Baru kali ini Ustad Fariz merasakan jatuh cinta pada lawan jenisnya. Akan tetapi, dia tidak bisa menikah dengan gadis yang dicintainya itu. Dia malah menikah dengan wanita lain. Meskipun begitu, dia tidak bisa menghapus nama Rheina Az Zahra si cinta pertamanya itu dari hatinya. Padahal mereka berdua saling mencintai, tapi mengapa mereka kini mempunyai pasangan masing-masing. Bagaimanakah mereka bisa bersatu untuk bersama cinta pertama mereka?
Ikuti kisah Ustaz Fariz dan Rheina Az Zahra untuk bisa bersama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She_Na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Zonk!
"Mirna, yuk kita masuk, Ustad Jaki sudah membuat janji dengan dokter yang akan memeriksa kamu," Ustad Fariz memegang pundak Mirna dan diajaknya berjalan menuju pintu masuk rumah sakit.
"Ta-tapi Mas... mmm kita pulang aja ya, aku bisa tes pakai alat Mas, dan juga periksanya di Bidan Ani aja di sebelah Pondok Pesantren," ucap Mirna.
"Lebih jelas dan akurat di rumah sakit dong," sahut Ustad Jaki yang ada di samping Ustad Fariz.
"Aku gak mau, pokoknya aku mau pulang," ucap Mirna yang sudah membalikkan badannya.
Namun Ustad Fariz membalikkan badan Mirna kembali dan menahan pundaknya agar tidak jauh dari jangkauannya.
"Kamu kenapa Mir? Kita udah sampai sini, mending kita langsung periksa aja, biar tau udah berapa usia kandungan kamu," ucap Ustad Fariz dengan lembut untuk menenangkan istrinya.
"Aku gak suka Mas diperiksa sama dokter yang gak ku kenal," jawab Mirna dengan gelisah dan merengek.
"Gampang Mbak, nanti aku kenalin. Dokter yang nanti periksa Mbak Mirna itu teman aku loh, baik kok orangnya, gak gigit. Jadi Mbak tenang aja gak usah takut," ucap Ustad Jaki sambil terkekeh.
Dengan terpaksa Mirna mengikuti suaminya ke dalam ruang pemeriksaan dengan kegelisahan dan kekhawatiran yang tampak jelas di wajahnya.
Saat ini Mirna sudah tidur di bed periksa dokter Shinta yang merupakan dokter spesialis kandungan.
Mati aku, gimana ini, Mas Fariz pasti sangat marah, Mirna membatin dengan menutup matanya dan mencengkeram bajunya.
Dokter Shinta memeriksa perut Mirna dengan alat USG selama beberapa menit, sampai diulang-ulang beberapa kali dan hasilnya tetap sama.
Dokter Shinta menggelengkan kepalanya dan mengatakan kata maaf tanpa suara pada Ustad Jaki dan Ustad Fariz.
Ustad Fariz menutup matanya, menetralkan emosinya dan mencoba untuk setenang mungkin agar dia tetap bisa mengontrol emosinya.
Ustad Jaki menepuk-nepuk pundak Ustad Fariz untuk menenangkannya.
"Segera selesaikan di rumah Ustad," ucap Ustad Jaki.
Mirna bangkit dari tidurnya setelah dokter mempersilahkannya untuk duduk dan dia menatap suaminya dengan wajah ketakutan, namun suaminya hanya menampakkan wajah datar tanpa ekspresi.
"Gimana Dok kondisi bayinya? Sudah berapa bulan?" tanya Ustad Jaki dengan senyum yang tertahan.
Mirna menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan yang diutarakan Ustad Jaki pada Dokter Shinta.
"Maaf Ustad, Bu Mirna... tidak hamil. Saya sudah berkali-kali memeriksanya. Dan apa boleh saya lihat alat tes kehamilan yang menyatakan Bu Mirna hamil?" ucap Dokter Shinta.
Mirna menoleh pada suaminya dan Ustad Jaki setelah mendengar perihal alat tes kehamilan yang disebutkan oleh Dokter Shinta.
Dokter tau dari mana aku kan belum bilang kalau aku udah tes pakai testpack? Mirna membatin heran.
Seolah tahu apa yang dipertanyakan istrinya, Ustad Fariz menatap Mirna dan mengatakan, "Tadi Ustad Jaki yang mengatakan pada Dokter Shinta pada saat buat janji untuk pemeriksaan kamu."
Muka Mirna yang tadinya heran berubah menjadi kesal mendengar ucapan suaminya. Dia melirik Ustad Jaki dengan penuh kekesalan, sedangkan Ustad Jaki melihatnya dengan senyum kemenangan dan penuh ejekan.
"Terima kasih Dok, kami permisi dulu," ucap Ustad Fariz kemudian keluar dari ruangan tersebut dengan mengucap istighfar terus-terusan dalam hatinya dan menghembuskan nafas berat di setiap langkahnya.
Mirna menyusul suaminya dengan sedikit berlari kecil. Karena langkah kaki Ustad Fariz yang lebar dan cepat membuat Mirna susah menjangkaunya.
"Sabar Ustad, menurut mimpi Umi, Ustad bakalan dapat keturunan dari Rhea sebentar lagi, tunggu aja," ucap enteng Ustad Jaki sambil mereka jalan.
"Bukan itu yang membuatku kecewa Ustad, aku kecewa karena-" ucapan Ustad Fariz terjeda karena mendengar suara yang memanggilnya.
"Mas... Mas Fariz... mas... kok aku ditinggal sih," seru Mirna sambil berjalan cepat.
Ustad Fariz berhenti dan menoleh ke belakang, dia melihat Mirna masih berjalan di belakangnya. Ustad Jaki pun ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
"Astaghfirullah Mirna... ayo, kenapa kamu ketinggalan?" tanya Ustad Fariz sambil melambaikan tangannya untuk menyuruh Mirna mendekat padanya.
"Bukan aku yang ketinggalan, tapi Mas Fariz aja yang ninggalin aku," ucap Mirna sewot.
" Mbak Mirna aja yang lambat," sahut Ustad Jaki.
Mirna menatap penuh permusuhan pada Ustad Jaki dan dibalas senyum meremehkan dari Ustad Jaki.
"Udah ayo cepat ke mobil," ucap Ustad Fariz yang kemudian kembali berjalan.
Kini Ustad Fariz duduk di kursi penumpang bersama Mirna. Sedangkan Ustad Jaki sendirian di depan sebagai sopir.
"Ustad, ini aku beneran sendirian di depan? " tanya Ustad Jaki ketika mendapati Ustad Fariz duduk bersama Mirna di belakangnya.
"Sebentar aja gapapa kan? Kali ini aja," ucap Ustad Fariz sambil melihat Ustad Jaki melalui kaca spion tengah yang sedang dilihat juga oleh Ustad Jaki.
"Waduh jadi sopir beneran nih. Nasib... nasib...," gerutu Ustad Jaki sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Udah Ustad buruan berangkat," suruh Ustad Fariz pada Ustad Jaki.
Setelah itu Ustad Jaki fokus pada jalanan di depannya, Sedangkan Mirna terdiam dan menundukkan kepalanya, takut jika dimarahi Ustad Fariz di depan Ustad Jaki.
Ustad Fariz menggenggam tangan Mirna. Tentu saja Mirna kaget dan menatap suaminya.
Apa ini? Kenapa dia tidak memarahiku?
"Mirna, aku tidak pernah menuntut kamu untuk cepat hamil, karena sejatinya itu adalah rejeki dari Allah yang dititipkan pada kita. Aku tahu kita berdua sangat menginginkan kehadiran anak diantara kita, namun tidak seperti ini Mirna. Aku tidak suka kamu berbohong. Kamu tau kan jika Allah juga membenci orang yang berbohong. Jadi aku harap kamu tidak melakukan hal seperti ini lagi," tutur Ustad Fariz dengan lembut dan tersenyum pada istrinya, tentunya tangan mirna masih dalam genggamannya.
Ustad Jaki memperhatikan mereka berdua dari kaca spion yang berada di tengah.
"Ta-tapi Mas... a-aku...," Mirna tergagap dan tidak bisa menyelesaikan perkataannya, dia terlalu malu untuk mengakuinya.
"Dan satu lagi Mirna, aku harap kamu jangan meminta hal yang seperti tadi. Kamu sendiri kan yang menyuruhku menikahinya, jadi aku harap kamu bisa rukun dan bersikap baik padanya," pinta Ustad Fariz pada Mirna.
Bukan hanya sekali ini saja Mirna berulah dan membuatnya emosi, namun sebisa mungkin Ustad Fariz menahan emosinya dan mencoba untuk membimbing Mirna untuk bisa berbuat lebih baik lagi.
Mirna hanya diam tidak menjawab ataupun mengangguk. Dia sadar kalau dia egois dan selalu dikuasai emosi, namun apa daya, dia tidak bisa menahan semua itu. Dia hanya melakukan apa yang dia pikir benar.
Ustad Jaki melihat ke arah kaca spion depan dan matanya saling bertabrakan dengan mata Ustad Fariz. Ustad Jaki menggeleng menatap Ustad Fariz dari kaca spion dan Ustad Fariz tersenyum getir.
Dalam perjalanan kembali ke Pondok Pesantren Al-Mukmin hanya keheningan yang ada dalam mobil. Hingga sampai di Pondok Pesantren Al-Mukmin pun mereka masih diam.
Ustad Fariz langsung menuju ke rumah Umi Sarifah untuk menyampaikan hasil pemeriksaan, dan Mirna ragu untuk mengikuti suaminya.
Mirna malu bertemu dengan Umi Sarifah, terutama dengan Rhea. Dia juga tidak ingin meminta maaf pada Rhea karena itu akan melukai harga dirinya. Sedangkan dia tahu jika suaminya pasti akan menyuruhnya untuk meminta maaf pada istri keduanya itu. Maka dari itu dia memilih untuk pulang ke rumahnya.
Umi Sarifah menenangkan Ustad Fariz ketika dia bercerita tentang kebohongan Mirna. Sedangkan Ustad Jaki sudah kembali mengajar ke Pondok Pesantren.
Rhea, dia hanya terdiam tidak tahu harus berkomentar apa, karena dia tidak menyalahkan Mirna yang memang pasti ada rasa cemburu padanya, begitu pula Rhea yang juga kadang merasa cemburu jika Ustad Fariz bersama Mirna, namun sebisa mungkin dia menghapus rasa cemburu itu karena Mirna juga berhak atas suaminya.
Kini yang menjadi pusat perhatian Rhea hanya suaminya. Dia merasa sedih melihat suaminya yang sepertinya ingin sekali memiliki anak. Rhea pun dalam hati berdoa agar dia dan suaminya cepat diberi keturunan agar bisa menambah kebahagiaan rumah tangga mereka.
Dua minggu sudah pernikahan Rhea dengan Ustad Fariz. Tiga hari sekali Ustad Fariz bergantian menginap di rumah istri-istrinya. Rhea merasa hampa pada saat tiga malamnya tanpa kehadiran suaminya yang menemani tidurnya. Dan shalatnya pun sendiri jika tidak bersama suaminya. Namun kadang Umi Sarifah mengajak Rhea untuk shalat di Masjid Pondok Pesantren dan menginap di rumahnya ketika suaminya tidak ada bersamanya.
Kegiatan Rhea masih tetap sama sebagai penulis dan YouTuber. Banyak tawaran endorse dari produk-produk makanan, alat memasak dan perlengkapan wanita hingga yang berbau muslimah pun dia dapatkan.
Kadang-kadang Rhea dijemput Pak Sardi jika ingin berkunjung ataupun menginap di rumah neneknya. Dan tentunya itu atas ijin dari suaminya
Kini, Rhea mendapatkan tawaran untuk endorse gamis dan hijab. Dia menanti kurir yang mengantarkan barang tersebut di teras rumah Umi Sarifah.
"Itu untuk siapa?" tanya Mirna yang sedang berjalan di dekat rumah Umi Sarifah..
"Rheina Az Zahra Bu, permisi," jawab kurir dengan cepat menuju rumah Umi Sarifah.
"Ee.. ee.. eee... apa itu isinya?" tanya Mirna tergesa-gesa dengan sedikit berlari mengikuti Kurir tersebut.
"Maaf Mbak paket untuk Rheina Az Zahra," ucap kurir yang sudah ada di depan rumah Umi Sarifah dan bertemu dengan Rhea di sana.
"Iya, itu barang saya," jawab Rhea.
Kemudian kurir menyerahkannya pada Rhea dan Rhea akan menuju rumahnya setelah kurir itu pergi. Namun setelah kurir itu pergi, Mirna menyahut kotak paket tersebut.
"Mbak, itu punyaku," ucap Rhea ketika mendapati kotak paketnya sudah berada di tangan Mirna dan dia menggoncang-goncangkan isinya.
"Apa ini? Kamu hobi sekali berbelanja," ucap Mirna sambil melihat tulisan yang ada di luar kotak paket tersebut.
"Tolong Mbak kembalikan, itu sangat penting Mbak," ucap Rhea memohon.
"Ada apa ini?" tanya Ustad Fariz yang baru saja datang bersama Ustad Jaki.
Mereka berdua baru datang dari Pondok Pesantren berniat untuk makan siang bersama di rumah Umi Sarifah.
"Ini loh Mas, dia hobi banget belanja, dikit-dikit kurir datang antar paket buat dia," ucap Mirna dengan nada tidak suka.
"Maaf Mbak, bisa kembalikan dulu itu barangnya?" sela Rhea berniat segera pergi.
"Mirna, kembalikan dulu barangnya," perintah Ustad Fariz.
Dan itu tidak bisa dibantah Mirna lagi. Mirna memberikan kotak paket itu dengan kasar. Setelah menerimanya, Rhea berjalan keluar teras rumah.
"Zahra, kamu mau kemana?" tanya Ustad Fariz menghentikan langkah kaki Rhea.
"Mau pulang Bie," jawab Rhea dengan tersenyum ketika sudah membalikkan badannya.
"Kamu gak ikut makan siang bareng kita? Nanti Umi marah loh," ucap Ustad Fariz kembali.
"Oiya," jawab Rhea dengan senyum lebarnya dan kembali masuk ke dalam rumah.
Di dalam ruang makan Umi Sarifah melihat kotak paket milik Rhea yang diletakkan tak jauh dari tempat duduk Rhea.
"Apa itu Nduk?" tanya Umi Sarifah padanya.
"Bisanya cuma belanja, habis-habisin duit suaminya aja," sindir Mirna dengan suara yang dibesar-besarkan agar semua bisa mendengar.
salam kenal dan jika berkenan mampir juga di cerita aku