdiri, menepuk bahu Murni dengan tenang.
"Kamu tenang saja. Biar saya yang atur. Terima kasih sudah jujur. Ini penting."
Dalam hatinya, Rakha semakin yakin bahwa Andry dan Rizal sedang menyiapkan sesuatu yang besar. Ia tahu, kali ini dia tak bisa tinggal diam.
***
"Si Emily kenapa dia keluar dari mobil Pak Haidar?"
Bersambung