NovelToon NovelToon
Nikah Kontrak

Nikah Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti
Popularitas:13.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

dua langkah berhasil

“Sok pintar kamu,” desis Ferdi kesal sambil berulang kali membetulkan dasinya yang tak kunjung lurus.

Amira melangkah mendekat. Dengan terampil, ia merapikan dasi Ferdi. Aroma bedak murah khas tubuhnya menyeruak, dan entah kenapa, Ferdi seperti kecanduan dengan wangi itu.

“Aku bukan sok pintar,” ucap Amira santai sambil merapikan jas Ferdi. “Aku memang pintar.”

Pandangan mereka bertemu, begitu dekat, menimbulkan perasaan aneh yang tak bisa mereka definisikan.

Amira tampil sederhana tapi memikat. Atasan putih berlengan pendek menonjolkan kulit tangannya yang halus. Riasannya tipis, terkesan natural, dengan lipstik merah muda yang lembut. Rambut hitam bergelombang disisir rapi, dibiarkan terurai indah. Sepasang anting mutiara menghiasi telinganya. Rok selutut yang ia kenakan menyempurnakan penampilan hari itu. Satu kesan yang sulit disangkal: Amira cantik. Meski begitu, Ferdi enggan mengakuinya.

“Bengong saja? Terpesona, ya?” Amira menggoda sambil mengibaskan tangan di depan wajah Ferdi.

“Apaan sih kamu,” ucap Ferdi, memegang tangan Amira. Ia menghela napas, berpura-pura kesal, padahal diam-diam ia menikmati wangi tubuh Amira yang khas, seakan ingin mengabadikannya di ingatan.

“Bilang saja kalau aku cantik hari ini,” Amira tersenyum menggoda.

“Tidak,” jawab Ferdi tegas, berbohong demi gengsinya.

“Sudahlah, jangan jaga gengsi begitu. Tenang saja, kamu juga tampan, kok,” balas Amira ringan.

Belum sempat Ferdi menjawab, terdengar ketukan pintu yang memecah suasana.

Refleks, Ferdi melepaskan tangan Amira dan melangkah ke arah pintu. Amira ikut berjalan di belakangnya. Saat pintu dibuka, tampak seorang ART berdiri di ambang.

“Nyonya Renata sudah menunggu,” ucapnya sopan.

“Baiklah, aku akan turun,” jawab Ferdi singkat.

Ia lalu menoleh pada Amira. “Kenapa?” tanya Amira, heran melihat tatapannya.

“Benarkan dasiku,” pinta Ferdi lirih.

Amira tersenyum kecil, tangannya terampil merapikan dasi itu. “Gengsi, tapi butuh,” gumamnya pelan.

Mata Ferdi membulat, menahan komentar. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melangkah meninggalkan kamar, menuju Renata yang sudah menunggu dengan penuh wibawa.

..

Sementara itu, Anton dan Laudia sudah lebih dulu tiba di lokasi. Karena Laudia menjadi salah satu panitia acara, seluruh pekerja di bawah komandonya.

“Laras, apakah orangnya sudah siap?” tanya Laudia dengan nada penuh rahasia.

“Tenang saja, semuanya sudah kuatur. Pertunjukan ini akan jadi sangat menarik,” jawab Laras sambil menyeringai, senyumnya menyerupai bayangan hantu.

“Di mana dia sekarang?”

“Di kamar, sedang melahap daging kambing muda. Aku berikan seekor penuh agar tenaganya kuat untuk menghajar Amira,” jelas Laras.

“Obat kuatnya nanti, kan?”

“Iya, tenang. Akan kuberikan satu jam sebelum eksekusi.” Suara Laras merendah, sarat dengan dendam yang membara terhadap Amira.

“Aku mau lihat,” ucap Laudia tiba-tiba, matanya menyala penuh rasa ingin tahu.

“Serius?” Laras menatapnya curiga.

“Tentu. Aku ingin menyaksikan, membayangkan kehancuran Amira lebih nyata.”

Laras tersenyum miring. “Jangan menyesal, ya.”

“Sudahlah, aku semakin penasaran.”

Mereka lalu melangkah menuju kamar 212. Laras memutar kunci dan membuka pintu perlahan.

Begitu pintu terbuka, bau aneh langsung menyergap. Aroma sampah bercampur dengan hawa dingin AC dan wangi masakan basi. Laudia refleks menutup mulut, hampir saja muntah di tempat.

Perlahan pintu kamar 212 terbuka. Laras membelalakkan mata, sementara senyum miringnya makin lebar.

Di dalam, tampak seorang lelaki berperawakan kekar dengan perut buncit. Rambut gimbalnya kusut tak terurus, tubuhnya dipenuhi debu seolah tak pernah mengenal air. Ia tampak seperti orang gila. Lelaki itu duduk bersila di lantai, lahap mengunyah daging kambing utuh. Di sekelilingnya berserakan stok makanan lain, tak kalah berantakan.

Laudia menutup mulut, wajahnya pucat. Ia segera berlari ke toilet terdekat. Suara muntah terdengar, isi perutnya meluap, termasuk sarapan yang tadi pagi ia nikmati. Saat keluar, matanya memerah, nafasnya tersengal.

“Kamu dapat dari mana orang itu?” tanyanya, masih menahan mual.

“Aku tak sengaja bertemu di tempat sampah,” jawab Laras terkekeh. “Dia bukan gembel, tapi memang orang gila. Lucunya, orang yang mengantarnya ke sini sekarang malah sakit parah… mencret dan muntah-muntah.”

“Bagus. Amankan dia, jangan sampai bikin ulah,” ucap Laudia. Senyum merekah di bibirnya, seolah adegan Amira bersama lelaki gila itu sudah benar-benar ia saksikan.

Sementara itu, Ferdi tiba bersama Amira dan Renata. Kehadiran mereka disambut hangat para tamu, tanpa ada yang tahu apa yang sedang disiapkan di balik layar.

Karena acara resmi masih akan dimulai sekitar lima jam lagi, Amira dan Ferdi memutuskan beristirahat di kamar hotel yang sudah disediakan. Sementara itu, Yono dan Ayu tidak bisa diam. Mereka berdua terus berkeliling hotel, sibuk mencari spot foto. Banyak tamu mencibir mereka sebagai orang kampungan, namun keduanya tidak peduli. Setiap sudut yang indah mereka abadikan, seolah berada di dunia sendiri.

Di kamar, suasana berbeda. Ferdi tampak gusar. Ia melempar dasinya ke ranjang dengan wajah kesal.

“Malas sekali aku dengan acara seperti ini,” keluhnya.

“Malesnya kenapa?” tanya Amira lembut, duduk di tepi jendela dengan tatapan jauh ke pemandangan kota yang berkilau.

“Males harus pakai dasi dan jas lagi,” jawab Ferdi, suaranya penuh kejengkelan.

Amira tersenyum tipis. “Tenang saja, aku siap membantu.”

Ferdi menoleh, matanya menajam. “Amira…”

“Apa, sayang?” Amira menatapnya dengan penuh perhatian.

“Kenapa perubahanmu membuatku semakin curiga?” Ferdi berucap tegas.

Amira menarik napas panjang. “Aku sudah bilang, aku akan jadi istri yang baik.”

Ferdi menggeleng. “Aku… tetap tidak percaya.”

Belum sempat Amira menjawab, ponsel Ferdi berdering keras. Wajahnya langsung berubah panik. Ia meraih jas, menyambar sepatu, lalu tergesa keluar. Barusan Laras menelpon dengan suara bergetar, mengancam akan bunuh diri jika Ferdi tidak datang.

“Laras, jangan bodoh…” gumam Ferdi, napasnya terengah saat berlari menyusuri koridor. Lift penuh, sehingga ia terpaksa menuruni tangga darurat dari lantai lima menuju lantai dua. Detik demi detik, langkah demi langkah, tubuhnya tegang.

Akhirnya ia tiba di depan kamar 202. Dengan kasar Ferdi membuka pintu. Pemandangan membuatnya tercekat. Laras duduk di ranjang dengan gaun tipis, tubuhnya gemetar, matanya merah basah.

“Kamu… mengerjai aku?” suara Ferdi serak.

Laras hanya berdiri, berjalan mendekat, lalu menutup pintu perlahan. “Aku cuma mau minum sama kamu,” katanya pelan, sambil membuka kancing gaunnya sedikit.

Ferdi menelan ludah, dadanya sesak. “Kalau cuma minum, tidak usah mengancam mau bunuh diri! Kamu bikin aku panik saja.”

Laras manyun, lalu menangis. “Kamu sibuk sekali dengan istrimu itu! Kamu lupa aku… aku marah, Ferdi!”

Tangisannya membuat hati Ferdi luluh. Ia memegang bahu Laras. “Ya sudah… ayo minum.”

Laras tersenyum samar, lalu menuntunnya ke kursi. Di meja sudah tersedia minuman mahal. Ferdi duduk dengan gelisah, pintu yang tertutup membuatnya kian tidak tenang.

“Bagaimana kalau minumnya di luar?” tanyanya.

Laras hampir menangis lagi. Ferdi tak tega. “Ya sudah, di sini saja.”

Dengan senyum puas, Laras menuangkan minuman ke gelas kristal. “Aku hanya ingin minum sama kamu.” Suaranya lirih, namun matanya menyimpan maksud lain.

Mereka mengangkat gelas. “Cisss.”

Suara gelas beradu.

Ferdi meneguk setelah melihat Laras lebih dulu. Namun seketika, panas menjalar di tubuhnya, membuat jantungnya berdegup kacau. Laras merasakan hal yang sama, tapi dengan tenang ia mengirim pesan pada Laudia:

“Ferdi sudah siap.”

---

Sementara itu, di kamar lain, ponsel Amira bergetar. Matanya membelalak saat melihat foto Yono dan Rahayu terikat, mulut mereka disumpal.

“Datanglah ke kamar 211 jika ingin orang tuamu selamat.”

Amira mendidih. “Bajingan! Beraninya menargetkan orang tuaku!”

Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju lift. Kebetulan kosong, ia segera turun ke lantai dua. Nafasnya memburu saat sampai di depan kamar 211.

Begitu pintu terbuka, amarahnya pecah. Yono dan Rahayu benar-benar terikat, tubuh mereka gemetar. Amira melangkah maju, namun sebelum sempat bicara, sesuatu menancap di lengannya. Jarum suntik.

Tubuh Amira panas, matanya kabur, lalu jatuh terjerembab.

Di pojok ruangan, seorang lelaki kekar tersenyum menyeringai. Ia mengangkat ponsel, memotret tubuh Amira yang tak berdaya, lalu mengirim pesan singkat kepada Laudia.

“Amira sudah siap.”

1
partini
dah keluar lihat Laras gih biar mata suamimu keluar wkwkwkwk
partini
sehhhh buaya di kadalin wkwkwkk
OMG ngapain lihat Amira ma Ferdi 😂😂😂😂
partini
OMG live HS ,,hai fer lihat nih wanita yg kamu cintai
partini
sehhhh kecolongan jg aduhhhh no good
ChikoRamadani
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ Sangat menarik
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...

terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️
partini
dihhh disuruh bercinta dengan gembel kamu Ra ,,di balik aja biar Laras yg bercinta dengan gembel jangan lupa bikin video
partini
😂😂😂😂
partini
ko bisa,,wah wah dah tau dong itu jebakan makanya cincin nya di pindah tempat
Dwi Anto
buaya kok di kadalin
Wesley Cherrylava
Wah bagus jalan ceritanya ga klise
Yani
Lucu Amira dan Ferdi
Yani
Seru
Yani
Ternta Amira kembar dengan Amora
Yani
Jangan" sodaranya Amira
Yani
Bentar lagi kamu bucin Ferdi
Yani
Seru
Yani
🤣🤣🤣🤣Amira
Yani
Tenang mmh Viona , Amira punya seribu cara bikin nenek baik 🤭
Yani
Ga akan bisa Ferdi
Yani
Seru suaminya ga berkutik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!