PENJARA CINTA Untuk STELLA

Keesokan harinya ...

Rehan ikut memikul jenazah Riyanti. Mengantarkan gadis itu ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Awalnya Renata tak tahu jika pria itu ada di rumahnya. Bergabung dengan para pelayat lain. Bahkan ia juga melayani serta menyiapkan hidangan untuk para bapak-bapak dan ibu-ibu yang membatu proses pemakaman Riyanti.

Renata masih belum sempat berbicara dengan pria itu, tapi mata mereka sempat bertemu. Ingin tersenyum tapi tak bisa. Ingin bertegur sapa tapi masih kaku. Tak nyaman dengan keadaan di sekitar. Akhirnya Rehan dan Renata memilih bertegur sama dengan hati dan tatapan mata sebagai perantara.

Kini, para pelayat yang membatu proses pemakaman Riyanti telah pulang satu-persatu. Tinggallah Renata yang masih bersimpuh di rumah terakhir adiknya. Menangis, meski hanya mengeluarkan aitlr mata. Menjerit, meski tak terdengar suara. Rehat tahu itu.

"Udah jangan ditangisi terus, adikmu sekarang udah bahagia. Udah nggak ngrasain sakit lagi," ucap Rehan sembari mengelus punggung gadis yang beberapa hari ini sanggup membuatnya gelisah.

"Kemarin dia bilang pengen makan rendang, baru aku pesenin di tempat temen. Karena rendang dari rumah makan itu yang paling dia suka. Rencananya hari ini ia mau kan itu, tapi Tuhan keburu memanggilnya," ucap Renata, kali ini tangisannya pecah. Gadis ini menangis meraung-raung seperti ada yang menyuruhnya.

Dengan cepat Rehan pun memeluk tubuh kurus itu, mencoba menenangkannya. "Hussst, ikhlaskan ... kita doakan dia bahagia di sana. Heemmm, udah yuk!" ajak Rehan.

Renata sesegukan dalam pelukan Rehan. Tak lama, suaranya terdengar lirih dan semakin lirih. Tubuhnya lemas dan semakin lemas. Lalu, tak terdengar suara sama sekali. Renata pingsan.

****

Di sudut yang lain. Ada sepasang suami istri yang masih belum mau bercengkrama. Mereka berdua terlihat memberikan batasan pada diri sendiri untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hati.

Juan berusaha memberi waktu untuk Stella, agar mengerti jalan pikirannya. Agar mengerti, bahwa sebenarnya ia peduli. Sedangkan Stella terlihat malas berpikir. Baginya hatinya sudah mati. Otaknya ia setting sedemikian rupa untuk tidak memusingkan apa yang akan terjadi padanya di kemudian hari. Ia tak ingin menangis lagi. Tak ingin tersenyum lagi. Kalau boleh, ia juga tak ingin berbicara lagi.

Malam ini, seperti biasa Juan mengajaknya makan malam bersama di ruang makan rumah mereka. Namun, seperti biasa Stella tak mau. Ia memilih diam di kamarnya. Kadang juga tak mau makan. Membuat Juan kehabisan kesabaran.

Juan masuk ke dalam kamar untuk memberi pelajaran pada wanita yang berhasil membuat emosinya tersulut. Dengan menahan amarah, pria ini pun duduk di depan Stella yang meringkuk di sofa tanpa melakukan apapun.

"Sampai kapan kamu mau seperti ini Ste?" tanya Juan. Melihat wajah sendu wanita cantik ini, seketika amarah Juan melunak. Pria tampan ini menjadi iba, padahal niat awalnya ingin marah. Ingin memberi pelajaran pada wanita ayu ini.

Wanita ini tak menjawab, hanya air mata yang terus mengalir tanpa mau berhenti. Padahal, ia juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis.

"Ayolah, Ste. Aku tahu kamu marah, aku tahu kamu sedih. Bangkitlah istriku, bukalah hatimu untuk menatap masa depan yang lebih baik. Percayalah, kamu berhak bahagia Ste," ucap Juan seraya mengelus rambut sang bidadari hati.

"Aku kotor Juan," jawab Stella.

"Tidak, kamu tidak berzina. Bagaimana bisa dikatakan kotor hemmm," balas Juan berusaha membuat istrinya tenang. Juan mengelus kepala Stella dengan kasih dayangnya.

"Malam itu dia menuduhku tak suci," jawab Stella, jujur inilah yang Juan tunggu. Stella mau mengeluarkan apa yang menjadi beban dalam hatinya.

"Memangnya apa alasannya dia bilang kamu nggak suci?" pancing Juan.

"Dia bilang, kalau aku masih gadis harusnya keluar darah perawan!" ucap Stella jujur.

"Memangnya dia nggak bisa ngrasain apa mana perawan mana yang enggak?" tanya Juan lagi.

"Aku nggak tahu, dia hanya bilang begitu," jawab Stella. Kini Juan menyadari bahwa wanita yang ada di depannya ini lugu, sangat-sangat lugu.

"Boleh aku tahu usiamu sekarang Ste?" tanya Juan.

"23 tahun," jawab Stella jujur, tanpa berpikir apapun.

"Selain sama mantanmu itu, kamu pernah nggak pacaran atau pernah tidur dengan siapa gitu?" Juan makin penasaran dengan masa lalu sang istri.

"Nggak! dia yang pertama." Stella menatap Juan. Pria ini pun menatap mata cantik itu dan Juan yakin jika mata itu memberinya kejujuran.

Stella menarik selimut dan menuruti seluruh tubuhnya kecuali kepala. Juan juga ikut merapikan selimut itu, agar Stella merasa nyaman.

"Berarti yang salah bukan kamu, Ste. Dia aja yang nggak peka. Udah, mulai sekarang jangan pikirkan ucapannya lagi. Suamimu sekarang adalah aku, yang akan menjagamu dan menjaga bayi kita. Aku tidak memintamu percaya padaku sepenuhnya Ste, tapi aku berharap kamu mau melupakan masa lalumu dan mau melangkah bersama denganku," ucap Juan.

"Aku tidak tahu, Juan. Hatiku terasa mati, otakku lelah Juan," jawab Stella jujur.

"Tidak Ste, jangan bicara seperti itu. Percayalah semua pasti baik-baik saja," balas Juan.

Lagi, ditatapnya lagi wajah sedih Stella. Juan tahu ini memang tak mudah, tapi janji akan berusaha membangkitkan kepercayaan diri yang ada di diri wanita ini. Juan yakin, jika ia pasti bisa membuat Stella mengerti, bahwa ia juga berhak bahagia.

Bersambung ...

Jangan lupa like komen dan share ya...