Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Ucapnya sambil membuka cadarnya.
"Maysa Allah Aisyah! Kamu cantik sekali!" seruku.
Aku yang wanita saja begitu takjub melihatnya. Dia benar-benar seperti bidadari syurga yang nyasar ke dunia.
"Wafiika barakallah. Kamu juga sangat cantik, Nay," pujinya merendah.
Padahal aku nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan dirinya.
Aku lalu menyusun barang-barangku yang tadi pagi belum sempat dirapikan karena bel masuk sudah berbunyi.
"Wah, kamu suka membaca novel?"
tanyanya melihat koleksi novelku.
"Aku suka menulis," sahutku sambil menyusun novel-novelku.
"Maksudnya..., itu?" tanyanya sambil menunjuk novelku.
"Iya, ini tulisanku sendiri," ucapku.
"Wah, Nay! Kamu hebat banget. Boleh
kubaca?" Dia begitu bersemangat kubaca?" Dia begitu bersemangat.
"Tentu," sahutku. "Tetapi mohon maaf jika ada diantara novel-novel itu yang tidak sesuai syariah. Karena aku masih perlu banyak belajar agama, dan dulunya aku bukanlah hamba yang taat," akuku sebelum dia membaca novel remajaku.
"Ada yang kisah kamu sendiri?" tanyanya tanpa menghiraukan perkataanku.
"Yang ini." Aku lalu memberikan novel "Serpihan Hati" padanya.
Novel kesukaan Jasson. Novel ini juga yang mempertemukanku dengannya dan membuatnya jatuh hati padaku. Sebentar lagi akan launching novel terbaruku "Cinta Di Antara Tasbih dan Salib." Semoga dia membacanya juga, agar dia tahu bagaimana tersiksanya aku di sini menunggu.
"Waah," ucapnya sambil membuka halaman satu buku itu.
Selanjutnya dia sudah asyik dengan bacaaannya. Mungkin ini juga caranya aku memberitahu siapa aku yang sebenarnya padanya. Bahwa aku nggak pantas sedikit pun bersanding dengan abangnya dan masuk ke dalam keluarganya. Aku hanyalah seorang pendosa yang sedang mendalami ilmu agama.
Novel yang kuberikan padanya itu menceritakan kisah cintaku dengan Gilang yang pupus di tengah jalan karena adanya orang ketiga yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Sakit rasanya, bahkan hingga kini.
"Sekarang kamu nggak nulis lagi?"
tanyanya beberapa menit kemudian.
"Masih, lagi-lagi ini kisahku." Aku lalu terduduk ditepi ranjang tempat Aisyah berbaring.
"Tentang apa? Beri tahu aku, jika bagus nanti aku akan membelinya," pancingnya.
"Tentang cinta beda agama. Kisahku dengan seorang nasrani yang rela masuk islam untuk menikahiku. Tetapi kami tetap berpisah karena abi tetap nggak merestuiku. Itulah salah satu alasannya kenapa aku menerima kontrak selama tiga tahun ini. aku masih mengharapkannya kembali. Semoga ketika kontrak ini berakhir dia sudah menjadi muslim yang taat," paparku dengan mata menerawang.
Lagi-lagi wajahnya bermain di ingatan.
"Amiin," ucapnya. "Jadi itu alasannya kamu nggak mau dengan Bang Rahman?" Tiba-tiba dia menyadarkanku bahwa aku sudah cerita pada orang yang salah masalah ini.
"Bukan, sama sekali bukan karena itu. Di samping harapanku yang masih ingin dipertemukan lagi dengannya, tentu aku juga menyadari bahwa jodoh itu di tangan tuhan. Sekuat apapun kita mengejar, menunggu, jika Allah tidak menjodohkan kita dengannya nggak akan mungkin terlaksana. Begitu juga sebaliknya, jika Bang Rahman memang jodohku yang ditakdirkan Allah untukku, mau lari ke mana pun tentu aku akan tetap berjodoh dengannya." Aku sengaja meyakinkan Aisyah agar tidak terjadi kesalah pahaman. "Hanya saja, Pak Rahman teralu tinggi untuk pendosa seperti aku, Aisyah. Beliau tidak pantas bersanding denganku," paparku.
"Jangan bicara begitu, seperti yang kamu katakan tadi, jodoh kita nggak tahu siapa dan bagaimana. Jika kamu kira agamamu masih di bawah Bang Rahman. Mana tahu Allah menjodohkannya untukmu untuk membimbingmu."
Apa iya? Dan apa mungkin? "Pak Rahman tidak mungkin menyukaiku," ucapku lagi.
"Siapa bilang?" Aisyah tertawa.
"Kenapa Aisyah? Kenapa tertawa?" tanyaku.
"Kamu ingin kubocorkan sesuatu?" tanyanya masih sedang tertawa.
"Ya," jawabku singkat berharap aisyah tidak berobah pikiran."
"Hari kamu mengantarkan lamaran ke sekolah ini waktu itu, setelah kamu pergi kami bertiga langsung membahasmu," terang Aisyah.
"Membicarakan apa?" tanyaku penasaran dan nggak sabar lagi menunggu intinya. Abi langsung bercerita pada Bang Rahaman banyak hal tentangmu, bahwa kamu adalah anak sahabat baiknya. Abi juga bertanya pada Bang Rahman apakah dia mau di jodohkan denganmu." Aisyah berhenti bicara. Dia menatapku dengan ekspresi menyebalkan, membuat kepalaku penuh dengan rasa penasaran.
"Lalu Pak Rahman jawab apa?" tanyaku benar-benar udah nggak tahan lagi.
Kulupakan sekejap harga diriku yang seharusnya menahan mulutku untuk menanyakan itu. Tetapi karena aku dan Aisyah benar-benar sudah sangat dekat bahkan sudah seperti saudara, maka aku nekat bertanya langsung ke intinya.
"Dia bilang, dia mau dijodohkan denganmu. Tetapi tidak untuk menikah dalam waktu dekat. Bang Rahman itu baru saja menyelesaikan S2nya jadi dia belum berani untuk memikul tanggung jawab berumah tangga. Sementara abi tetap menginginkan pernikahan ini cepat dilangsungkan karena ini sunnah dan abi rasa gaji Bang Rahman di sini sudah cukup untuk berumah tangga."
Aku melongo mendengarkan penjelasan Aisyah. Ini benar-benar di luar dugaan.
Perlahan mulutku yang tadi menganga berubah menjadi tawa. Ini benar-benar kejutan yang tidak pernah kubayangkan.
Kini aku mulai bimbang dengan hatiku.
Apakah aku akan berpaling dari Jasson yang benar-benar sudah tak tahu rimbanya itu?
Ataukan masih tetap menunggunya dengan menghabiskan sisa hidupku?