Meluluhkan Hati Istri Dinginku

Aryo dan Sekar saling menjauhkan diri mereka saat pintu ruangan tiba-tiba di buka. Di sana ada Dewandaru dan dr. Syah. Jika dr. Syah terkejut dengan apa yang dia lihat, maka berbeda dengan Daru. Pria paruh baya itu sangat terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia sangat senang.

" Apakah papa mengganggu kalian?" tanya Daru.

" Ti-tidak Pa. Kami tidak melakukan apa-apa. Papa ada apa kemari?" Sekar menjawab dengan sedikit kikuk. Sebenarnya dia sangat malu kepergok oleh sang papa dalam posisi yang intim begitu.

Sedangkan Aryo, pria itu terlihat sangat santai. Ia segera mencium tangan papa mertuanya. Aryo juga memilih menyingkir membiarkan mereka berbicara.

" Pria itu, bukannya pria itu adalah pria yang waktu itu bersama Sekar di warung bubur ayam. Rupanya dia dokter di sini. Tck, sudah ku duga. Dia pasti menyukai Sekar."

Aryo bergumam pelan, dia terus memerhatikan dr. Syah. Bisa ia lihat binar mata Syah yang begitu memuja Sekar. Aryo semakin lama merasa tidak tahan dengan apa yang dilihatnya.

Ia akhirnya memilih untuk keluar dari ruangan. Jam mendekati makan siang, Aryo berinisiatif membeli makan siang untuk dirinya dan Sekar makan nanti di ruang direktur.

" Mau kemana dia? Ah terserah." Sekar berbicara dalam hati saat melihat Aryo keluar. Aryo sengaja tidak meminta izin karena melihat mereka sedang serius membicarakan suatu hal.

Aryo berjalan pelan sambil melihat-lihat isi rumah sakit. Di tahun itu, RSMH sudah memiliki 3 lantai. Meskipun belum begitu terkenal, tapi sudah masuk dalam rekomendasi bagi yang ingin menjalani perawatan kesehatan. Yang Aryo dengar, papa mertuanya juga memberikan kemudahan bagi para pasien yang kurang mampu.

" Lalu, sekarang enaknya mau cari makan dimana ya? Kantin, apa diluar saja?"

Aryo bergumam lirih. Dia sedang berpikir makan siang apa yang akan dia beli untuk dirinya dan Sekar. Tapi akhirnya, Aryo memilih berjalan keluar rumah sakit. Ia ingin membelikan makanan dan beberapa cemilan untuk Sekar. Dan pastinya jika di luar akan banyak pilihan.

" Itu, itu bukannya Aryo. Dia kenapa datang ke rumah sakit? Apa ada yang sakit, apa malah dia sendiri yang sakit."

" Rima, ayo. Kita mau ada rapat."

" Baik."

Rupanya Rima melihat Aryo yang melintas di lobi. Ia menjadi sangat penasaran, apa yang dilakukan mantan suaminya itu di rumah sakit. Sepintas dia merasa khawatir. Ia takut Aryo sakit, tapi jika dilihat-lihat kembali, sepertinya Aryo sehat-sehat saja. Lalu siapa yang sakit?

Pikiran Rima terus berkutat di sana. Bahkan beberapa kali dia harus kena tegur oleh kepala bagian keuangan karena melamun saat sedang rapat.

" Ada apa Rima? Sepertinya kamu sedang tidak fokus. Apa kamu sakit, atau ada yang sedang dipikirkan?"

" Ma-maaf bu. Saya kepikiran dengan orang tua saya. Sudah beberapa waktu kami tidak bertemu karena kesalahpahaman."

Kepala bagian menepuk pelan bahu Rima. Beberapa nasihat dia sampaikan. Padahal bukan itu sebenarnya yang membuat Rima risau. Jelas dia begitu kepikiran Aryo bukannya Gunawan.

🍀🍀🍀

Hari itu Rima menuju sore semakin penasaran mengapa Aryo bis ada di rumah sakit. Tapi dia tidak lagi banyak berpikir saat tersadar bahwa hari ini ia harus pulang ke kediaman Gunawan.

Tapi, Rima tidak akan pulang sepenuhnya. Dalam arti kata, dia tetap akan tinggal di rumahnya sekarang. Tinggal sendiri sudah cukup nyaman baginya.

Tok! Tok! Tok!

Rima sungguh ragu mengetuk pintu rumah keluarganya itu. Teringat bagaimana marahnya sang ayah saat kejadian waktu itu. Tapi, dia sudah dipanggil pulang, bukankah itu berarti Gunawan sudah memaafkannya?

Cekleeek

Krieeek

" Sayang, akhirnya kamu pulang juga. Mama sungguh sangat rindu nak."

Nyonya Gunawan langsung memeluk Rima. Air mata ibu dari Rima itu luruh. Pun dengan Rima, tidak dipungkiri dia begitu merindukan sang ibu. Tapi sikap keras Gunawan membuatnya takut untuk pulang.

" Duduklah, lalu dimana anakmu sayang?"

" Riri, dia sudah tidak ada. Belum genap seminggu Riri meninggal."

Semua terkejut mendengarkan ucapan Rima. Baik Tuan maupun Nyonya Gunawan tidak menyangka bahwa cucunya telah meninggal. Meskipun Awalnya mereka khususnya Tuan Gunawan enggan mengakui anak Rima sebagai cucu, Tapi saat berniat memanggil Rima pulang kembali, dia sudah memantapkan diri bahwa akan mengakui cucunya tersebut.

Namun semuanya ternyata sudah terlambat. Riri--sang cucu telah tiada. Air mata Rima kembali berurai saat mengingat kepergian putrinya. Bagaimanapun dia mengandung 9 bulan dan juga melahirkan Riri, rasa kehilangan itu jelas masih terasa.

" Maafkan kami nak, maafkan kami tidak ada di sampingmu saat-saat begitu kami tidak ada. Kami tidak ada bersamamu di saat kamu sedih."

" Tidak mengapa ma, mungkin ini adalah karma bagiku. Ini adalah balasan dari Tuhan untuk perbuatan buruk ku. Bahkan putriku sendiri tidak mau dibesarkan oleh ibu seperti ku."

Rasanya bagai disayat sembilu. Hati Tuan Gunawan sangat sakit mendengar putrinya berkata seperti itu. Ia tahu dirinya salah karena mengacuhkan Rima. Bukannya mencari solusi bersama tapi malah mengusir Rima pergi.

" Lalu, apa yang sekarang kamu kerjakan?" tanya Tuan Gunawan.

" Aku mulai bekerja lagi Pa. Aku bekerja di Rumah Sakit Mitra Harapan. Sungguh sebuah keberuntungan bisa diterima di antara banyaknya pelamar," jawab Rima senang.

Gunawan tersenyum simpul. Keinginannya membawa pulang kembali Rima agar dia membantu mengurus perkebunan di kota B, tapi sepertinya putrinya punya kemauannya sendiri.

" Baiklah kalau kamu suka dengan pekerjaanmu. Lalu, kapan kamu akan kembali ke rumah," Ujar Tuan Gunawan lagi.

" Iya sayang kamu, kamu tidak mungkin kembali kesana kan? Kamu pulang ya nak. Mama kangen," imbuh Nyonya Gunawan.

Tapi ekspresi Rima menunjukkan kebingungan. Dan sepertinya dia tidak akan kembali ke kediaman Gunawan dalam waktu dekat ini.

" Jika aku pulang ke rumah, nanti bagaimana kalau Aryo mencari aku?"

TBC