Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
VERTIGO
"Turun! Turun! Turun!"
Teriakanku menggema di sumur tangga beton yang sempit. Suara kami bertiga—Adhitama yang menggendong Sari, dan aku yang berlari tertatih di belakang—hanyalah riak kecil dibandingkan dengan kebisingan di atas kami. Di balik pintu baja Lantai 20 yang kini hancur, suara GEDEBUK! yang dalam dan ritmis memberi tahu kami bahwa Kadek sedang menghancurkan setiap rintangan yang kami buat. Dia marah.
"Dia... cepat!" Adhitama terengah-engah, melompati lima anak tangga sekaligus. Meskipun membawa beban Sari, staminanya yang luar biasa membuatnya tetap di depan. "Kita tidak akan bisa... mengalahkannya... dalam lari!"
Rasa sakit di bahuku berdenyut-denyut seirama dengan langkah kakiku. Peluru virtual itu telah meninggalkan 'bekas luka' psikis yang membuat setiap gerakan lengan kiriku terasa seperti tusukan. "Kita tidak perlu mengalahkannya!" balasku, adrenalin menutupi rasa sakit. "Kita hanya perlu... keluar dari sini!"
Lantai delapan belas. Lantai tujuh belas.
Suara hantaman di atas kami tiba-tiba berhenti.
Kami bertiga refleks berhenti di pendaratan Lantai 15, terengah-engah dalam keheningan yang tiba-tiba.
"Kenapa... kenapa dia berhenti?" bisik Adhitama, menurunkan Sari yang kini mulai sadar.
Sari memegangi kepalanya, wajahnya pucat. "Kepalaku..."
"Fokus, Sari!" desakku, mataku menatap liar ke kegelapan di atas. "Fokus padaku. Dia pergi. Kau aman. Sekarang aku butuh matamu. Di mana mereka?"
Sari menarik napas dalam-dalam, gemetarnya mulai mereda. Dia memejamkan mata, memproses dunia virtual di sekitarnya. "Dia... ya... dia masih di atas. Lantai 19. Dia berhenti menghancurkan pintu. Dia hanya... berdiri di sana."
"Dia menyerah?" tanya Adhitama, penuh harap.
"Tidak," kataku. Aku tahu tipe orang seperti Kadek. Mereka tidak menyerah. "Dia sedang berpikir. Dia mencari cara yang lebih cepat."
"Sari," lanjutku. "Bagaimana dengan yang wanita? Rania si telepat?"
Mata Sari melebar ngeri. "Dia... oh, tidak. Dia tidak mengejar. Dia ada di lift. Dia bergerak... turun. Cepat. Dia menuju... lobi."
Wajah Adhitama jatuh. "Sialan. Dia akan memotong kita di pintu keluar. Kita terjebak. Musuh di atas, musuh di bawah." Dia menghantamkan tinjunya ke dinding tangga, membuat serpihan beton virtual berjatuhan.
"Kita tidak terjebak," kataku, pikiranku berpacu. Aku menunjuk pintu di depan kami. "Lantai 15. Sari, apa yang ada di baliknya?"
Sari berkonsentrasi. "Kantor. Ruang kerja terbuka. Sama seperti yang lain. Tapi... ya! Ada tangga darurat lain di sisi utara gedung! Sekitar seratus meter melintasi lantai kantor!"
"Bagus," kataku. "Itu rute pelarian kita. Adhitama—"
Aku tidak perlu menyelesaikan kalimatku. Sebuah bayangan tiba-tiba jatuh melewati kami di ruang terbuka di tengah sumur tangga.
Itu bukan bayangan. Itu adalah Kadek.
Dia tidak repot-repot menggunakan tangga. Dia baru saja melompat dari pagar di Lantai 19, jatuh bebas.
Kami bertiga menatap ngeri saat dia melesat melewati kami. Tepat sebelum dia menghantam lantai di bawah, tubuhnya tiba-tiba melambat, seolah-olah dia mendarat di atas bantal tak terlihat. Dia mendarat di pendaratan Lantai 12—tiga lantai di bawah kami—dengan keanggunan seekor kucing, tanpa suara sedikit pun.
Dia berbalik, membersihkan debu imajiner dari jasnya yang sobek, dan menatap kami ke atas. Senyumnya adalah senyum predator yang telah mengunci mangsanya.
"Permainan larinya selesai, anak-anak," katanya, suaranya menggema naik ke arah kami. "Kalian sudah bersenang-senang. Sekarang kembalikan datanya."
Dia mulai berjalan menaiki tangga ke arah kami. Perlahan. Menikmati momen ini.
Kami benar-benar terjebak. Jalan turun diblokir olehnya. Jalan ke lobi utama dijaga oleh Rania.
"Adhitama!" teriakku, beralih ke Rencana B. "Pintu! Buatkan kita pintu!"
Adhitama tidak perlu bertanya. Dia berbalik dan meninju dinding beton di samping pintu Lantai 15. Bukan pintu baja, tapi dinding di sebelahnya.
BOOM!
Dinding itu retak seperti sarang laba-laba.
"Lagi!" teriak Sari.
BOOM!
Retakan itu menjadi lubang.
Kadek di bawah kami mulai berlari, menyadari apa yang kami lakukan. "Aku tidak akan membiarkan itu!"
"Terus hantam!" teriakku pada Adhitama.
Aku berbalik menghadap tangga di bawah, berdiri di antara Kadek yang sedang naik dan timku yang sedang melarikan diri. Aku mencengkeram bahuku yang sakit. Aku tidak bisa melawannya. Aku bahkan tidak bisa menyentuhnya. Tapi aku bisa... menunda dia.
Aku teringat pelajaranku. Aku bukan bom. Aku adalah pisau bedah. Dan aku tidak perlu menghancurkan musuh. Aku hanya perlu menghancurkan... jalannya.
"Bima!" teriak Adhitama. "Lubangnya cukup!"
"Masuk! Ambil Sari!" teriakku.
Adhitama meraih Sari dan melompat melewati lubang bergerigi yang baru saja dia buat, menghilang ke dalam kantor yang gelap.
Sekarang tinggal aku dan Kadek. Dia berada satu lantai di bawahku, di Lantai 14, berlari naik.
Aku tersenyum padanya. "Permainanmu yang selesai."
Aku meletakkan kedua tanganku di lantai pendaratan Lantai 15. Aku tidak fokus pada Kadek. Aku fokus pada beton di bawah kakiku. Pada baja tulangan di dalamnya.
Aku memanggil kekuatan itu, bukan untuk menghapus, tapi untuk merapuhkan. Aku memerintahkan setiap ikatan molekuler di seluruh bagian tangga itu untuk melepaskan cengkeramannya.
Kadek, yang sedang berlari di tangga antara Lantai 14 dan 15, tiba-tiba merasakan pijakannya bergetar.
Dia mendongak, matanya melebar ngeri saat melihat retakan muncul di mana-mana di sekelilingnya.
"Selamat tinggal," kataku.
Aku berbalik dan melompat melewati lubang di dinding, mendarat di atas meja kantor yang hancur.
Di belakangku, aku mendengar suara paling memuaskan di dunia.
KRAAAAAASSSSHHHH!
Seluruh bagian tangga darurat—dari Lantai 15 hingga Lantai 13—runtuh ke bawah dalam longsoran beton dan logam yang memekakkan telinga, menghilang ke dalam kegelapan di bawah. Aku telah menghancurkan jalan di belakang kami. Kadek mungkin bisa terbang, tapi dia terjebak di bawah puing-puing itu untuk sementara waktu.
"Itu... keren sekali," kata Adhitama, membantuku berdiri dari atas meja.
"Jangan senang dulu," kata Sari, yang sudah pulih dan berdiri tegak. "Pintu keluar utara ada di sana. Tapi Rania... dia tahu kita tidak keluar lewat lobi. Dia bergerak. Dia akan mencegat kita di pintu keluar utara."
Kami bertiga berlari menembus kantor yang gelap, melewati bilik-bilik kosong.
"Jadi," Adhitama terengah-engah. "Rencananya apa? Kita tidak bisa melawannya. Dia akan mengubah otak kita menjadi bubur."
Aku berhenti di dekat jendela, melihat ke gang gelap dua puluh lantai di bawah. Titik ekstraksi kami. Sangat dekat, namun sangat jauh.
"Kau benar," kataku. "Kita tidak bisa melawannya. Dia adalah seorang telepat. Dia membaca pikiran kita. Dia memprediksi gerakan kita."
"Jadi kita pasrah?" geram Adhitama.
"Tidak," kataku, sebuah ide gila mulai terbentuk. Sebuah ide yang sangat bodoh hingga mungkin saja berhasil.
"Sari," tanyaku. "Seberapa cepat kau bisa berpikir?"
"A-apa?"
"Seberapa cepat?"
"Lebih cepat dari komputer mana pun," katanya.
"Bagus," kataku. "Adhitama, seberapa keras kau bisa memukul... lantai?"
Adhitama menatapku seolah aku gila. "Apa maksudmu?"
"Kita tidak akan melawan Rania di pintu keluar," kataku. "Kita tidak akan memberinya kesempatan untuk membaca pikiran kita. Karena kita akan memberinya sesuatu yang lain untuk dibaca."
Aku menunjuk ke jendela.
"Dia mengharapkan kita keluar lewat pintu," kataku. "Tapi kita... akan keluar lewat sini."
Adhitama mengikuti pandanganku ke bawah. Dua puluh lantai. Ke gang sempit di bawah.
"Kau," katanya pelan. "Benar-benar... sudah gila."
"Mungkin," kataku. "Tapi ini satu-satunya rencana yang tidak akan bisa dia baca. Karena ini bukan rencana. Ini adalah kegilaan."
Timer di sudut pandanganku menunjukkan 08:14. Kami kehabisan waktu.