Tidak semua cinta datang dua kali. Tapi kadang, Tuhan menghadirkan seseorang yang begitu mirip, untuk menyembuhkan yang pernah patah.
Qilla, seorang gadis ceria yang dulu memiliki kehidupan bahagia bersama suaminya, Brian—lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Namun kebahagiaan itu sekejap hilang saat kecelakaan tragis menimpa mereka berdua. Brian meninggal dunia, sementara Qilla jatuh koma dalam waktu yang sangat lama.
Saat akhirnya Qilla terbangun, ia tidak lagi mengingat siapa pun. Bahkan, ia tak mengenali siapa dirinya. Delvan, sang abang sepupu yang selalu ada untuknya, mencoba berbagai cara untuk mengembalikan ingatannya. Termasuk menjodohkan Qilla dengan pria bernama Bryan—lelaki yang wajah dan sikapnya sangat mirip dengan mendiang Brian.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari sosok yang hanya mirip? Dan mungkinkah Qilla membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski bayangan masa lalunya belum benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lesyah_Aldebaran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga
Keesokan paginya, Qilla terbangun dengan kepala berat dan badan terasa remuk. Perlahan gadis itu membuka matanya, mencoba mengingat kejadian semalam.
"Ikut saya," ucap Brian sambil menarik tangannya.
"Yakk! Lepasin tangan saya, Pak! Bapak mau bawa saya ke mana, hah?!" teriak Qilla sambil memukul-mukul tangan gurunya.
"Diam," titah Brian dingin.
Pria itu membawa Qilla ke sebuah kamar yang memancarkan kemewahan dan keanggunan dalam setiap detailnya. Dibalut dalam nuansa hitam elegan, ruangan ini berdiri megah dan berkelas. Tempat tidur king size dengan seprai hitam pekat dan bantal-bantal empuk bertengger anggun di atas karpet bulu lembut, memberikan kesan hangat sekaligus mewah.
Di langit-langit, lampu gantung modern berbentuk bola-bola kaca memancarkan cahaya temaram yang menciptakan efek dramatis nan memikat. Dinding kamar dihiasi panel kaca, lampu dinding artistik, serta ornamen besar berbentuk bulan purnama yang menambah sentuhan magis dan misterius.
Jendela besar dari lantai hingga langit-langit menampilkan panorama kota malam yang gemerlap, menciptakan suasana eksklusif dan romantis. Sebuah kursi santai minimalis dan meja bundar kecil ditempatkan di dekat jendela, menjadi sudut sempurna untuk menikmati malam dalam diam.
Di pojok ruangan, tanaman kering artistik memperkuat kesan kontemporer, sementara pencahayaan lembut dari berbagai arah membuat kamar ini terasa hangat, tenang, dan intim—ideal untuk beristirahat atau sekadar melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia luar.
Awalnya, kamar ini disewa Brian untuk dirinya sendiri, tempat dia bisa beristirahat dalam kesunyian. Namun, takdir berkata lain. Malam itu, ketika Brian menemukan Qilla di sebuah club malam, dia membawanya ke tempat ini—tempat yang kini menjadi saksi diam bagi kisah mereka yang tak terduga.
"Wah gila, kamarnya mewah banget," gumam Qilla terpukau.
"Luas banget lagi." Batinnya.
"Eh, tapi. Kenapa Pak Brian menyewa kamar semewah ini sih?" tanyanya curiga.
"Awalnya saya ingin istirahat di sini. Tapi karena kamu ada di sini, jadi... Mari kita bersenang-senang," ucap Brian enteng.
Mata Qilla langsung membelalak.
"Tapi, Pak-"
Ucapannya langsung terpotong ketika Brian tiba-tiba mencium bibirnya. Qilla langsung mendorong tubuhnya.
"Pak Brian, gila ya?!" teriaknya marah. Tapi Brian malah mendorongnya pelan ke atas tempat tidur, lalu kembali menciumnya.
"Apa kamu mabuk, Qilla?" tanyanya.
"Saya sadar!" balas Qilla lantang.
"Kenapa kamu makin cantik, sayang?" bisik Brian sambil mengelus pipi Qilla.
"Terima kasih, aku emang cantik dari kecil," sahut Qilla, terpukau oleh tatapan gurunya.
Brian hanya tersenyum tipis.
Oke. Kita tinggalkan adegan semalam itu.
***
"Guru sialan!" Maki Qilla sambil menatap langit-langit kamar.
"Bangun! Jangan mengumpat sama guru sendiri seperti itu!" Terdengar suara nyonya Bella dari arah pintu.
"Yakk! Ibu?! Kenapa Ibu ada di kamarku?!" tanya Qilla panik.
"Kamu pikir ini kamarmu?" jawab nyonya Bella dengan nada santai.
Qilla mengedarkan pandangan, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hehe... Jadi... Kenapa aku ada di sini, Bu?"
"Semalam suamimu yang bawa kamu pulang. Katanya kamu tertidur di club malam. Kamu nggak ingat apa-apa?"
Qilla hanya menggeleng pelan. Wajahnya memerah.
"Guru brengsek." Batinnya.
"Terus, motor aku di mana?" tanya Qilla.
"Ya mana Ibu tahu. Kamu ini ya, baru bangun bukannya nanya udah jam berapa, malah langsung cari motor," omel nyonya Bella.
"Ibu kan sudah bilang berkali-kali, jangan ke tempat kayak gitu lagi! Itu tempat berbahaya nak. Kamu perempuan, masih sekolah pula. Nggak seharusnya ke tempat seperti itu!" lanjutnya dengan suara yang mulai meninggi sedikit hanya sedikit.
"Tapi, Bu-"
"Nggak ada tapi-tapian! Semua Ibu lakukan buat kebaikan kamu juga. Sekarang mandi, udah setengah tujuh! Cepet berangkat sekolah!"
Qilla hanya menghela napas. Pandangannya tertuju pada seragam SMA-nya yang tergantung rapi. Kepalanya masih pening, pikirannya melayang ke kejadian semalam. Untung Pak Brian nggak bilang apa-apa soal... Itu.
"Guru gila," gumamnya pelan, diiringi helaan napas panjang.
***
Di sekolah, suasana seperti biasa: ramai, bising, dan penuh drama. Siswa-siswi berlalu lalang di koridor. Beberapa menyapa Qilla saat melihatnya lewat.
"Gila! Lo bolos kemarin tapi nggak dihukum." Celetuk Gin, si cerewet.
"Iya lah, anak kepala sekolah. Aman lah," sambung Harris.
"Tumben lo diem? Biasanya mulut lo kayak speaker aktif," celetuk Harris lagi, heran melihat wajah Qilla yang murung.
"Eh sumpah, cara jalan lo kayak habis duel sama banteng!" tambahnya sambil mengamati langkah Qilla.
Qilla menoleh pelan. Ekspresinya galak. "Mulut lo bisa diem nggak sih? Gue lagi nggak mood," jawabnya ketus.
Harris bersiul pelan, pura-pura takut.
"Waduh, sinyal merah menyala. Fix, abis ribut sama si kakak ganteng ya?"
Qilla langsung mendelik tajam.
"Sekali lagi ngomong gitu, gue lempar sepatu beneran."
"Yah, maaf deh. Tapi serius, kenapa lo? Biasanya lo yang paling bawel. Dan lihat tuh, cara jalan lo kayak... habis di anu anjir!"
Qilla spontan menghentikan langkahnya, melototi Harris dengan wajah yang setengah salah tingkah. "Bangsat, itu mulut pengen banget gue lem sama batu bata!" Kesalnya, pipinya sedikit merona.
Harris menyipitkan matanya, makin curiga. "Fix. Cerita sekarang, atau gue culik ke kantin sampai lo buka suara."
Qilla hanya mendengus pelan, menguap kecil lalu menatap Harris dengan tatapan malas. "Nggak, ah. Gue ngantuk. Kantin mulu hidup lo, nggak bosen apa?"
"Yee, kayak lo nggak pernah aja," balas Gin sambil nyengir lebar.
Qilla memilih diam. Tanpa membalas lagi, gadis itu langsung melangkah masuk ke kelas dan menjatuhkan dirinya di bangkunya dengan lelah, enggan terlibat percakapan lebih jauh. Wajahnya terlihat letih.
"Kenapa lo?" tanya Arion, teman sebangkunya.
"Kepala gue pusing banget bro," sahut Qilla sambil memijat pelipisnya.
"Lo sakit? Atau pusing gara-gara nggak ada duit?" Canda Gin.
"Ya kali pusing karena nggak ada duit. Sorry ya, duit gue numpuk, men," balas Qilla sedikit nyolot tapi tetap dengan nada malas.
"Yee, sombong amat!"
"Udah diem deh, berisik. Gue mau tidur." Qilla lalu memejamkan matanya.
"Buset, sempat-sempatnya tidur di kelas," komentar Gin sambil menggelengkan kepalanya.
"Berisik, bangsat!" Sahut Qilla malas tanpa membuka mata.
Tak lama kemudian, suara langkah sepatu kulit yang sudah sangat familiar terdengar dari arah pintu. Brian masuk ke kelas dengan ekspresinya datar seperti biasanya, buku di tangannya dan sorot mata tajam yang menyapu seluruh ruangan.
"Selamat pagi," ucap Brian singkat, sambil meletakkan buku di atas meja guru.
"Selamat pagi, Pak," sahut seluruh siswa-siswi serempak.
Kecuali satu orang-Qilla. Gadis itu tetap berpura-pura tertidur di bangkunya, enggan membuka mata. Meski begitu, jantungnya berdebar tak karuan, seakan tahu tatapan tajam sang guru sedang mengarah padanya.