Siapa bilang menjadi sugar baby itu enak?.
Bergelimang kemewahan, bisa membeli tas mahal, perhiasan dan gadget terbaru dengan mudah. Bisa memiliki apartemen dan mobil seharga milyaran, segampang membalikkan telapak tangan.
Lea Michella dan teman-temannya, menempuh jalur instan agar bisa hidup enak. Mereka rela menjual kehormatan demi mengumpulkan pundi-pundi uang.
Namun ternyata, kehidupan sugar baby tak seindah dan semudah yang sering diceritakan oleh penulis di novel-novel online. Nyatanya ada banyak hal serius yang harus mereka hadapi.
Sanggupkah mereka bertahan atas pilihan yang mereka ambil?. Ikuti saja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pratiwi Devyara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semur 5 Juta
Daniel berlalu begitu saja. Ia menuju lantai atas yang tidak bisa di akses oleh siapapun, kecuali dirinya. Lama setelah itu, usai mandi dan berganti pakaian. Daniel turun ke lantai tempat dimana Lea berada dan langsung menuju ke dapur.
Lea tak peduli pada pria itu dan terus menonton sinetron. Ia sempat melirik beberapa kali, pada Daniel yang tampaknya tengah sibuk menyiapkan sesuatu.
Bau-bau an mulai tercium setelah beberapa saat berlalu, perut Lea pun jadi keroncongan. Namun ia berusaha stay cool, meski hati ingin sekali menuju kesana. Ia tak ingin Daniel menjadi besar kepala dan merasa dibutuhkan. Padahal Lea memang sedang butuh makan.
"Tuut."
Daniel mematikan televisi secara sepihak, ketika ia telah selesai memasak. Membuat Lea yang tengah asyik menonton itu pun terkejut.
"Koq dimatiin sih, orang lagi seru juga. Itu Aldebaran lagi mesra sama Andin." gerutunya pada Daniel.
"Siapa itu Aldebaran dan Andin?" tanya Daniel dengan nada suara yang sangat antagonis.
"Ya itu tadi yang didalam TV. Emang nggak tau Aldebaran sama Andin."
"Nggak tau dan nggak mau tau."
"Ya kenapa harus ganggu orang nonton?"
"Sekarang waktunya makan." ujar Daniel.
Lea diam, ia tak menyangka jika Daniel akan membuatkan juga untuknya.
"Kalau nggak mau, ya udah." ujar Daniel lalu beranjak ke meja makan.
"Mau, mau, mau." ujar Lea seraya mengikuti langkah Daniel. Mereka kini duduk pada kursi yang berseberangan.
"Ini apaan, om?" tanya Lea melihat ke arah piring.
"Kamu nggak pernah liat steak?" tanya Daniel masih dengan nada judes.
"Pernah sih, tapi nggak segede ini juga."
Daniel tak mempedulikan Lea lagi, ia kini memulai untuk makan. Lea pun lalu mengambil garpu dan pisau yang tersedia di sisi piring, sambil bersiap untuk makan pula.
"Ini dimakan gini aja?" tanya Lea.
"Keliatannya?" Daniel balik bertanya.
"Pake kentang seuprit gini doang?. Nggak ada nasi gitu?"
"Saya tidak suka ada orang berisik di meja makan." Daniel menatap Lea.
Lea lalu diam dan mulai makan.
"Hmm." ujarnya kemudian.
"Enak banget, sayang nggak ada nasi."
Lea terus makan sambil mencoba menghabiskan kentang yang berada di sisi steik tersebut.
"Anjir, karbohidrat nya kenapa pelit banget." gerutunya dalam hati.
"Kenapa om nggak masak nasi aja, tuh ada rice cooker."
Kali ini Daniel benar-benar merasa terganggu dengan suara Lea.
"Sejak kapan orang makan steik pake nasi?" tanya Daniel dengan nada yang tak begitu ramah, sama seperti saat tadi ia menyuruh Lea makan.
"Ih ada, om mau kolot. Tua sih, nggak hits." ujar Lea.
"Dimana?" tanya Daniel mulai emosi, karena dikatakan tua oleh bocah itu.
"Ada di beberapa warung steik. Saya pernah diajak beberapa teman SMP saya, makannya pake nasi. Harga nya cuma 19 ribuan lagi."
"19 ribu, steik daging tikus mungkin yang kamu makan."
"Orang daging sapi koq, emang sih rada alot. Nggak kayak ini gampang di potong."
"Oh, daging murah." ujar Daniel masih dengan wajah datarnya.
"Dih sok banget om, emang daging sapi harganya beda-beda?. Orang di pasar sama aja, paling sekitaran 70ribu. Ibu saya tiap mau hari raya, pasti beli."
Daniel tak menanggapi ucapan Lea. Ia mengerti jika gadis ini norak dan kampungan sekali, Lea belum pernah melihat daging sapi yang mahal. Ia sendiri enggan memberitahu, karena takut gadis itu akan syok apabila mendengar perihal harganya.
"Kenapa makannya di stop?" tanya Daniel ketika melihat Lea yang berhenti makan, padahal steik tersebut bahkan belum habis setengah.
"Sayang om, kalau nggak pake nasi. Saya mau masak nasi, om punya beras?"
Daniel menatap Lea sejenak, lalu menunjuk ke suatu arah dengan menggunakan kepala serta tatapan matanya.
Lea beranjak ketempat tersebut dan mengambil beras yang ada disana. Kebetulan diatas kitchen set milik Daniel, terdapat sebuah rice cooker yang sangat jarang digunakan.
Daniel sendiri jarang mengkonsumsi nasi, ia mengganti karbohidrat harian dengan oatmeal atau kentang. Jika bosan, ia akan mengganti dengan ubi manis. Sangat jarang ia memakan nasi putih, untuk alasan diet dan juga kesehatannya.
Lea memasak nasi dan menunggu di depan televisi. Sementara Daniel sendiri sudah selesai makan dan meletakkan piring di wastafel kitchen set.
Pria berusia nyaris 40 tahunan itu pun kembali ke lantai atas. Lama setelahnya, Daniel kembali turun untuk mengambil air minum. Dan ia telah melihat Lea makan didepan televisi. Gadis itu mengangkat sebelah kakinya dan makan menggunakan tangan. Ia makan sambil menggerutu pada tokoh didalam sinetron.
"Mampus, lu. Udah gebuk aja itu, pukul. Biarin mampus."
Daniel hanya menghela nafas dan berlalu, ia malu sendiri dengan sikap gadis itu.
Pagi harinya, Daniel terbangun karena mendengar gaduh dari lantai tempat dimana Lea berada. Ia pun lalu turun dan mengecek, apa yang sesungguhnya telah terjadi. Tak disangka ternyata Lea tengah sibuk di dapur.
"Kamu ngapain? tanya Daniel heran.
"Hehe." Lea nyengir.
"Masak, om." ujarnya dengan wajah tanpa dosa.
"Masak, masak apa?"
Daniel mulai khawatir dan mendekat, karena ia mencium bau aroma daging.
"Ini, daging yang di kulkas."
"Apa?" Daniel benar-benar panik, ia menghampiri kompor dengan segera dan wajahnya seketika syok.
"Kan sayang om, kalau dimasak kayak semalem doang. Nggak variatif."
Daniel menatap panci dengan bibir yang menganga. Ia kini mengusap kepalanya berkali-kali dengan tangan.
"Lea, kamu tau nggak ini harganya berapa?. Ini bukan daging untuk semur."
Daniel berkata dengan nafas yang mulai memburu dan darah yang naik ke ubun-ubun.
"Sejak kapan daging nggak boleh di semur?"
"Ini bukan perkara boleh nggak boleh. Ini emang saya beli khusus untuk bikin steik. Kalau mau semur, nggak usah pake daging ini."
"Pelit banget, berapa sih emang harganya?"
"Kamu tau ini berapa harganya?" Suara Daniel agak ngegas.
"Ya berapa?" tanya Lea tak kalah ngegas.
"Ini harganya lima juta."
"Hah, li, lima juta?"
Waktu pun seakan membeku, ingin rasanya Lea ikut masuk ke dalam panci dan melebur bersama daging tersebut.
"Tuing."
"Byuur."
***
"Hahaha."
"Hahaha."
Richard dan Ellio terpingkal-pingkal, mendengar cerita dari Daniel pagi itu. Bahkan sejak tadi mereka tak bisa menghentikan tawa tersebut. Apalagi melihat ekspresi wajah Daniel yang kini seperti mengalami anemia akut.
"Hahaha."
"Hahaha."
"Seneng lo, pada?" tanya Daniel dengan nada sewot.
"Iya gue seneng banget, Dan. Sumpah, gue nggak bisa berhenti." ujar Richard.
"Hahaha."
"Wagyu A5 di semur, hahaha."
Richard mencari pegangan, sedang Ellio tampak memukul-mukul meja sambil terus tertawa geli.
"Satu kilo, satu kilo nya di semur semua sama dia?" tanya Ellio.
Daniel mengangguk sambil melebarkan bibir. Richard dan Ellio makin terbahak-bahak.
"Lima juta, enam ratus ribu melayang di panci semur." ujar Richard.
Lagi dan lagi kedua sahabat itu mentertawakan kesialan Daniel.
"Tapi enak nggak, bro?" tanya Ellio.
Daniel lalu membungkukkan tubuh dan membuka sebuah paper bag yang ia bawa. Dari dalam paper bag tersebut, ia mengeluarkan sebuah tempat makan yang cukup besar. Dan ketika dibuka, ternyata isinya adalah daging wagyu A5 yang telah di semur oleh Lea.
"Nih." ujar Daniel seraya menyerahkan dua buah sendok makan.
Richard dan Ellio yang masih berkutat dengan sisa tawa itu pun, mencobanya.
"Enak sih." ujar Richard masih tertawa.
"Iya, enak." ujar Ellio menimpali, namun masih tertawa pula.
"Ya udah cari nasi noh, buat lo pada makan siang." ujar Daniel.
"Hahaha."
"Hahaha."
"Ntar dulu, gue belum puas ngetawain lo." ujar Richard.
"Hahaha."
"Hahaha."
Richard dan Ellio terus saja mentertawakan kemalangan yang menimpa Daniel, dan pada akhirnya Daniel pun ikut tertawa.
***
***
Lea koq norak, kan udah diajari tata Krama dan lain-lain. Kalian sendiri belajar matematika belasan tahun di sekolah, apa udah pada jago? 🤔😜 Apalagi sekedar pendidikan 3 bulan doang.
Lagipula itu kelas kepribadian, bukan kelas MasterChef, jadi tidak mendetail mempelajari jenis daging. Kecuali kursusnya sama chef Juna atau Gordon Ramsay. 😜
and yes, kurang suka bagian daniel nyingkat nama lea, apaan banget dipanggil "le"? ubur² ikan lele?? 🤭
masih nunggu ya lanjutannya thor