Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Pagi hari kedua festival, Kael terbangun pukul lima. Jantungnya langsung berdegup kencang begitu matanya terbuka. Hari ini adalah hari H. Hari pemutaran Sang Penjaga untuk audiens internasional yang jauh lebih kritis dari penonton kemarin.
Ia mencoba tidur lagi. Telentang, miring kanan, memeluk bantal, menutup kepala dengan selimut. Tidak ada yang berhasil. Sarafnya tegang seperti tali biola. Akhirnya ia menyerah, bangun, lalu cuci muka dengan air dingin. Kulitnya merinding, tapi sedikit menenangkan.
Dimas masih tidur pulas. Dengkuran tenangnya membuat Kael iri. Ia turun ke lobi hotel. Tempat itu sepi. Hanya ada beberapa tamu yang membaca koran atau mengetik di laptop.
Kael memesan kopi hitam. Ia duduk di sofa tua di pojok lobi sambil menatap langit Singapura. Warna langit mulai berubah dari gelap ke abu-abu terang. Subuh akan tiba.
“Gugup?”
Kael menoleh. Rani berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, matanya sembab.
“Sangat. Kamu gimana? Tidur enggak?” tanya Kael sambil bergeser memberi tempat. Ia menepuk sofa, mengundang Rani duduk.
“Cuma satu dua jam. Kepalaku muter terus. Aku mikirin semua kemungkinan jelek. Kalau proyektor rusak. Kalau suara enggak sinkron. Kalau penonton bosan dan keluar di tengah film,” ucap Rani cepat. Bahunya tegang, matanya gelisah.
“Semua itu udah kita cek kemarin. Proyektor aman. Suara juga. Yang bisa kita kontrol udah kita kontrol. Sekarang tinggal percaya sama karya kita,” jawab Kael. Tangannya menggenggam cangkir kopi erat, buku jarinya memutih.
Rani mengangguk pelan. Napasnya berat. Lalu ia menatap Kael dengan wajah serius.
“Kael, aku mau ngomong sesuatu. Ini udah aku simpan lama. Mungkin sekarang waktunya. Atau mungkin enggak akan pernah ada waktu yang tepat. Tapi kalau aku enggak ngomong sekarang, aku bakal meledak.”
Kael langsung fokus. Ia meletakkan cangkir ke meja kecil, lalu menatap Rani penuh perhatian.
“Ngomong aja. Aku dengerin,” ucapnya tenang.
Rani menarik napas dalam. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri. Matanya berkaca-kaca.
“Aku sayang sama kamu, Kael. Bukan cuma sebagai teman atau rekan kerja. Lebih dari itu,” ucapnya pelan tapi tegas. “Aku enggak tahu kapan perasaan ini mulai. Mungkin dari awal, atau tumbuh pelan-pelan selama lima bulan ini. Tapi setiap aku lihat kamu, aku ngerasa aman. Waktu kamu senyum, aku ikut senang. Waktu kamu percaya sama aku, aku ngerasa bisa jadi versi terbaik dari diriku sendiri. Aku tahu waktunya jelek. Tapi aku enggak bisa tahan lagi. Kalau enggak aku keluarin sekarang, aku bakal sesak terus.”
Air matanya mulai mengalir. Ia menunduk sedikit, bahunya bergetar.
Kael terdiam. Ia tidak kaget dengan perasaannya. Ia sudah lama merasakan ada sesuatu di antara mereka. Tapi ia tidak menyangka Rani akan mengatakannya hari ini. Dalam keheningan itu, muncul rasa lega besar. Perasaannya ternyata tidak satu arah.
“Ran...” Kael meraih tangan Rani. Tangannya dingin, tapi genggamannya hangat. “Aku juga sayang sama kamu. Udah lama. Tapi aku takut ngomong. Takut merusak tim. Takut bikin semuanya canggung. Takut kehilangan kamu kalau ternyata aku salah paham.” Ia menelan ludah. “Tapi kamu berani jujur. Jadi aku juga harus jujur. Kamu orang paling penting buat aku sekarang. Bukan cuma karena kamu bertalenta dan kerja keras. Tapi karena kamu adalah kamu. Cara kamu lihat dunia. Cara kamu peduli. Cara kamu tetap rendah hati. Aku sayang sama kamu. Aku mau kita coba, kalau kamu juga mau.”
Rani menangis lega. Ia langsung memeluk Kael erat. Kael membalas pelukannya. Ia bisa merasakan detak jantung Rani yang cepat. Dua-duanya gemetar, tapi ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
Mereka diam beberapa menit. Hanya pelukan yang berbicara. Ada ketenangan baru yang muncul di antara mereka.
“Apapun yang terjadi hari ini, aku senang aku udah ngomong,” bisik Rani dengan suara serak.
“Aku juga. Setelah festival ini selesai, kita duduk dan ngomongin semuanya. Tentang kita, studio, masa depan. Tapi sekarang kita fokus ke pemutaran,” jawab Kael sambil menyeka air mata di pipi Rani. “Kita tunjukin ke dunia apa yang bisa kita buat.”
__________
Jam delapan pagi, tim berkumpul untuk sarapan. Dimas langsung sadar ada sesuatu antara Kael dan Rani. Cara duduk mereka lebih dekat. Tatapan mereka penuh makna. Tangan mereka sesekali bersentuhan.
Dimas hanya tersenyum kecil. Ia tidak berkomentar apa pun. Ia membiarkan semuanya mengalir alami.
“Hari ini hari kita,” kata Dimas sambil mengangkat gelas jus jeruk. “Kita udah sampai sejauh ini. Dari garasi kecil di Jakarta sampai auditorium di Singapura. Apa pun hasilnya, kita udah buktiin sesuatu.”
“Untuk Sang Penjaga. Untuk Studio Garasi. Untuk keluarga,” seru mereka bersama. Gelas-gelas beradu, bunyinya ringan tapi hangat.
_________
Pukul satu siang mereka tiba di venue satu jam lebih awal. Auditorium B mulai terisi. Beberapa penonton membaca program festival. Ada juga yang mengobrol pelan.
Kael, Rani, dan Dimas masuk ke ruang kontrol untuk pengecekan terakhir. Budi dan Arman duduk di barisan depan untuk cek kualitas suara dari posisi penonton.
“Coba proyeksi,” ujar Kael. Layar besar menyala putih terang.
“Proyeksi jernih. Warna akurat. Enggak ada distorsi,” lapor Dimas.
“Level suara bagus. Bass pas. Dialog jelas. Musik seimbang,” tambah Budi lewat walkie-talkie.
Kael menarik napas lega. Tangannya sedikit gemetar. “Sempurna. Kita siap.”
Pukul dua siang auditorium penuh. Kael duduk di tengah. Rani di kanan, Dimas di kiri. Tangannya mencengkram sandaran kursi depan erat-erat.
Moderator naik ke panggung. “Film berikutnya adalah Sang Penjaga dari Indonesia. Disutradarai oleh Kael Ardhana. Sebuah cerita tentang hubungan antar generasi dan tanggung jawab terhadap alam. Mari kita tonton.”
Lampu padam. Suasana hening. Hanya suara napas penonton yang terdengar.
Layar menyala. Musik angklung mulai mengalun pelan. Film dimulai.
Kael nyaris tidak bernapas. Pandangannya ke layar, tapi pikirannya memperhatikan penonton. Apakah mereka fokus. Apakah mereka bosan. Ia melihat wajah-wajah yang serius menatap layar. Tidak ada yang keluar. Tidak ada yang bermain ponsel. Itu hadiah terbesar untuk seorang pembuat film.
Dua puluh menit terasa sangat panjang tapi juga singkat. Saat kredit bergulir, auditorium terdiam. Hening panjang itu terasa menegangkan.
Lalu satu orang bertepuk tangan. Diikuti yang lain. Dalam hitungan detik seluruh auditorium berdiri. Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan.
Rani menangis bahagia. Dimas memeluk Kael sambil tertawa lega. Budi dan Arman ikut merangkul. Pelukan mereka kacau, tapi penuh cinta dan euforia.
“Kita berhasil. Kita beneran berhasil,” bisik Kael dengan suara bergetar. Air matanya mengalir deras. Ia tidak peduli siapa yang melihat.
Di tengah tepuk tangan orang-orang dari berbagai negara, lima anak muda Indonesia berdiri dengan kepala tegak. Mereka tahu kerja keras mereka berarti. Cerita mereka menyentuh hati. Mereka pantas berada di panggung ini.