Cinta Pertama Sang Ustadz
Sabtu ini pengajian diadakan di Masjid Nurul Iman dekat rumah Rhea. Memang sudah biasa setiap dua minggu sekali diadakan pengajian di Masjid tersebut.
Kali ini pembicaranya adalah Ustad Fariz karena menggantikan Ustad Yadi yang biasanya menjadi pembicara di Masjid tersebut pada tiap acara pengajian.
Tak hanya semua warga sekitar menghadiri pengajian di masjid tersebut, bahkan luar desa pun banyak yang selalu hadir dalam pengajian tersebut.
Ustad Fariz membawakan semua materi yang telah dia siapkan dengan baik. Pembawaannya yang tenang mampu membuat suasana menjadi nyaman.
Sikapnya yang sabar membuat jamaah tidak sungkan untuk banyak bertanya dan jawaban yang diberikannya pun mampu membuat mereka puas bahkan tertawa karena diselingi guyonan-guyonan dari sang Ustad yang mampu menjadi obat penawar kantuk membuat mereka tetap tertarik untuk mendengarkan.
Dan nilai plusnya lagi yaitu parasnya yang tampan dan usianya yang masih sangat muda mampu menghipnotis mereka, terutama para kaum hawa. Mata mereka enggan beralih dari sang Ustad.
Pengajian pun berakhir, para jamaah berbondong-bondong meninggalkan area masjid karena hari sudah menjelang sore.
Pengajian diadakan siang hari setelah shalat duhur bersama-sama di Masjid tersebut. Pak Adrian mempersilahkan Ustad Fariz dan panitia untuk makan di rumahnya.
Pak Adrian merupakan salah satu takmir di Masjid tersebut, dan tentu saja makanan yang mereka makan adalah masakan istri Pak Adrian yaitu Bu Ratih, Ibunda dari Rhea, pemilik catering yang terkenal di daerah tersebut.
Namun untuk makanan dan konsumsi di setiap pengajian, Bu Ratih tidak menerima uang sepeserpun, karena beliau juga ingin menjadi donatur seperti suaminya yang menjadi donatur tetap di Masjid Nurul Iman itu.
Semua panitia meninggalkan rumah Pak Adrian setelah makan. Namun Ustad Fariz masih tinggal di sana karena Pak Adrian yang akan mengantarkannya pulang.
Pak Adrian meninggalkan Ustad Fariz sebentar karena beliau sedang memberi pengarahan kepada pegawai wedding organizer-nya untuk acara pernikahan yang diurusi oleh wedding organizer milik Pak Adrian minggu depan.
Ustad Fariz masih menunggu Pak Adrian di meja makan dan Bu Ratih yang tadinya menemani Ustad Fariz ngobrol, pamit sebentar ke dapur untuk membungkuskan makanan untuk dibawa pulang Ustad Fariz.
"Assalamu'alaikum Ayah, Ibu... Rhea pulang....," Rhea masuk ke dalam rumah dan berlalu menuju kulkas untuk mengambil minuman dingin yang bisa meredakan kekeringan pada tenggorokannya.
Kebetulan sekali kulkas yang berisi minuman dan buah berada di ruang makan, sedangkan kulkas yang berada di dapur yaitu kulkas yang berisi keperluan dapur, seperti bahan makanan, sayuran, daging, dan sebagainya.
Rhea mengambil air putih dingin dan dituangkan ke dalam gelas, kemudian dia minum sambil berdiri di depan kulkas.
"Hmmmm..... segarnyaaaaa....," Rhea mengelus tenggorokannya yang sudah terbebas dari kekeringan.
Kemudian dia meletakkan gelas itu pada meja makan dan dia duduk di kursi meja makan tanpa melihat sekitar.
"Wa'alaikumussalam... ," Bu Ratih tergopoh-gopoh berlari kecil dari dalam dapur.
Setelah berada di ruang makan dan melihat Rhea duduk sambil melepas jaketnya, Bu Ratih mendadak berhenti,
"Loh Rhea udah pulang? Kok diam aja sih dengar ada tamu yang ngucapin salam?"
"Tamu? Mana ada. Orang Rhea barusan datang gak ada orang kok di depan," jawab Rhea santai sambil melepaskan ikatan rambutnya.
"Owalah, berarti kamu yang salam tadi?" Bu Ratih memberikan telapak tangannya pada Rhea untuk dicium punggung tangannya.
"Hehehe.... Ibu masa' gak tau sih suara imut nan seksi milik anak sendiri?" kenarsisan Rhea mulai ditampilkan seperti biasanya jika dia berada diantara orang-orang yang dia kenal.
Namun, jika dia belum kenal, pasti dia akan bersikap cuek dan terkesan tidak ramah pada orang lain.
"Huffftt capek banget aku tuh Buuuu....," ucap Rhea sambil meregangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.
Pada saat dia menghadap ke arah kiri, matanya beradu pandang dengan mata Ustad Fariz. Rhea mengerjap-ngerjapkan matanya karena dia kaget dan bingung, siapa gerangan orang yang beradu pandang dengannya saat ini.
Ganteng banget, sedap dipandang mata. Siapa sih? Kok ada disini? Apa tamunya Ayah atau Ibu ya? Tapi kok di meja makan?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Rhea yang masih saja beradu pandang dengan Ustad Fariz.
Begitupula dengan Ustad Fariz yang terpesona oleh kecantikan dan tingkah laku alami seorang gadis yang masih berseragam SMP di depannya ini.
Masya Allah indah nian ciptaan Mu, tentu saja kalimat itu di ucapkan Ustad Fariz di dalam hati.
Tidak biasanya dia terpanah seperti ini ketika melihat lawan jenisnya. Biasanya dia menundukkan pandangannya atau menghindari tatapan mata langsung seperti ini pada lawan jenisnya.
Masih dalam posisi menolehkan tubuhnya ke kiri, Bu Ratih berdehem untuk menyadarkan Rhea.
Bu Ratih sendiri lupa jika masih ada Ustad Fariz disitu. Dengan santainya dia bercakap-cakap dengan Rhea seperti tidak ada orang lain.
"Ehem... aduh sampai lupa kalau masih ada Ustad Fariz disini," Bu Ratih menepuk dahinya berkali-kali.
Rhea mengembalikan posisi badannya dan duduk menghadap ke lain arah. Dia malu sudah bertingkah seperti itu di depan orang asing.
Oh jadi namanya Ustad Fariz. Wait, apa? Ustad? Ya iyalah pakai baju koko lengkap kayak gitu. Hah.... malu dong kelakuan konyol aku di depan seorang Ustad kayak gitu. Mana Ustad nya ganteng lagi. Aish... malu... malu... malu...., batin Rhea memberontak.
Ustad Fariz mengatupkan bibirnya, menahan senyumnya melihat kelakuan gadis di depannya ini. Sekarang dia sepertinya sedang malu, pipinya bersemu merah dan tidak berani menghadap ke arahnya.
Sungguh kali ini dia merasa terhibur dengan kelakuan seorang gadis yang baru ditemuinya. Memang banyak sekali dari kaum hawa yang mendekatinya dan menaruh perhatian padanya, namun sungguh dia tidak suka dengan gadis yang seperti itu.
Harusnya mereka menghargai dirinya sendiri dengan tidak mendekati seorang laki-laki atau bahkan terlalu agresif dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya.
Tetapi gadis di depannya ini berbeda, kecantikannya sangat natural dan tingkahnya sangat alami, dan anehnya itu berhasil menarik perhatiannya.
"Rhea, kenalin itu Ustad Fariz tadi habis mengisi pengajian di Masjid Nurul Iman gantiin Ustad Yadi," Bu Ratih memperkenalkan Ustad Fariz pada Rhea.
Rhea menoleh dan mengangguk sambil tersenyum pada Ustad Fariz. Dia bingung harus berkenalan seperti apa karena yang di hadapannya adalah seorang Ustad, apakah dia harus menjabat tangannya ataukah memberi salam. Ah... sungguh hanya masalah memperkenalkan diri saja bisa membuat dirinya menjadi dilema.
Ustad Fariz tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban anggukan dari Rhea. Ustad Fariz pun bingung harus menyapa dan memperkenalkan dirinya bagaimana pada Rhea, karena reaksi Rhea hanya tersenyum dan mengangguk setelah Bu Ratih memperkenalkannya.
"Kok cuma diem-dieman? Gak mau saling sapa gitu? Dih pada malu-malu," Bu Ratih terkekeh menggoda mereka.
"Hah?" Rhea menoleh pada Ibunya dan dia bersikap canggung bercampur malu, bingung harus apa ketika Ibunya berkata seperti itu.
"Ustad, kenalin ini Rhea anak saya," Bu Ratih memperkenalkan Rhea pada Ustad Fariz.
Mereka berdua tampak bingung harus apa, sepertinya Bu Ratih benar-benar menggoda mereka.
Padahal cuma perkara kenalan aja ribetnya minta ampun, Rhea membatin gelisah.
Ya Allah, aku harus bagaimana, kenapa bisa secanggung ini? Hanya menghadapi seorang gadis SMP aja lidahku kelu, gak bisa ngomong apa-apa. Kenapa begini? Ustad Fariz pun juga membatin.
"Aduh... kenapa jadi diem-dieman gini sih? Ngobrol santai aja, anggap aja keluarga sendiri biar akrab. Ibu tinggal ke dapur dulu ya," Bu Ratih berlalu pergi menuju dapur tanpa menunggu jawaban dari mereka.
"Rhea kelas berapa?" Ustad Fariz memberanikan diri membuka percakapan untuk mengenyahkan kecanggungan mereka.
"Kelas 3 SMP Ustad," Rhea menjawab dengan menunduk, dia masih merasa malu dengan tingkahnya tadi.
Apa-apaan ini, masa' kesan pertamaku kayak gini? Ah.... maluuuuuuuuu....., batin Rhea menjerit.
"Kok liat bawah terus, ada kecoa? Atau ada duit jatuh?" Ustad Fariz mulai berani menggoda Rhea.
Baru kali ini dia berani menggoda seorang gadis yang umurnya bisa dikatakan cocok sebagai adiknya.
Ah, mungkin dia sudah seperti adikku sendiri, jadi aku bisa gampang berinteraksi dengannya, batin Ustad Fariz yang juga heran dengan dirinya yang tiba-tiba bisa menggoda gadis yang ada di depannya ini dengan gampangnya dia menatapnya dan tersenyum padanya sedari tadi, tidak seperti dirinya sendiri yang hampir tidak pernah berinteraksi seperti itu dengan seorang gadis manapun.
"Eh...," Rhea mengangkat kepalanya menatap Ustad Fariz, kaget atas ucapannya yang entah itu guyonan atau sindiran karena dia tidak mau menatapnya ketika berbicara.
"Kamu sekolah dimana kok jam segini baru pulang?" tanya Ustad Fariz memecah kecanggungan Rhea.
"Di SMPN 3. Tadi sepulang sekolah lanjut pelajaran tambahan, soalnya udah kelas 3, jadi persiapan buat ujian," kini Rhea menjawabnya dengan sedikit santai dan menatap Ustad Fariz.
Ustad Fariz tersenyum melihat Rhea yang kini sudah sedikit santai berbicara dengannya, tidak secanggung tadi. Memang pembawaan Ustad Fariz yang begitu santai, humoris dan tentunya mempesona bisa menghempas kecanggungan mereka, dan itu pun diakui Rhea dalam hatinya.
Obrolan demi obrolan berlangsung dengan candaan dan akhirnya mereka dengan singkat sudah begitu akrab. Tawa mereka terdengar di semua ruangan di dalam rumah.
Bu Ratih tersenyum mendengar tawa mereka. Hingga akhirnya tawa mereka berhenti ketika Pak Adrian datang dan Bu Ratih keluar dari arah dapur dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang diserahkan pada Ustad Fariz untuk dibawanya pulang.
"Ini Ustad, dimakan ya nanti, semoga cocok di lidah Ustad," Bu Ratih menyerahkan beberapa bungkusan makanan tersebut pada Ustad Fariz.
"Alhamdulillah.... Ibu gak usah repot-repot, tadi saya sudah makan disini banyak sekali, ini saja sudah kenyang sekali, habisnya masakan Ibu enak sekali, sampai gak terasa saya makan banyak dan kekenyangan," Ustad Fariz menerima bungkusan tersebut merasa tidak enak merepotkan sedari tadi.
"Gapapa Ustad, gak ngerepotin kok, makanan masih banyak di dalam. Lagian Ibu senang Ustad mau mampir ke rumah kami.
Kalau berkenan Ustad Fariz bisa sering-sering mampir kesini ya, main-main gitu, Ibu kan udah anggap Ustad seperti anak sendiri," Bu Ratih memegang pundak Ustad Fariz dan tersenyum seperti berbicara pada anaknya sendiri.
Ustad Fariz menunduk, dia terharu, matanya berkaca-kaca, sudah lama sekali dia tidak merasakan seperti ini, perhatian dan kasih sayang seorang Ibu yang amat sangat dia rindukan.
"Loh Ustad kenapa?" Bu Ratih merasa bersalah, dia takut ada perkataannya yang salah satau menyinggung perasaan Ustad Fariz.
"Tidak apa-apa Bu, saya hanya merasa bahagia," Ustad Fariz menatap Bu Ratih dan tersenyum padanya.
"Bahagia? Kenapa? Tapi kok kayak sedih gitu, mau nangis?" Bu Ratih memberondongnya dengan beberapa pertanyaan karena merasa gelisah.
"Tidak apa-apa Bu, saya cuma kangen sama Ibu saya, rasanya sudah lama sekali saya tidak merasakan perhatian seorang Ibu seperti ini. Terima kasih Bu....," Ustad Fariz kembali tersenyum hangat pada Bu Ratih.
"Owalah... Ibu kirain kenapa. Lah kok bisa kangen sampai nangis gitu? Jangan-jangan Ustad gak pernah sowan ke rumah ya karena sibuk?" tuduh Bu Ratih yang tidak tahu tentang kehidupan Ustad Fariz.
Ustad Fariz kembali tersenyum dan berkata, "Kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya balita Bu, setelah itu saya diasuh oleh saudara dari Ibu saya dan ketika menginjak usia SD saya masuk pondok pesantren dan baru keluar kemarin-kemarin ini," Ustad Fariz menceritakan kehidupannya pada keluarga yang ada di depannya ini. Entah mengapa dia begitu nyaman, sehingga dia tidak sungkan menceritakan kehidupan pribadinya pada mereka.
Padahal selama ini dia tidak suka memberitahukan kisah kehidupannya pada orang lain, terkecuali sahabatnya di Pondok dan Kyai yang mempunyai Pondok Pesantren tempat dia mencari ilmu selama ini. Namun ada beberapa Ustad juga yang mengetahuinya, hanya beberapa, tidak semuanya.
"Maafkan Ibu ya nak Ustad, Ibu gak tau. Sudah jangan sedih, Ibu kan sudah anggap nak Ustad ini sebagai keluarga kita, jadi anggap aja Ibu seperti Ibu sendiri, dan sering-seringlah main kesini, kita semua pasti senang. Iya kan Yah?" Bu Ratih meminta pendapat Pak Adrian dan diangguki oleh beliau.
"Iya, sering-sering aja main kesini, tiap hari juga boleh, kita malah seneng," Pak Adrian tersenyum menimpali perkataan istrinya.
"Terima kasih Pak, Bu, saya senang sekali berada di tengah-tengah keluarga hangat seperti kalian. Dan terima kasih juga Bu atas makanannya, sudah makan banyak disini masih saja dibungkuskan buat dibawa pulang. Gak tau diri banget ya Bu?" canda Ustad Fariz memecah keadaan yang sedih terbawa suasana.
"Hahaha... gapapa mumpung ada, kalau gak ada, apa yang mau Ibu bawain? Masa' Rhea yang mau Ibu bawain?" canda Ibu menimpali candaan dari Ustad Fariz.
Pak Adrian dan Ustad Fariz tertawa mendengar candaan Ibu, kecuali Rhea yang tiba-tiba cemberut mendengar candaan Ibunya.
"Ibu mah seneng kalau anaknya gak di rumah," Rhea cemberut, dia tidak terima atas candaan Ibunya.
Padahal dalam hati Ustad Fariz mengatakan, Tidak apa-apa nih Bu saya bawa pulang Rhea nya? Kalau boleh saya jadikan istri juga. Astaghfirullahal 'adziim.... apa yang aku pikirkan? tanpa sadar kalimat-kalimat itu terlontar begitu saja di benak Ustad Fariz dan tentu saja itu hanya diucapkan di batinnya saja.
"Kan ada Rendi di rumah," jawab enteng Bu Ratih menggoda putrinya yang merajuk ini.
"Tuh kan... Ibu mah gitu, apa-apa Rendi," bibir Rhea mengerucut, sebal atas perkataan Ibunya.
"Hahaha... becanda sayang, ini loh bibirnya mesti maju kalau lagi ngambek," Ibu mencubit bibir Rhea yang mengerucut itu.
Dan itu mengundang tawa bagi Pak Adrian dan Ustad Fariz.
Kemudian datanglah seorang anak laki-laki kecil berumur 9 tahun.
"Assalamu'alaikum....," salam terlontar dari anak lelaki kecil itu.
"Wa'alaikumussalam.... sini nak kenalan sama Ustad dulu," Pak Adrian melambaikan tangannya ke arah anak itu agar mendekat padanya.
"Ustad, ini Rendi adiknya Rhea. Kami cuma punya dua anak, dan mereka ini anak-anak kami," Pak Adrian memperkenalkan Rendi pada Ustad Fariz.
Rendi pun mendekat dan mencium punggung tangan Ustad Fariz sebagai tanda hormat. Ustad Faris tersenyum dan mengelus puncak kepala Rendi ketika tangannya sudah terlepas dari tangan Rendi.
"Pak, Bu saya mohon ijin pulang dulu, sudah terlalu lama saya disini," pamit Ustad Fariz untuk undur diri.
"Kok buru-buru sih nak? Disini aja dulu sekalian makan malam, itu biar bungkusannya Ibu simpan dulu aja, nanti kalau mau pulang baru dibawa lagi," cegah Bu Ratih menahan agar Ustad Fariz lebih lama lagi berada disitu.
"Enggak enak Bu, nanti tambah merepotkan Ibu lagi. Untuk makan malam nanti kan ada ini bisa di makan nanti," Ustad Fariz mengangkat ke atas bungkusan makanan dari Bu Ratih tadi untuk memperlihatkannya pada semua kalau dia mempunyai makanan untuk nanti malam.
"Ya sudah, Ibu gak bisa melarang, tapi Ibu harap nak Ustad mau sering-sering main kesini meskipun tidak ada keperluan," Bu Ratih tersenyum hangat pada Ustad Fariz.
Ustad Fariz pun tersenyum, kemudian dia menangkupkan tangannya di depan dada. "Assalamualaikum....," Ustad Fariz pamit pada semuanya.
"Wa'alaikumussalam....," jawab serentak semua orang yang berada disitu.
"Bu, Ayah antar Ustad Fariz pulang dulu ya. Assalamu'alaikum....," pamit Pak Adrian pada istrinya.
"Wa'alaikumussalam... enggeh Yah, hati-hati di jalan. Oh iya Yah nanti tolong mintakan nomer ponselnya Ustad Fariz, barang kali kita ada perlu," Bu Ratih mencium punggung tangan suaminya sebelum Pak Adrian pergi. Dan Pak Adrian pun mengangguk dan mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Emak Femes
ealah rheeaaa ada2 saja
2022-09-05
1
☘️BILAA☘️
ehm ehm, cinta pada pandangan pertama sangat menarik, apalagi untuk melupakan,, semoga kalian nanti berjodoh, meskipun badai menghadang 🤗🤗🤗🤗
2022-09-05
5
ㄒ丨卂 Ꮯɧմɓɓყ🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️
mampir Thor
2022-09-05
3