Cinta Pertama Sang Ustadz

Cinta Pertama Sang Ustadz

Bab 1 Awal pertemuan

Sabtu ini pengajian diadakan di Masjid Nurul Iman dekat rumah Rhea. Memang sudah biasa setiap dua minggu sekali diadakan pengajian di Masjid tersebut.

Kali ini pembicaranya adalah Ustad Fariz karena menggantikan Ustad Yadi yang biasanya menjadi pembicara di Masjid tersebut pada tiap acara pengajian.

Tak hanya semua warga sekitar menghadiri pengajian di masjid tersebut, bahkan luar desa pun banyak yang selalu hadir dalam pengajian tersebut.

Ustad Fariz membawakan semua materi yang telah dia siapkan dengan baik. Pembawaannya yang tenang mampu membuat suasana menjadi nyaman.

Sikapnya yang sabar membuat jamaah tidak sungkan untuk banyak bertanya dan jawaban yang diberikannya pun mampu membuat mereka puas bahkan tertawa karena diselingi guyonan-guyonan dari sang Ustad yang mampu menjadi obat penawar kantuk membuat mereka tetap tertarik untuk mendengarkan.

Dan nilai plusnya lagi yaitu parasnya yang tampan dan usianya yang masih sangat muda mampu menghipnotis mereka, terutama para kaum hawa. Mata mereka enggan beralih dari sang Ustad.

Pengajian pun berakhir, para jamaah berbondong-bondong meninggalkan area masjid karena hari sudah menjelang sore.

Pengajian diadakan siang hari setelah shalat duhur bersama-sama di Masjid tersebut. Pak Adrian mempersilahkan Ustad Fariz dan panitia untuk makan di rumahnya.

Pak Adrian merupakan salah satu takmir di Masjid tersebut, dan tentu saja makanan yang mereka makan adalah masakan istri Pak Adrian yaitu Bu Ratih, Ibunda dari Rhea, pemilik catering yang terkenal di daerah tersebut.

Namun untuk makanan dan konsumsi di setiap pengajian, Bu Ratih tidak menerima uang sepeserpun, karena beliau juga ingin menjadi donatur seperti suaminya yang menjadi donatur tetap di Masjid Nurul Iman itu.

Semua panitia meninggalkan rumah Pak Adrian setelah makan. Namun Ustad Fariz masih tinggal di sana karena Pak Adrian yang akan mengantarkannya pulang.

Pak Adrian meninggalkan Ustad Fariz sebentar karena beliau sedang memberi pengarahan kepada pegawai wedding organizer-nya untuk acara pernikahan yang diurusi oleh wedding organizer milik Pak Adrian minggu depan.

Ustad Fariz masih menunggu Pak Adrian di meja makan dan Bu Ratih yang tadinya menemani Ustad Fariz ngobrol, pamit sebentar ke dapur untuk membungkuskan makanan untuk dibawa pulang Ustad Fariz.

"Assalamu'alaikum Ayah, Ibu... Rhea pulang....," Rhea masuk ke dalam rumah dan berlalu menuju kulkas untuk mengambil minuman dingin yang bisa meredakan kekeringan pada tenggorokannya.

Kebetulan sekali kulkas yang berisi minuman dan buah berada di ruang makan, sedangkan kulkas yang berada di dapur yaitu kulkas yang berisi keperluan dapur, seperti bahan makanan, sayuran, daging, dan sebagainya.

Rhea mengambil air putih dingin dan dituangkan ke dalam gelas, kemudian dia minum sambil berdiri di depan kulkas.

"Hmmmm..... segarnyaaaaa....," Rhea mengelus tenggorokannya yang sudah terbebas dari kekeringan.

Kemudian dia meletakkan gelas itu pada meja makan dan dia duduk di kursi meja makan tanpa melihat sekitar.

"Wa'alaikumussalam... ," Bu Ratih tergopoh-gopoh berlari kecil dari dalam dapur.

Setelah berada di ruang makan dan melihat Rhea duduk sambil melepas jaketnya, Bu Ratih mendadak berhenti,

"Loh Rhea udah pulang? Kok diam aja sih dengar ada tamu yang ngucapin salam?"

"Tamu? Mana ada. Orang Rhea barusan datang gak ada orang kok di depan," jawab Rhea santai sambil melepaskan ikatan rambutnya.

"Owalah, berarti kamu yang salam tadi?" Bu Ratih memberikan telapak tangannya pada Rhea untuk dicium punggung tangannya.

"Hehehe.... Ibu masa' gak tau sih suara imut nan seksi milik anak sendiri?" kenarsisan Rhea mulai ditampilkan seperti biasanya jika dia berada diantara orang-orang yang dia kenal.

Namun, jika dia belum kenal, pasti dia akan bersikap cuek dan terkesan tidak ramah pada orang lain.

"Huffftt capek banget aku tuh Buuuu....," ucap Rhea sambil meregangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan.

Pada saat dia menghadap ke arah kiri, matanya beradu pandang dengan mata Ustad Fariz. Rhea mengerjap-ngerjapkan matanya karena dia kaget dan bingung, siapa gerangan orang yang beradu pandang dengannya saat ini.

Ganteng banget, sedap dipandang mata. Siapa sih? Kok ada disini? Apa tamunya Ayah atau Ibu ya? Tapi kok di meja makan?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Rhea yang masih saja beradu pandang dengan Ustad Fariz.

Begitupula dengan Ustad Fariz yang terpesona oleh kecantikan dan tingkah laku alami seorang gadis yang masih berseragam SMP di depannya ini.

Masya Allah indah nian ciptaan Mu, tentu saja kalimat itu di ucapkan Ustad Fariz di dalam hati.

Tidak biasanya dia terpanah seperti ini ketika melihat lawan jenisnya. Biasanya dia menundukkan pandangannya atau menghindari tatapan mata langsung seperti ini pada lawan jenisnya.

Masih dalam posisi menolehkan tubuhnya ke kiri, Bu Ratih berdehem untuk menyadarkan Rhea.

Bu Ratih sendiri lupa jika masih ada Ustad Fariz disitu. Dengan santainya dia bercakap-cakap dengan Rhea seperti tidak ada orang lain.

"Ehem... aduh sampai lupa kalau masih ada Ustad Fariz disini," Bu Ratih menepuk dahinya berkali-kali.

Rhea mengembalikan posisi badannya dan duduk menghadap ke lain arah. Dia malu sudah bertingkah seperti itu di depan orang asing.

Oh jadi namanya Ustad Fariz. Wait, apa? Ustad? Ya iyalah pakai baju koko lengkap kayak gitu. Hah.... malu dong kelakuan konyol aku di depan seorang Ustad kayak gitu. Mana Ustad nya ganteng lagi. Aish... malu... malu... malu...., batin Rhea memberontak.

Ustad Fariz mengatupkan bibirnya, menahan senyumnya melihat kelakuan gadis di depannya ini. Sekarang dia sepertinya sedang malu, pipinya bersemu merah dan tidak berani menghadap ke arahnya.

Sungguh kali ini dia merasa terhibur dengan kelakuan seorang gadis yang baru ditemuinya. Memang banyak sekali dari kaum hawa yang mendekatinya dan menaruh perhatian padanya, namun sungguh dia tidak suka dengan gadis yang seperti itu.

Harusnya mereka menghargai dirinya sendiri dengan tidak mendekati seorang laki-laki atau bahkan terlalu agresif dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya.

Tetapi gadis di depannya ini berbeda, kecantikannya sangat natural dan tingkahnya sangat alami, dan anehnya itu berhasil menarik perhatiannya.

"Rhea, kenalin itu Ustad Fariz tadi habis mengisi pengajian di Masjid Nurul Iman gantiin Ustad Yadi," Bu Ratih memperkenalkan Ustad Fariz pada Rhea.

Rhea menoleh dan mengangguk sambil tersenyum pada Ustad Fariz. Dia bingung harus berkenalan seperti apa karena yang di hadapannya adalah seorang Ustad, apakah dia harus menjabat tangannya ataukah memberi salam. Ah... sungguh hanya masalah memperkenalkan diri saja bisa membuat dirinya menjadi dilema.

Ustad Fariz tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban anggukan dari Rhea. Ustad Fariz pun bingung harus menyapa dan memperkenalkan dirinya bagaimana pada Rhea, karena reaksi Rhea hanya tersenyum dan mengangguk setelah Bu Ratih memperkenalkannya.

"Kok cuma diem-dieman? Gak mau saling sapa gitu? Dih pada malu-malu," Bu Ratih terkekeh menggoda mereka.

"Hah?" Rhea menoleh pada Ibunya dan dia bersikap canggung bercampur malu, bingung harus apa ketika Ibunya berkata seperti itu.

"Ustad, kenalin ini Rhea anak saya," Bu Ratih memperkenalkan Rhea pada Ustad Fariz.

Mereka berdua tampak bingung harus apa, sepertinya Bu Ratih benar-benar menggoda mereka.

Padahal cuma perkara kenalan aja ribetnya minta ampun, Rhea membatin gelisah.

Ya Allah, aku harus bagaimana, kenapa bisa secanggung ini? Hanya menghadapi seorang gadis SMP aja lidahku kelu, gak bisa ngomong apa-apa. Kenapa begini? Ustad Fariz pun juga membatin.

"Aduh... kenapa jadi diem-dieman gini sih? Ngobrol santai aja, anggap aja keluarga sendiri biar akrab. Ibu tinggal ke dapur dulu ya," Bu Ratih berlalu pergi menuju dapur tanpa menunggu jawaban dari mereka.

"Rhea kelas berapa?" Ustad Fariz memberanikan diri membuka percakapan untuk mengenyahkan kecanggungan mereka.

"Kelas 3 SMP Ustad," Rhea menjawab dengan menunduk, dia masih merasa malu dengan tingkahnya tadi.

Apa-apaan ini, masa' kesan pertamaku kayak gini? Ah.... maluuuuuuuuu....., batin Rhea menjerit.

"Kok liat bawah terus, ada kecoa? Atau ada duit jatuh?" Ustad Fariz mulai berani menggoda Rhea.

Baru kali ini dia berani menggoda seorang gadis yang umurnya bisa dikatakan cocok sebagai adiknya.

Ah, mungkin dia sudah seperti adikku sendiri, jadi aku bisa gampang berinteraksi dengannya, batin Ustad Fariz yang juga heran dengan dirinya yang tiba-tiba bisa menggoda gadis yang ada di depannya ini dengan gampangnya dia menatapnya dan tersenyum padanya sedari tadi, tidak seperti dirinya sendiri yang hampir tidak pernah berinteraksi seperti itu dengan seorang gadis manapun.

"Eh...," Rhea mengangkat kepalanya menatap Ustad Fariz, kaget atas ucapannya yang entah itu guyonan atau sindiran karena dia tidak mau menatapnya ketika berbicara.

"Kamu sekolah dimana kok jam segini baru pulang?" tanya Ustad Fariz memecah kecanggungan Rhea.

"Di SMPN 3. Tadi sepulang sekolah lanjut pelajaran tambahan, soalnya udah kelas 3, jadi persiapan buat ujian," kini Rhea menjawabnya dengan sedikit santai dan menatap Ustad Fariz.

Ustad Fariz tersenyum melihat Rhea yang kini sudah sedikit santai berbicara dengannya, tidak secanggung tadi. Memang pembawaan Ustad Fariz yang begitu santai, humoris dan tentunya mempesona bisa menghempas kecanggungan mereka, dan itu pun diakui Rhea dalam hatinya.

Obrolan demi obrolan berlangsung dengan candaan dan akhirnya mereka dengan singkat sudah begitu akrab. Tawa mereka terdengar di semua ruangan di dalam rumah.

Bu Ratih tersenyum mendengar tawa mereka. Hingga akhirnya tawa mereka berhenti ketika Pak Adrian datang dan Bu Ratih keluar dari arah dapur dengan membawa beberapa bungkusan makanan yang diserahkan pada Ustad Fariz untuk dibawanya pulang.

"Ini Ustad, dimakan ya nanti, semoga cocok di lidah Ustad," Bu Ratih menyerahkan beberapa bungkusan makanan tersebut pada Ustad Fariz.

"Alhamdulillah.... Ibu gak usah repot-repot, tadi saya sudah makan disini banyak sekali, ini saja sudah kenyang sekali, habisnya masakan Ibu enak sekali, sampai gak terasa saya makan banyak dan kekenyangan," Ustad Fariz menerima bungkusan tersebut merasa tidak enak merepotkan sedari tadi.

"Gapapa Ustad, gak ngerepotin kok, makanan masih banyak di dalam. Lagian Ibu senang Ustad mau mampir ke rumah kami.

Kalau berkenan Ustad Fariz bisa sering-sering mampir kesini ya, main-main gitu, Ibu kan udah anggap Ustad seperti anak sendiri," Bu Ratih memegang pundak Ustad Fariz dan tersenyum seperti berbicara pada anaknya sendiri.

Ustad Fariz menunduk, dia terharu, matanya berkaca-kaca, sudah lama sekali dia tidak merasakan seperti ini, perhatian dan kasih sayang seorang Ibu yang amat sangat dia rindukan.

"Loh Ustad kenapa?" Bu Ratih merasa bersalah, dia takut ada perkataannya yang salah satau menyinggung perasaan Ustad Fariz.

"Tidak apa-apa Bu, saya hanya merasa bahagia," Ustad Fariz menatap Bu Ratih dan tersenyum padanya.

"Bahagia? Kenapa? Tapi kok kayak sedih gitu, mau nangis?" Bu Ratih memberondongnya dengan beberapa pertanyaan karena merasa gelisah.

"Tidak apa-apa Bu, saya cuma kangen sama Ibu saya, rasanya sudah lama sekali saya tidak merasakan perhatian seorang Ibu seperti ini. Terima kasih Bu....," Ustad Fariz kembali tersenyum hangat pada Bu Ratih.

"Owalah... Ibu kirain kenapa. Lah kok bisa kangen sampai nangis gitu? Jangan-jangan Ustad gak pernah sowan ke rumah ya karena sibuk?" tuduh Bu Ratih yang tidak tahu tentang kehidupan Ustad Fariz.

Ustad Fariz kembali tersenyum dan berkata, "Kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya balita Bu, setelah itu saya diasuh oleh saudara dari Ibu saya dan ketika menginjak usia SD saya masuk pondok pesantren dan baru keluar kemarin-kemarin ini," Ustad Fariz menceritakan kehidupannya pada keluarga yang ada di depannya ini. Entah mengapa dia begitu nyaman, sehingga dia tidak sungkan menceritakan kehidupan pribadinya pada mereka.

Padahal selama ini dia tidak suka memberitahukan kisah kehidupannya pada orang lain, terkecuali sahabatnya di Pondok dan Kyai yang mempunyai Pondok Pesantren tempat dia mencari ilmu selama ini. Namun ada beberapa Ustad juga yang mengetahuinya, hanya beberapa, tidak semuanya.

"Maafkan Ibu ya nak Ustad, Ibu gak tau. Sudah jangan sedih, Ibu kan sudah anggap nak Ustad ini sebagai keluarga kita, jadi anggap aja Ibu seperti Ibu sendiri, dan sering-seringlah main kesini, kita semua pasti senang. Iya kan Yah?" Bu Ratih meminta pendapat Pak Adrian dan diangguki oleh beliau.

"Iya, sering-sering aja main kesini, tiap hari juga boleh, kita malah seneng," Pak Adrian tersenyum menimpali perkataan istrinya.

"Terima kasih Pak, Bu, saya senang sekali berada di tengah-tengah keluarga hangat seperti kalian. Dan terima kasih juga Bu atas makanannya, sudah makan banyak disini masih saja dibungkuskan buat dibawa pulang. Gak tau diri banget ya Bu?" canda Ustad Fariz memecah keadaan yang sedih terbawa suasana.

"Hahaha... gapapa mumpung ada, kalau gak ada, apa yang mau Ibu bawain? Masa' Rhea yang mau Ibu bawain?" canda Ibu menimpali candaan dari Ustad Fariz.

Pak Adrian dan Ustad Fariz tertawa mendengar candaan Ibu, kecuali Rhea yang tiba-tiba cemberut mendengar candaan Ibunya.

"Ibu mah seneng kalau anaknya gak di rumah," Rhea cemberut, dia tidak terima atas candaan Ibunya.

Padahal dalam hati Ustad Fariz mengatakan, Tidak apa-apa nih Bu saya bawa pulang Rhea nya? Kalau boleh saya jadikan istri juga. Astaghfirullahal 'adziim.... apa yang aku pikirkan? tanpa sadar kalimat-kalimat itu terlontar begitu saja di benak Ustad Fariz dan tentu saja itu hanya diucapkan di batinnya saja.

"Kan ada Rendi di rumah," jawab enteng Bu Ratih menggoda putrinya yang merajuk ini.

"Tuh kan... Ibu mah gitu, apa-apa Rendi," bibir Rhea mengerucut, sebal atas perkataan Ibunya.

"Hahaha... becanda sayang, ini loh bibirnya mesti maju kalau lagi ngambek," Ibu mencubit bibir Rhea yang mengerucut itu.

Dan itu mengundang tawa bagi Pak Adrian dan Ustad Fariz.

Kemudian datanglah seorang anak laki-laki kecil berumur 9 tahun.

"Assalamu'alaikum....," salam terlontar dari anak lelaki kecil itu.

"Wa'alaikumussalam.... sini nak kenalan sama Ustad dulu," Pak Adrian melambaikan tangannya ke arah anak itu agar mendekat padanya.

"Ustad, ini Rendi adiknya Rhea. Kami cuma punya dua anak, dan mereka ini anak-anak kami," Pak Adrian memperkenalkan Rendi pada Ustad Fariz.

Rendi pun mendekat dan mencium punggung tangan Ustad Fariz sebagai tanda hormat. Ustad Faris tersenyum dan mengelus puncak kepala Rendi ketika tangannya sudah terlepas dari tangan Rendi.

"Pak, Bu saya mohon ijin pulang dulu, sudah terlalu lama saya disini," pamit Ustad Fariz untuk undur diri.

"Kok buru-buru sih nak? Disini aja dulu sekalian makan malam, itu biar bungkusannya Ibu simpan dulu aja, nanti kalau mau pulang baru dibawa lagi," cegah Bu Ratih menahan agar Ustad Fariz lebih lama lagi berada disitu.

"Enggak enak Bu, nanti tambah merepotkan Ibu lagi. Untuk makan malam nanti kan ada ini bisa di makan nanti," Ustad Fariz mengangkat ke atas bungkusan makanan dari Bu Ratih tadi untuk memperlihatkannya pada semua kalau dia mempunyai makanan untuk nanti malam.

"Ya sudah, Ibu gak bisa melarang, tapi Ibu harap nak Ustad mau sering-sering main kesini meskipun tidak ada keperluan," Bu Ratih tersenyum hangat pada Ustad Fariz.

Ustad Fariz pun tersenyum, kemudian dia menangkupkan tangannya di depan dada. "Assalamualaikum....," Ustad Fariz pamit pada semuanya.

"Wa'alaikumussalam....," jawab serentak semua orang yang berada disitu.

"Bu, Ayah antar Ustad Fariz pulang dulu ya. Assalamu'alaikum....," pamit Pak Adrian pada istrinya.

"Wa'alaikumussalam... enggeh Yah, hati-hati di jalan. Oh iya Yah nanti tolong mintakan nomer ponselnya Ustad Fariz, barang kali kita ada perlu," Bu Ratih mencium punggung tangan suaminya sebelum Pak Adrian pergi. Dan Pak Adrian pun mengangguk dan mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.

Terpopuler

Comments

Emak Femes

Emak Femes

ealah rheeaaa ada2 saja

2022-09-05

1

☘️BILAA☘️

☘️BILAA☘️

ehm ehm, cinta pada pandangan pertama sangat menarik, apalagi untuk melupakan,, semoga kalian nanti berjodoh, meskipun badai menghadang 🤗🤗🤗🤗

2022-09-05

5

ㄒ丨卂 Ꮯɧմɓɓყ🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️

ㄒ丨卂 Ꮯɧմɓɓყ🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️

mampir Thor

2022-09-05

3

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 Awal pertemuan
2 Bab 2 Semakin menjauh
3 Bab 3 Kasih tak sampai
4 Bab 4 Perasaan yang begitu menyiksa
5 Bab 5 Selamat tinggal cinta
6 Bab 6 Pertemuan yang tak terduga
7 Bab 7 Makan bersama
8 Bab 8 Janda
9 Bab 9 Brownies kenangan
10 Bab 10 Bedah buku
11 Bab 11 Pelakor
12 Bab 12 Cerai
13 Bab 13 Poligami
14 Bab 14 Rencana licik
15 Bab 15 Cemburu
16 Bab 16 Sebuah Keputusan
17 Bab 17 Sebuah kejutan
18 Bab 18 Istri teladan
19 Bab 19 Penyebar fitnah vs istri salihah
20 Bab 20 Menanti kepastian
21 Bab 21 Sebuah keputusan
22 Bab 22 Penghinaan
23 Bab 23 Sah!
24 Bab 24 Tiiit... tiit... tiiit...
25 Bab 25 Kebahagiaan yang hakiki
26 Bab 26 Hamil?
27 Bab 27 Zonk!
28 Bab 28 Caper
29 Bab 29 Gagal
30 Bab 30 Takut khilaf
31 Bab 31 Anugerah apa bencana?
32 Bab 32 Gosip yang beredar
33 Bab 33 Baper gara-gara brownies
34 Bab 34 Kesedihan dalam kesendirian
35 Bab 35 Tragedi buah mangga
36 Bab 36 Kesalahpahaman
37 Bab 37 Bersyarat
38 Bab 38 Keputusan
39 Bab 39 Minggat
40 Bab 40 Mimpi yang meresahkan
41 Bab 41 Damai
42 Bab 42 Ribut
43 Bab 43 Rencana
44 Bab 44 Pendarahan
45 Bab 45 Kenyataan
46 Bab 46 Keguguran?
47 Bab 47 Gagal Paham
48 Bab 48 Talak tiga!
49 Bab 49 Menuju awal baru
50 Bab 50 Tidak terima
51 Bab 51 Perebut suami dan kebahagiaan
52 Bab 52 Kamar yang menjadi saksi
53 Bab 53 Labil
54 Bab 54 Pelakon handal
55 Bab 55 Kepoin Zahra
56 Bab 56 Konferensi Forum Pergibahan
57 Bab 57 Berita yang tersebar
58 Bab 58 Jamaah oh jamaah
59 Bab 59 Orang yang terzalimi?
60 Bab 60 Mencari titik terang
61 Bab 61 Julid
62 Bab 62 Titik terang
63 Bab 63 Pemahaman yang salah
64 Bab 64 Bersumpahlah!
65 Bab 65 Ungkapan kekecewaan Mirna
66 Bab 66 Bisakah berjauhan?
67 Bab 67 Awal dari kerinduan
68 Bab 68 Kamuflase
69 Bab 69 Usaha Mirna
70 Bab 70 Senjata makan tuan
71 Bab 71 Perjuangan Mirna
72 Bab 72 Dokter cinta
73 Bab 73 Rindu yang menyiksa
74 Bab 74 Kejutan
75 Bab 75 Good News
76 Bab 76 Surat
77 Bab 77 Kembalinya Mirna
78 Bab 78 Pendarahan?
79 Bab 79 Kejahilan Ustad Jaki
80 Bab 80 Karma?
81 Bab 81 Aku mau!
82 Bab 82 Buah dari kesabaran
83 Bab 83 Ada apa dengan Mirna?
84 Bab 84 Proses yang harus dilewati
85 Bab 85 Awal rasa cemburu
86 Bab 86 Restu
87 Bab 87 Yess!!!
88 Bab 88 Cemburu berjamaah
89 Bab 89 Dasar gak peka!
90 Bab 90 Cieee....
91 Bab 91 Sebelum janur kuning melengkung
92 Bab 92 Mencintai suami orang
93 Bab 93 Akhirnya...
94 Bab 94 Jaga diri, jaga jarak dan jaga hati
95 Bab 95 Usaha tidak akan mengkhianati hasil
96 Bab 96 Tak tahan
97 Bab 97 So sweet....
98 Bab 98 Radar wanita
99 Bab 99 kesialan atau keberuntungan?
100 Bab 100 Somplak
101 Bab 101 Perasaan bersalah
102 Bab 102 Harapan
103 Bab 103 Bocah yang bisa bikin bocah
104 Bab 104 Kalah sebelum berperang
105 Bab 105 Sinyal yang salah
106 Bab 106 Istimewa
107 Bab 107 Dejavu
108 Bab 108 Pencarian terowongan
109 Bab 109 Andai saja...
110 Bab 110 Minat poligami?
111 Bab 111 Diantara dua pilihan
112 Bab 112 Jalan tol bebas hambatan
113 Bab 113 Vitamin C
114 Bab 114 Pulang
115 Bab 115 Ketenangan sesudah dan sebelum badai
116 Bab 116 Salah paham
117 Bab 117 Kesedihan vs kekesalan
118 Bab 118 Pasang surut kecemburuan
119 Bab 119 Ucapan adalah doa
120 Bab 120 Drama keluarga
121 Bab 121 Nafas buatan
122 Bab 122 Antara ingin dan malu
123 Bab 123 Awal yang buruk
124 Bab 124 Keegoisan yang berakhir malu
125 Bab 125 Surat cinta
126 Bab 126 Laki-laki
127 Bab 127 Seandainya...
128 Bab 128 Ingatan yang hilang
129 Bab 129 Ingatan yang menyiksa
130 Bab 130 Latihan
131 Bab 131 Positif?
132 Bab 132 Pejantan tangguh yang sedang pamer
133 Bab 133 Teror cinta
134 Bab 134 Gedean mana?
135 Bab 135 Hana dan Gibran
136 Bab 136 Mencari Rheina Az Zahra
137 Bab 137 Fakta baru
138 Bab 138 ASI
139 Bab 139 Couple yang luar biasa
140 Bab 140 Ijinkan aku menikah dengannya
141 Bab 141 Sahabat yang berbagi suka dan duka
142 Bab 142 Haruskah?
143 Bab 143 Cara meluluhkan dan menyenangkan hati istri
144 Bab 144 Apa yang sebenarnya terjadi?
145 Bab 145 Indahnya cinta
146 Bab 146 Pengorbanan suami siaga
147 Bab 147 Sakit....
148 Bab 148 Cantik
149 Bab 149 Hanya waktu yang bisa menjawab
150 Bab 150 Pondok Pesantren Al-Mukmin
151 Bab 151 Kebetulan atau takdir?
152 Bab 152 Awal atau akhir?
153 Bab 153 Hana?
154 Bab 154 Tentang aku pada saat itu
155 Bab 155 Iri, marah, kesal dan sakit hati
156 Bab 156 Pembuktian pria sejati
157 Bab 157 Ingin meraih kembali
158 Bab 158 Ada apa dengan dia?
159 Bab 159 Mempertanyakan keputusan
160 Bab 160 Bisakah berdamai dengan masa lalu?
161 Bab 161 Konferensi program kesejahteraan keluarga berencana
162 Bab 162 Malaikat tak bersayap
163 Bab 163 Dilema
164 Bab 164 Takdir Allah
165 Bab 165 Bisakah bahagia?
166 Bab 166 Kebahagiaan dan kesedihan
167 Bab 167 Aku tahu rasanya
168 Bab 168 Sebuah syarat
169 Bab 169 Hak dan tidak berhak
170 Bab 170 Rezeki di kala cobaan datang
171 Bab 171 Kegembiraan vs kesedihan
172 Bab 172 Suatu Permintaan
173 Bab 173 Kehilangan
174 Bab 174 Sebuah perhatian
175 Bab 175 Sebuah pesan
176 Bab 176 Suami baru ya?
177 Bab 177 Seperti keluarga
178 Bab 178 Jangan salahkan keadaan
179 Bab 179 Kedatangan Emir
180 Bab 180 Pembawa kedamaian
181 Bab 181 Pilih yang mana?
182 Bab 182 Beristri dua?
183 Bab 183 Pacar atau suami?
184 Bab 184 Apa kamu menyetujui pernikahan ini?
185 Bab 185 Apa kamu bersedia?
186 Bab 186 Sebuah jawaban
187 Bab 187 Menikah dengan dia?
188 Bab 188 Bimbang
189 Bab 189 Malam peralihan
190 Bab 190 Menikah?
191 Bab 191 Bertukar pasangan
192 Bab 192 Aku ingin....
193 Bab 193 Jodoh yang tertukar?
194 Bab 194 Ada apa dengan Mirna?
195 Bab 195 Apa dia cemburu?
196 Bab 196 Kuda-kudaan
197 Bab 197 Bertemu mantan
198 Bab 198 Pamer kemesraan
199 Bab 199 Pembawa Bencana
200 Bab 200 Maaf
201 Bab 201 Suatu kabar
202 Bab 202 Datang dan pergi
203 Bab 203 Hidup dan Mati
204 Bab 204 Beberapa pesan dari Umi
205 Bab 205 Kesedihan yang mendalam
206 Bab 206 Kepergian Umi
207 Bab 207 Kabar yang ditunggu
208 Bab 208 Rasa kehilangan
209 Bab 209 Ketakutan Hana
210 Bab 210 Kenyataan yang kelam
211 Bab 211 Apa ini yang terbaik?
212 Bab 212 Kenyataan yang sangat rumit
213 Bab 213 Menjadi istri dan ibu yang baik
214 Bab 214 Adu mulut khas ibu-ibu
215 Bab 215 Kekesalan Mirna
216 Bab 216 Suatu keinginan
217 Bab 217 Bertemu di Pondok Pesantren
218 Bab 218 Nasib
219 Bab 219 Kehilangan
220 Bab 220 Kecantikan Yasmin
221 Bab 221 Pencarian Yasmin
222 Bab 222 Di antara dua pilihan
223 Bab 223 Nasib Yasmin
224 Bab 224 Terulang kembali
225 Bab 225 Kemalangan Zahra
226 Bab 226 Kehidupan Zahra
227 Bab 227 Kaburnya Zahra
228 Bab 228 Pertemuan Zahra
229 Bab 229 Gadis itu....
230 Bab 230 Mirip Rhea
231 Bab 231 Mencari kebenaran
232 Bab 232 Apa aku hamil?
233 Bab 233 Kesombongan Mirna
234 Bab 234 Masa lalu Zahra
235 Bab 235 Perseteruan Salsa dan Hana
236 Bab 236 Titik terang
237 Bab 237 Antara Izam, Salsa, Hana dan Yasmin
238 Bab 238 Acara tasyakuran
239 Bab 239 Blighted Ovum
240 Bab 240 Kesombongan dan kegagalan
241 Bab 241 Menyukai seorang Ustadz
242 Bab 242 Perjodohan
243 Bab 243 Kebingungan Izam
244 Bab 244 Kesedihan Salsa
245 Bab 245 Kebimbangan Izam
246 Bab 246 Kecemasan Izam
247 Bab 247 Apendisitis
248 Bab 248 Kenyataan
249 Bab 249 Mencari jawaban hati
250 Bab 250 Aku mau!
251 Bab 251 Keputusan
252 Bab 252 Lamaran model apa ini?
253 Bab 253 Penolakan Izam
254 Bab 254 Bersyarat
255 Bab 255 Kebahagiaan yang menjadi luka
256 Bab 256 Ikatan suci
257 Buku Baru She_Na
Episodes

Updated 257 Episodes

1
Bab 1 Awal pertemuan
2
Bab 2 Semakin menjauh
3
Bab 3 Kasih tak sampai
4
Bab 4 Perasaan yang begitu menyiksa
5
Bab 5 Selamat tinggal cinta
6
Bab 6 Pertemuan yang tak terduga
7
Bab 7 Makan bersama
8
Bab 8 Janda
9
Bab 9 Brownies kenangan
10
Bab 10 Bedah buku
11
Bab 11 Pelakor
12
Bab 12 Cerai
13
Bab 13 Poligami
14
Bab 14 Rencana licik
15
Bab 15 Cemburu
16
Bab 16 Sebuah Keputusan
17
Bab 17 Sebuah kejutan
18
Bab 18 Istri teladan
19
Bab 19 Penyebar fitnah vs istri salihah
20
Bab 20 Menanti kepastian
21
Bab 21 Sebuah keputusan
22
Bab 22 Penghinaan
23
Bab 23 Sah!
24
Bab 24 Tiiit... tiit... tiiit...
25
Bab 25 Kebahagiaan yang hakiki
26
Bab 26 Hamil?
27
Bab 27 Zonk!
28
Bab 28 Caper
29
Bab 29 Gagal
30
Bab 30 Takut khilaf
31
Bab 31 Anugerah apa bencana?
32
Bab 32 Gosip yang beredar
33
Bab 33 Baper gara-gara brownies
34
Bab 34 Kesedihan dalam kesendirian
35
Bab 35 Tragedi buah mangga
36
Bab 36 Kesalahpahaman
37
Bab 37 Bersyarat
38
Bab 38 Keputusan
39
Bab 39 Minggat
40
Bab 40 Mimpi yang meresahkan
41
Bab 41 Damai
42
Bab 42 Ribut
43
Bab 43 Rencana
44
Bab 44 Pendarahan
45
Bab 45 Kenyataan
46
Bab 46 Keguguran?
47
Bab 47 Gagal Paham
48
Bab 48 Talak tiga!
49
Bab 49 Menuju awal baru
50
Bab 50 Tidak terima
51
Bab 51 Perebut suami dan kebahagiaan
52
Bab 52 Kamar yang menjadi saksi
53
Bab 53 Labil
54
Bab 54 Pelakon handal
55
Bab 55 Kepoin Zahra
56
Bab 56 Konferensi Forum Pergibahan
57
Bab 57 Berita yang tersebar
58
Bab 58 Jamaah oh jamaah
59
Bab 59 Orang yang terzalimi?
60
Bab 60 Mencari titik terang
61
Bab 61 Julid
62
Bab 62 Titik terang
63
Bab 63 Pemahaman yang salah
64
Bab 64 Bersumpahlah!
65
Bab 65 Ungkapan kekecewaan Mirna
66
Bab 66 Bisakah berjauhan?
67
Bab 67 Awal dari kerinduan
68
Bab 68 Kamuflase
69
Bab 69 Usaha Mirna
70
Bab 70 Senjata makan tuan
71
Bab 71 Perjuangan Mirna
72
Bab 72 Dokter cinta
73
Bab 73 Rindu yang menyiksa
74
Bab 74 Kejutan
75
Bab 75 Good News
76
Bab 76 Surat
77
Bab 77 Kembalinya Mirna
78
Bab 78 Pendarahan?
79
Bab 79 Kejahilan Ustad Jaki
80
Bab 80 Karma?
81
Bab 81 Aku mau!
82
Bab 82 Buah dari kesabaran
83
Bab 83 Ada apa dengan Mirna?
84
Bab 84 Proses yang harus dilewati
85
Bab 85 Awal rasa cemburu
86
Bab 86 Restu
87
Bab 87 Yess!!!
88
Bab 88 Cemburu berjamaah
89
Bab 89 Dasar gak peka!
90
Bab 90 Cieee....
91
Bab 91 Sebelum janur kuning melengkung
92
Bab 92 Mencintai suami orang
93
Bab 93 Akhirnya...
94
Bab 94 Jaga diri, jaga jarak dan jaga hati
95
Bab 95 Usaha tidak akan mengkhianati hasil
96
Bab 96 Tak tahan
97
Bab 97 So sweet....
98
Bab 98 Radar wanita
99
Bab 99 kesialan atau keberuntungan?
100
Bab 100 Somplak
101
Bab 101 Perasaan bersalah
102
Bab 102 Harapan
103
Bab 103 Bocah yang bisa bikin bocah
104
Bab 104 Kalah sebelum berperang
105
Bab 105 Sinyal yang salah
106
Bab 106 Istimewa
107
Bab 107 Dejavu
108
Bab 108 Pencarian terowongan
109
Bab 109 Andai saja...
110
Bab 110 Minat poligami?
111
Bab 111 Diantara dua pilihan
112
Bab 112 Jalan tol bebas hambatan
113
Bab 113 Vitamin C
114
Bab 114 Pulang
115
Bab 115 Ketenangan sesudah dan sebelum badai
116
Bab 116 Salah paham
117
Bab 117 Kesedihan vs kekesalan
118
Bab 118 Pasang surut kecemburuan
119
Bab 119 Ucapan adalah doa
120
Bab 120 Drama keluarga
121
Bab 121 Nafas buatan
122
Bab 122 Antara ingin dan malu
123
Bab 123 Awal yang buruk
124
Bab 124 Keegoisan yang berakhir malu
125
Bab 125 Surat cinta
126
Bab 126 Laki-laki
127
Bab 127 Seandainya...
128
Bab 128 Ingatan yang hilang
129
Bab 129 Ingatan yang menyiksa
130
Bab 130 Latihan
131
Bab 131 Positif?
132
Bab 132 Pejantan tangguh yang sedang pamer
133
Bab 133 Teror cinta
134
Bab 134 Gedean mana?
135
Bab 135 Hana dan Gibran
136
Bab 136 Mencari Rheina Az Zahra
137
Bab 137 Fakta baru
138
Bab 138 ASI
139
Bab 139 Couple yang luar biasa
140
Bab 140 Ijinkan aku menikah dengannya
141
Bab 141 Sahabat yang berbagi suka dan duka
142
Bab 142 Haruskah?
143
Bab 143 Cara meluluhkan dan menyenangkan hati istri
144
Bab 144 Apa yang sebenarnya terjadi?
145
Bab 145 Indahnya cinta
146
Bab 146 Pengorbanan suami siaga
147
Bab 147 Sakit....
148
Bab 148 Cantik
149
Bab 149 Hanya waktu yang bisa menjawab
150
Bab 150 Pondok Pesantren Al-Mukmin
151
Bab 151 Kebetulan atau takdir?
152
Bab 152 Awal atau akhir?
153
Bab 153 Hana?
154
Bab 154 Tentang aku pada saat itu
155
Bab 155 Iri, marah, kesal dan sakit hati
156
Bab 156 Pembuktian pria sejati
157
Bab 157 Ingin meraih kembali
158
Bab 158 Ada apa dengan dia?
159
Bab 159 Mempertanyakan keputusan
160
Bab 160 Bisakah berdamai dengan masa lalu?
161
Bab 161 Konferensi program kesejahteraan keluarga berencana
162
Bab 162 Malaikat tak bersayap
163
Bab 163 Dilema
164
Bab 164 Takdir Allah
165
Bab 165 Bisakah bahagia?
166
Bab 166 Kebahagiaan dan kesedihan
167
Bab 167 Aku tahu rasanya
168
Bab 168 Sebuah syarat
169
Bab 169 Hak dan tidak berhak
170
Bab 170 Rezeki di kala cobaan datang
171
Bab 171 Kegembiraan vs kesedihan
172
Bab 172 Suatu Permintaan
173
Bab 173 Kehilangan
174
Bab 174 Sebuah perhatian
175
Bab 175 Sebuah pesan
176
Bab 176 Suami baru ya?
177
Bab 177 Seperti keluarga
178
Bab 178 Jangan salahkan keadaan
179
Bab 179 Kedatangan Emir
180
Bab 180 Pembawa kedamaian
181
Bab 181 Pilih yang mana?
182
Bab 182 Beristri dua?
183
Bab 183 Pacar atau suami?
184
Bab 184 Apa kamu menyetujui pernikahan ini?
185
Bab 185 Apa kamu bersedia?
186
Bab 186 Sebuah jawaban
187
Bab 187 Menikah dengan dia?
188
Bab 188 Bimbang
189
Bab 189 Malam peralihan
190
Bab 190 Menikah?
191
Bab 191 Bertukar pasangan
192
Bab 192 Aku ingin....
193
Bab 193 Jodoh yang tertukar?
194
Bab 194 Ada apa dengan Mirna?
195
Bab 195 Apa dia cemburu?
196
Bab 196 Kuda-kudaan
197
Bab 197 Bertemu mantan
198
Bab 198 Pamer kemesraan
199
Bab 199 Pembawa Bencana
200
Bab 200 Maaf
201
Bab 201 Suatu kabar
202
Bab 202 Datang dan pergi
203
Bab 203 Hidup dan Mati
204
Bab 204 Beberapa pesan dari Umi
205
Bab 205 Kesedihan yang mendalam
206
Bab 206 Kepergian Umi
207
Bab 207 Kabar yang ditunggu
208
Bab 208 Rasa kehilangan
209
Bab 209 Ketakutan Hana
210
Bab 210 Kenyataan yang kelam
211
Bab 211 Apa ini yang terbaik?
212
Bab 212 Kenyataan yang sangat rumit
213
Bab 213 Menjadi istri dan ibu yang baik
214
Bab 214 Adu mulut khas ibu-ibu
215
Bab 215 Kekesalan Mirna
216
Bab 216 Suatu keinginan
217
Bab 217 Bertemu di Pondok Pesantren
218
Bab 218 Nasib
219
Bab 219 Kehilangan
220
Bab 220 Kecantikan Yasmin
221
Bab 221 Pencarian Yasmin
222
Bab 222 Di antara dua pilihan
223
Bab 223 Nasib Yasmin
224
Bab 224 Terulang kembali
225
Bab 225 Kemalangan Zahra
226
Bab 226 Kehidupan Zahra
227
Bab 227 Kaburnya Zahra
228
Bab 228 Pertemuan Zahra
229
Bab 229 Gadis itu....
230
Bab 230 Mirip Rhea
231
Bab 231 Mencari kebenaran
232
Bab 232 Apa aku hamil?
233
Bab 233 Kesombongan Mirna
234
Bab 234 Masa lalu Zahra
235
Bab 235 Perseteruan Salsa dan Hana
236
Bab 236 Titik terang
237
Bab 237 Antara Izam, Salsa, Hana dan Yasmin
238
Bab 238 Acara tasyakuran
239
Bab 239 Blighted Ovum
240
Bab 240 Kesombongan dan kegagalan
241
Bab 241 Menyukai seorang Ustadz
242
Bab 242 Perjodohan
243
Bab 243 Kebingungan Izam
244
Bab 244 Kesedihan Salsa
245
Bab 245 Kebimbangan Izam
246
Bab 246 Kecemasan Izam
247
Bab 247 Apendisitis
248
Bab 248 Kenyataan
249
Bab 249 Mencari jawaban hati
250
Bab 250 Aku mau!
251
Bab 251 Keputusan
252
Bab 252 Lamaran model apa ini?
253
Bab 253 Penolakan Izam
254
Bab 254 Bersyarat
255
Bab 255 Kebahagiaan yang menjadi luka
256
Bab 256 Ikatan suci
257
Buku Baru She_Na

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!